Wednesday 30 September 2015

Gaada arti

Rasa ingin menghancurkanmu, seperti balon yang dipecahkan udara. Balon itu tidak lenyap, hanya menjadi dirinya yang lain, udara yang tak berbentuk bulat.

Manusia sadar dirinya terbatas, maka terus ia usaha tuk lampaui batas. Bahkan dia sadar dia bukan dirinya, maka ia terus berusaha jadi dirinya. Hasilnya? Ia berubah. Tetap jadi dia, hanya dalam bentuk yang berbeda. Tidak lenyap, namun tak terlihat. Dan, bayangkan rasanya pecah seperti balon.

Para kakek berjanggut putih se-perut itu berkata, "Kau dilahirkan dengan sayap. Jangan belajar untuk berjalan, cobalah untuk terbang." Ku jawab, "Takkan ku tinggalkan tanah ini tanpa kehadirannya." 

Merpati pun hanya menaruh sarangnya di tanah. Tidak menghiraukan lembutnya awan untuk telur kecintaan. Bagaimana mungkin kutinggalkan singgasana Adam, tanpa lambaian tangan Hawa? 

Majnun menjadi Qais, tanpa tatapan Layla di hari pertama. Namun, Layla menulis ulang harinya, sehingga takkan pernah datang yang kedua. Hingga tulang belulang Majnun memeluk nisan Layla, semua adalah hari pertama. 

Balon sudah pecah. Adam sudah punah. Qais tinggal cerita. Dan manusia adalah fana. Sebuah fana, yang merasa nyata. Hayalan mata, berpikir ada di sana. Dan akal, yang bicara soal rasa. 

Akhirnya, hanya senyum yang berkata, "haha". Akhirnya, mata terpejam yang yang nyanyikan lagu nestapa. Akhirnya, aku tersenyum sambil terpejam, mengucap "haha", dengan gelengan kepala.
(0:51) 30 Sept 2015

Tuesday 15 September 2015

Luna, Citizen yang Ingin Naik Haji

"Luna mau jadi tentara kak, banyak uangnya, bisa buat ngasih ibu sama nenek," katanya tanpa sendal. Bungkus tisu bertumpuk di sebelahnya. "Tisu kamu laku hari ini?", "Gak kak, pada bilang udah punya, katanya. Iyasih, mereka punya uang, bisa beli apa aja," Luna senang betul tulis-tulis di buku barunya, aku tak ditengok. 

"Selain itu mau jadi apalagi Luna?", "Mau jadi bu haji, hehe" katanya cengengesan. Anginnya sepoi, tapi terdengar keras di kepalaku. Pohon-pohon di pekarangan mesjid megah ini malambai lemas tapi seperti dilanda topan dalam benakku. Jawaban Luna membuat hati terbelalak, tiba-tiba seperti hadir di satu sudut kota suci. Pindah realita, seperti ketika The Giver membagi kenangannya dengan Jonas lewat satu sentuhan tangan saja. 

Orang-orang berkerumun di reruntuhan. Satu-satu sibuk panggil bantuan. Darah mengalir ikut aliran hujan. Dinosaurus milenium itu tumbang dan menimpa para peziarah. Aku melihat dari kejauhan, masih kebingungan. Sungguh, tidak pernah kulihat ekspresi sejujur saat itu. Orang-orang yang mungkin menanam benih kepedulian dalam dirinya kini memanen buahnya. Lewat kerut dahi, teriakan rahang menganga, urat leher yang ikut asik menarik bebatuan dari tubuh yang bergelimpangan. Bantuan juga diminta pada Sang Tuhan yang entah dimana itu, oleh mereka yang berteriak dengan mantra-mantra di sekitaran reruntuhan yang memberhalakan dirinya. 

Getaran gadget di kantong pecahkan lamunanku. Pemberitahuan dari dunia lain rupanya lebih ramai dari suara badai di sini. Satu-persatu manusia dunia angka menyuarakan simpati dan doa digitalnya pada korban di depan mataku. Lebih keras dan lantang dari teriakan kuli dadakan di sini. 

Perlahan tapi pasti, foto dan video kejadian mulai beredar bersama telunjuk yang mulai menuding. Arahnya macam-macam. Dari barat hingga timur, dari raja hingga ayah di negeri sendiri. Angin pun tertawa oleh lelucon emosional manusia. 

Memang, tidak hanya eksodus pengungsi yang menggetarkan hati, transmigrasi para citizen menuju netizen juga membuat hape ku lebih sering bergetar dan lebih keras. Masyarakat memulai peradaban baru dengan listrik sebagai sumber kehidupan primernya. Bahkan aktifis kece selevel Rachel Corrie dan Arthur Gish kini lahir lagi dalam bentuk "like" and "share". Sayangnya, perut keroncongan kolong jembatan tak sempat update status dan doa digital dulu sebelum sekarat, jadi tak sempat buka lowongan jadi aktifis yang goes viral.

Walah, suasana dunia sini dan sana membuatku bingung dan ingin pergi saja. Sampai keluar mesjid, kakiku tersandung dan menjatuhkan tubuhku. Rupanya seorang kakek bertopi dan pakaian lusuh--sama tidak pakai sendalnya dengan Luna--meringkuk bersandar pada tembok putih istana Allah. Basah kuyup diterpa amukan angin yang membawa amunisi hujan. Tak seorangpum berhenti dan menengok meski sesaat ketika berlari menuju reruntuhan. Tatapan cengangku membuatnya sadar akan keberadaanku. Memerhatikan sejenak, lalu ia keluarkan kumpulan kertas pemberian peziarah yang didekapnya sedari hujan. Tertulis di sana kalimat dari berbagai bahasa yang tak kukenal. Eh, ada bahasaku di pojokan. Ukurannya lebih besar dari yang lain. Tertulis dan terbaca seperti doa, "Aku ingin haji..."

Goncangan lengan Luna membangunkan lamunan hayalku. "Udah nih kak," susah payah dia menulis cita-citanya di selembar kertas. "Saya Luna, saya mau jadi tentara," katanya. Tulisannya lebih bagus dariku, ehe.

"Kamu jadi bu hajinya jangan sekarang ya," kataku sambil menatap tulisan kecilnya. 

"Iyalah kak, nanti pas udah gede," jawabnya disambut lega napasku.

Ku ambil foto ia yang malu-malu bersama tulisannya, dan melangkah pamit. "Ingat namaku ya kak," sarannya. "Hati-hati kak!" lambainya menyampaikan senyum Tuhan dengan sepoi yang menenangkan.

Cyber war mattamu!
15 September 2015. 3:30.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...