Friday 16 December 2016

Budi Kecil

Getar tubuh itu menggambarkan tipisnya suhu udara yang menyelimuti kolong jembatan.

Tidak ada gerakan tangan bocah menarik selimut seperti yang kita lihat di kamar adik. Lengan kasar Budi tidak pernah mengingat ada lembaran kain lebih yang menghangatinya tiap malam. Tepukan refleks dari hinggapnya nyamuk adalah satu-satunya yang bisa kau lihat dari keluguan bocah ini.

Anehnya, dia lelap. Tak mengigau, sejauh kulihat. Apalah yang ingin di-igaukan? Aktifitas di sepanjang jalan protokol ibu kota tak menyisakan waktu untuk berpikir banyak hal. Hanya kelelahan yang akan ia hitung menjelang malam, bukan dongeng si pitung sebelum tidur.

Aku terus melihatnya, meski dalam mimpiku sendiri. Seonggok tubuh calon fisikawan yang tak bermimpi, tapi mengusik mimpi pejabat dalam tidurnya selepas rapat. Mungkin itu sebab aparat getol melakukan pembersihan trotoar dengan tongkat.

Budi lelap, mungkin sebab ia hidup dengan cukup. Cukup sibuk mencari makan meski tak sampai setengah nampan. Paling tidak lapar hilang, dan bisa lanjutkan perjalanan--cari makan. Lalu apa yang membuat pejabat kehilangan tidurnya di mer-c selain sirine motor yang mengawalnya? Mungkin pencarian yang tak kunjung henti sebab ia tinggalkan apa yang seharusnya jadi akhir pencarian. Budi dan Intan yang tak berkesempatan mengetuk kaca mobil menawarkan berita tentang dirinya di selembar koran.

Aku beranjak pergi ingin mengakhiri mimpi indah ini. Mimpi indah tentang tuhan yang berhasil menaruh segala pada tempatnya. Kelaparan yang menjadi mimpi, bukan lagi kesuksesan yang buat mulut berseri.

Satu dua langkah membelakanginya, sebuah kata terdengar lemah. Budi mengigau. Kaget akan sisa pikiran yang ada membuat anak ini mengigau, kuberhenti dan mendengar dengan seksama.

"Si budi murung.. menghitung laba.."

Hah, kukenal lagu ini. Suara seniman rupanya mengisi harinya alih-alih merangkai cita-cita. Sebuah lagu yang mendendangkan namanya mungkin adalah favoritnya. Memang kapan lagi bocah di bawah tugu pancoran menjadi terkenal selain diiringi alunan gitar? Cuman seniman yang bisa lakukan. Terima kasih Bang Iwan.

Kamis  15/12
Balkon mencapai 10°

Sunday 20 November 2016

Abstraksi saat ini

Hidup selàlu menghadapkan kita pada pilihan. Dan selalu, pilihan itu terlihat rumit di muka. Meski setelah terlewat, pada akhirnya hanya ada dua jalan: antara yang benar dan salah, atau yang paling benar dan paling salah.

Seorang anak muda berusia 20 tahun melihat hidupnya penuh disesaki urusan. Mulai dari urusan kemanusiaan, keluarga, persahabatan, masa depan, sampai urusan kehambaan, bahkan urusannya dengan diri sendiri.

Sering diantara 365 malam ia mendesah, betapa ia sudah salah melangkah. Ia merasa hidupnya sudah cukup jauh, dan kesalahan tak bisa dibayar seutuhnya.

Penglihatannya kabur, seperti lukisan abstrak tapi bernilai ratusan juta. Itu yang membuat ia terus memandangan pikirannya yang abstrak, karena ia tahu, ini bernilai sangat besar.

Ia sering membuat kesimpulan hasil olah pikiran. Entah dari percakapan, bahkan dari film layar lebar. Namun lebih sering lagi ia membiarkan kesimpulannya terpajang rapi di lorong waktu. Tinggal sebuah memori akan pencapaian pikirannya.

Ia hidup sudah 20 tahun menginjak tanah. Tapi sejauh ingatannya, tak satupun hari pikiran meninggalkan ruang kerjanya. Hidupnya habis dalam pikiran, dan itu membuat semua seakan terlambat.

Ketika berhasil membuat semua terlihat sederhana, semangat untuk melangkah muncul. Ada tapi nya, sekali lagi pikiran berkata jangan terburu-buru. Dan akhirnya ia duduk dan menunggu, lagi.

Ketika pantat mulai panas, ia berdiri dan mengulangi hal yang sama, lagi.

Banyak hal yang ingin ia lakukan dan terus bertambah. Tak ada gunanya diurai karena kita hanya akan fokus pada tujuan dan keinginan masing-masing. Tapi ada baiknya untuk terus membaca, sebab saya yakin, pengalaman bocah itu adalah masalah klasik.

Pada akhirnya, ada pada akhirnya yang selanjutnya. Tak hanya ketika pilihan diambil dan rupanya semua terlihat sederhana dari depan. Tapi juga soal waktu. Terburu-buru dan terlambat adalah kerja waktu.

Pada akhirnya, semua belum tentu terlambat dan belum tentu terlalu cepat. Setelah sesuatu berhasil dikenali lewat kacamata pilihan yang sebenarnya, antara benar dan salah, waktu akan membuka tangannya. Seakan berkata, majulah, waktumu telah tiba.

Karena manusia bukan bulan, yang sudah meneken kontrak bersinar pada matahari. Sehingga ia berputar dalam lingkaran waktu yang kaku.

Tak ada yang terlambat, karena kita yang memutuskan kapan akan berangkat. Tak ada yang terburu-buru, karena waktu selalu tampil sebagai guru.

Hidup dalam mimpi untuk meraih mimpi
Throwback Siberian Education
Minggu dini hari

Sunday 6 November 2016

Iman dan kemanusiaan

Iman bagiku terlihat seperti cinta. Karena mereka yang terjangkit penyakit ini tak ubahnya melakukan penyerahan diri pada yang diimani; dicintai.

Ketika tuhan memasuki ranah iman, maka kemanusiaan menjadi output yang kuukur. Karena mencintai tuhan berarti menjadi pelayannya. Mencintai tuhan akan menyambungkan kita dengan kecintaan-Nya pada manusia.

***

Perut lapar, menjadi yatim perang, peluh mencari nafkah keluarga; semua menyayat hati kemanusiaan yang sadar bahwa tempat manusia sudah seharusnya lebih baik dari itu.

Membenci kemiskinan adalah fitrah kemuliaan manusia.

Dunia dengan segala sistemnya membuat tuhan seakan menciptakan bumi dalam keadaan serba kurang. Kalau ia maha kaya dan menggambar benua dengan kekayaan sedemikian rupa, kenapa masih ada yang menadah receh di simpang perempatan? Dan pemangku kekuasaan spiritual masyarakat berbusa mengajak doa meminta sabar akan perut yang lapar. Ya, perut kenyang memang buat kita malas dan bodoh.

Disini pembelaan tuhan kulontarkan. Bahwa manusia terbawa arus babi pemakan segala. Sehingga banyak rerumputan, buah-buahan, bahkan tai yang bukan miliknya ikut dimakan. Semua sudah cukup jika politik tak digunakan untuk membabikan diri.

Ada yang tak beres di dunia sehingga Luna harus menyisihkan waktu mainnya untuk berjual tisu di mesjid megah universitas.

Berbekal hati, terendus sendawa babi memakan iman dengan agamanya.

Kujadikan air mata ini sebagai tolak ukur keimanan
Malming, Haret Hreik

Friday 4 November 2016

Ceramah di warung kopi

Teringat sebuah obrolan sore di sebuah warung kopi. Bersama saudara di persimpangan stasiun Pasar Minggu.

Kami duduk dan berbincang perihal permasalahan keluarga besar tanpa tendensi. Namun suasana berubah ketika seorang di sebelah kami bertanya pada kawannya lewat telpon, “Le, ikut demo 4 November ra? Kapan sampai? Kabar-kabari yo le wes di stasiun.”

Aku dan dia tahu, kami beda kubu. Bukan kubu jokowi dan prabowo, tapi lebih besar dari itu. Ia bersarung aku celana jeans. Dia berbaju takwa putih aku kemeja flanel. Rambutnya rapih cepak ditutup peci putih aku gondrong bentar lagi bisa diikat buntut kuda. Itu adalah pelabelan berdasar penampilan. Bukan contoh yang layak ditiru, tapi sengaja saya pakai untuk menjelaskan sesuatu tanpa perlu eksplisit. Karena saya tahu hampir seluruh rakyat kita akrab dengan labeling ini.

Singkat cerita, dia tahu aku akan di jakarta sampai 7 November, lantas bertanya, “Mat, ente ikut demo nanti?”

“Gak jal,” kuseruput kopi dengan jawaban seperlunya. Sejak aku mendengar percakapan pria tadi, hati sudah malas dan tak nyaman. Tak ingin isu perbedaan pandangan ini merusak keharmonisan kami sore itu. Tidak merusak sih, mencanggungkan suasana.

“Hahaha, kenape mat?”

“Panas jal. Jauh juga dari depok.” Masih kujawab sesingkat mungkin. Dan aku memang selalu nginap di depok.

Ia terkekeh. “Jadi lebih penting adem daripada bela agama allah ye?” masih diburu aku dengan pertanyaan. Shit.

Untuk menghargai ‘sarkasme’nya aku tertawa. “Manusiawi jal, gue bukan nabi yang diikutin awan.”

“Yeyeye, moga yang nista agama jadinya di penjara deh biar jakarta lebi adem.” Jawabnya tanpa pertanyaan.

“Amin.” Jawabku lega. Kami seruput kopi bersama.

“Jadi ente sepakat ahok nista agama?” Aduuuuh, pake nanya lagi nih si sempak.

“Oya jal!” kujawab dengan nada tinggi namun gestur tetap cool. Supaya keliatan lebih meyakinkan meski aku masih heran dengan jawaban sendiri.

“Yaudedeh, kenape gaikut demo? Masa panas doang ciut?” yap, pertanyaan lagi yang bikin gue hilang kendali. Lets do this man.

“Gue iyain ahok gapunya ahlak mulutnya. Bener. Dan kalo emang indonesia sebagai negara hukum punya kebijakan tentang hal begini gue dukung total. Gue dukung sepenuh tindakan ahok diproses hukum setelah penistaan lain yang lebih besar kelar diurus.”

“Lah ini alquran, kurang besar apa?” dipotong gue.

“Tunggu dulu! Gue belum kelar. Gue melihat penistaan agama islam dimana-mana. Hal yang bikin gue muak dan hampir bikin apatis sama kondisi manusia pada umumnya. Pengabaian pengungsi sampang, perusakan citra kasih sayang nabi oleh muslim yang orasi dan hujat sana-sini, pencitraan keagamaan oleh politikus yang kampanye, macem-macem! Banyak hal jal yang patut difokusin umat muslim dalam konteks membela agama ketimbang sekedar menuntut maaf orang yang seenak kentang ngutip quran kite. Pas uda minta maaf, masih dituntut untuk dipenjara. Astaga, gue sekarang malah ngeliat demo itu juga penistaan agama islam.”

“Weet... ati-ati kalo ngomong mat.”

“Lo ati-ati kalo mau ikut demo. Islam, gak, muslim yang katanya diwakili fpi dan konconya jadi kelihatan kekanak-kanakan. Kritik merendahkan dimana-mana. Jangan bilang kalo ini rintangan kebenaran. Karena kebenaran ketika ditinjau dari segala aspek tetap benar, tidak menimbulkan pertentangan kecuali dari musuhnya. Malah sangat mungkin musuhnya mengakui kebenaran itu dan dikendalikan nafsu ketika melawannya. Soal ahok, penistaan agama, sangat kompleks dan sarat agenda politik. Dan banyak kiyai-ulama top yang mengatakan demo ini terlalu dibesarkan juga tak perlu. Mereka sadar kalau perjuangan islam sekarang punya prioritas. Dibaca dulu situasi indonesia begimana. Apa ancaman jangka pendek dan panjang. Apa aja efeknya, dan sebagainya. Seandainya islam sudah bener-bener bersinar di indonesia, sampe dunia gak lagi merujuk islam kepada isis dan kekacauan timur tengah tapi ke keharmonisan negara kita tercinta ini, baru demo deh tuh yang sembarangan ngutip alquran tanpa ilmu. Ketua NU sendiri juga ngakuin kok kalo ahok bicara diluar koridornya. Udahlah, besok pasti sudah jakarta makin panas, mau ahok dipenjara atogak.” Gue sampe ceramah sambil merengut.

“Kenape?” dia terlihat sudah memaklumi perbedaan kami.

“Sekarang mendung. Si otong baju pramukanya baru dicuci emak dan besok harus kering. Udah pasti si emak doa! Doa ibu neh!” gue bicara kaya orang marah sambil angkat satu tangan ke udara.


Sejauh Beirut tetap paling enak itu Iwan Fals
Kamis, 3 November 2016
Foto: @aikecil

Tuesday 25 October 2016

Leyeh leyeh

Kepak sayap merpati terlihat di antara kepulan asap. Asap yang menandakan pengangguran di negeri orang. Orang bilang ambisi akan mengangkat semangat. Semangat juang perubahan dan pergerakan. Pergerakan yang biasa menggulingkan kursi kini hanya menggulingkan bantal. Bantalan kemalasan yang asik mendengar suara kipas. Kipas memori mengingatkan kehangatan rumah. Rumah tempat semua bermula walau belum tentu berakhir. Berakhir sudah masa keemasan yang tinggal kenangan. Kenangan yang hanya dipakai untuk menghibur bukan mendorong. Mendorong hati dan pikiran untuk terjun ke realitas dalam mimpi. Mimpi yang telah dibentuk sedemikian hingga sejarah patut mengenang. Mengenang keberhasilan atas jerih payah yang entah kapan. Kapan keluhan berhenti aku tak tahu. Tahu pasti bahwa besok bisa sekarang. Sekarang pun hanya sanggup menulis tanpa berbuat. Berbuat sesuatu yang pantas ditulis. Ditulis lah note ini. Ini agar aku ingat bahwa semangat pernah muncul disini.

Beit El Kil
Selasa malas, sore

Dunia memang itu-itu saja (yasalam)

Banyak yang terbang melintasi zona waktu demi mengais ilmu—yang mungkin sangat melimpah di rumahnya sendiri. Walau ada juga di antaranya yang terdorong mimpi orang tua, bosan menganggur, atau sekedar ingin naik pesawat.

Pada akhirnya, setiap tujuan itu tak berarti di hadapan waktu: mereka semua tergilas rutinitas dan mau tak mau membentuk diri dengan cetakan yang sama di sekolahnya.

Terlintas pertanyaan, untuk apa orang-orang ini menghabiskan waktu mempelajari agama. Sebagian mereka sudah mempelajarinya di rumah, di kelas, atau bahkan di majlis keagamaan. Sebagian lagi bahkan sudah pernah masuk ke instansi pendidikan yang persis sama hanya negara berbeda. Mempelajari hukum-hukum agama, konsep, kisah, dan praktek keagamaan yang sama dimana-mana, bertahun-tahun, untuk apa?

Pulang dengan selembar ilmu yang sama seperti kawannya. Sebagian mendapat kesempatan mengajarkan ingatannya pada mereka yang lebih muda bahkan tua. Yang muda dan bersemangat, nantinya akan dikirim ke tempatnya belajar untuk mempelajari pelajaran dan buku yang juga sama, hanya guru berbeda—mungkin temannya. Untuk apa?

Sebagian pelajar agama disini dengan antusias memamerkan api semangat keagamaan di matanya. Ini lain cerita. Setiap ilmu dan buku yang dilahap adalah untuk kepuasan dan pencapaiannya sendiri. Meski beberapa pencapaian itu mungkin berhubungan dan berpengaruh terhadap orang disekitarnya—itu pun mungkin. Tak ada pertanyaan untuk yang satu ini. Layaknya orang gila, ia punya dunianya sendiri—alasannya sendiri. Yang seandainya ia jelaskan pun, takkan kupahami.

Ada lagi yang lebih mengerikan: bersekolah demi sebuah kontrak kerja. Fenomena perburuhan ini mudah sekali ditemukan di universitas pada umumnya. Dimana pemilihan jurusan bahkan kampus berorientasi ngantor atau potensi gaji yang aduhay. Mereka bermimpi akan bekerja setelah kuliah, menabung dan beli rumah, lalu menikah. Beranak dan berharap keturunannya mendapat kehidupan yang minimal lebih baik darinya walau tak sesuai keinginan si anak. Dan terulang entah sampai generasi keberapa.

Aku memang layaknya sih bersyukur. Dunia yang memang sudah tak menarik rupanya jadi sebab kakek-bapak-anak-cucuk mengulang pikiran yang sama meski aplikasinya berbeda. Tak ada gejolak, tak ada tuntutan mendesak untuk melakukan sesuatu yang baru dalam waktu dekat. Kedamaian ini membuat kreatifitas manusia tumpul. Ya, ini semua berkat kedamaian yang lama sudah tercapai.

Dunia akhirnya memang itu-itu saja dan pantas rasanya tuhan mengakhiri pertunjukkan dramanya. Rupa-rupanya manusia lebih kreatif sehingga skenario tuhan pun hilang arah. Perdamaian yang keburu dicapai sebelum waktunya membuat rentang waktu tuhan membuat cerita membosankan. Malah, berkat kebosanan itu sebuah pertanyaan jadi sempat dilontarkan: tuhan, apa arti pertunjukkan ini?

Entah kenapa tuhan tersenyum.

Seminggu tanpa kelas
Beirut, Mon 24 Okt

Sunday 23 October 2016

Ibadah Perokok

Dengan isyarat ia meminta sebatang rokok. Aku bertanya padanya, “Tak masalah merokok di kamar?”. Kamarku dihuni empat orang. Hanya aku dan dia yang merokok.

“Haha, masalah kawan. Tapi sudahlah, ini kamar kita.”

Kujawab dengan tawa. “Tapi aku akan tetap merokok di luar.”

“Kenapa?”

“Ada dua jenis ibadah.”

“Apa itu?”

“Horizontal dan vertikal. Vertikal adalah ibadahmu dengan tuhanmu, olehmu untuk dirimu, karena tuhan tak memerlukan apapun bukan? Dan horizontal adalah ibadahmu terhadap sesama mahluk, khususnya manusia. Olehmu, untuk mereka.

Aktifitas sosial adalah bentuk penghambaan seseorang terhadap tuhannya. Sebuah tindakan yang dimulai dari kesadaran akan ketuhanan yang esa. Bahwa siapapun dan apapun, tercipta oleh tuhan yang sama. Maka menghargai, merawat, menyenangkan, dan membantu sesama adalah penyerahan diri terhadap tuhan yang diakui menciptakan segalanya. Meng-abdi pada pencipta. Oleh karena itu disebut ibadah horizontal.

Aku menikmati rokok itu, kawan. Tapi bukan dengan merebut kenyamanan orang lain.”

Ia membalas dengan senyum. Mengambil gelas kecil, dan mematikan rokoknya.

Lantai empat bersama orang Afrika
Malming, 22 Okt 2016

Pesan Universal

Diambilnya kertas dan pulpen. Menulis kata demi kata dari lagu Iwan Fals: Ethiopia. Dan diterjemahkannya ke dalam bahasa nasional negeri orang.

Sebabnya adalah seorang teman, asal Ethiopia. Dalam sebuah percakapan singkat ia teringat lagu dari seniman besar negerinya. Kawannya itu terkejut antusias. Dan membuatnya berjanji akan menunjukkannya esok hari.

Seminggu ia bersusah payah mencari kata yang tepat demi setiap kata di lagu tersebut. Dan rampunglah sudah.

Dengan semangat ia pergi menuju kamar temannya, membawa surat untuk Ethiopia dari Indonesia.

Didengarkan, lalu dijelaskan.

Setetes haru merubah suasana saat itu. “Tak terbayang olehku akan ada yang meneriakkan nama kami di luar sana,” ucap sahabat.

“Kemanusiaan adalah pesan universal, kawan. Sepasang bola mata hanya dapat melihat kata, namun manusia yang membaca akan memahami derita sesamanya.” jawabnya.

Haret Hreik
Malming, 22 Okt 2016

Wednesday 12 October 2016

Kamfret

Setiap perpisahan selalu diwarnai dengan keraguan atau keyakinan. Antara kemungkinan dan kepastian. Apakah jumpa atau dadah selamanya. Antara sosok dan memori yang mencolok.

Perputaran dunia dikata tak abadi namun tak ada yang tahu pasti, kapan ia berhenti?

Sang Maestro memang telah berfilosofi dengan bumi yang bundar, dan hidup pun bagai roda yang berputar.

Air mata akan tergantikan dengan tawa, juga sebaliknya.

Hidup penuh dengan tanda tanya, namun apalagi pilihan selain menikmatinya?

Kita adalah tinta di atas kanvas, tunduk pada kemauan pemegang kuas. Menari dan kenali diri, lalu jadilah diri sendiri.

Maha karya yang penuh dengan warna.

Amarah, senang, benci dan cinta dalam gradasi waktu yang kaku.

Cukup sampai disini.

Genggam erat tanganku, mendekat dan tempelkan pinggulmu.

Pejamkan mata dan biarkan jiwa merekam segalanya.


Secangkir susu jahe untuk si bangsat.
Selasa, 11/10 dini hari.
@LesehanSejarahRI

Membaca Penulis

Sejak manusia kuno menggambar perburuannya di goa, para penulis berusaha merekam pengalaman diri--fisik atau jiwa--lewat karya. Ada yang sekedar menceritakan, ada yang juga menafsirkan.

Mereka yang memiliki pertanyaan dalam hidupnya berusaha mengajak kita ikut bertanya lewat tulisannya. Atau bahkan tak jarang penulis hanya ingin curhat. Bagaimanapun, penyelaman pertanyaan dalam tulisan itu sering kali malah menuntunnya atau kita pada jawaban itu sendiri.

Gelombang seperti ini tak pernah berhenti sejak gambar di goa itu, tapi berkembang.
Entah sampai kapan dan pertanyaan apa lagi yang akan dilontarkan peradaban.

Tugas? Lucu juga manusia yang gila sekolah sampai hidup dianggap sebuah instansi pendidikan. Cukuplah untuk jujur pada diri sendiri akan pertanyaan-pertanyaan yang pasti berdatangan. Bahkan tanpa mengikuti arus kegalauan penulis, kita akan bertemu dengan pertanyaan dan jawaban kita sendiri.

Jangan berpikir dulu, tapi perhatikan. Dengarkan lalu pikirkan. Setelah itu, rasakan.


Barayaku tercintah.
H-2 DOH.
Selasa sendu, 11 Oct 2016

Saturday 8 October 2016

Bebas

Terbayang sebuah kenikmatan
Orang menyebutnya kematian
Aku melihat kebebasan
Memilih sering dianggap kemewahan
Namun sadarkah kau bahwa itu tanggung jawab yang dibebankan?
Sayang sekali ketika dibebaskan
Tapi mati tidak termasuk dalam pilihan
Beban apa?
Benar atau pun salah kita memilih, pasti ada konsekuensinya
Dan setiap jalan yang dipilih, selalu ada pilihan lagi didepannya
Pilihan akan selalu menghantui sebelum mati
Tanggung jawab adalah pasung bagi siapapun yang memilih
Bebas?
Tidak ada yang bebas
Bahkan untuk bebas memilih
Tak diberi kesempatan untuk tidak terjun dalam arena pemilihan
"Aku beruntung!" Katanya di mimbar sejarah
Hanya kematian kebebasan yang sesungguhnya
Ketika kita bebas dari pilihan

Thursday 6 October 2016

Ketika Semesta Mengehingkan Cipta


Siang itu di bawah bayang SPBU, aku berteduh. Perjalanan masih jauh, dan siang masih panjang. Aku diam, membiarkan keringat menguap.

Ping.

Sebuah pesan online menggetarkan ponsel.

Fulanah sent a photo.

Kubuka dan layar LED bersinar melebihi kapasitasnya. Tak berkedip beberapa saat dan jantung berdetak cepat. Sebuah rindu bangkit dari kuburnya. Senyum merekah dengan sendirinya. Wajah yang tak ku kenal parasnya, namun begitu dekat di hati. Bukan mata, tapi jiwa yang mengenali.

Chit-chat terjadi dengan pemilik akun yang sedang bersama bidadari. Menghargai usahanya menggoda ketenangan hati yang telah lama mati.

Lepas beberapa menit tak kuhiraukan terik matahari dan menyalakan motor. Detak jantung sudah dibuat kacau, daripada galau di pinggir jalan lebih baik lanjutkan perjalanan. 

Singkat cerita setengah jam berjemur matahari dan menikmati hembusan knalpot, aku sampai tujuan bertemu klien. Bincang-bincang dan melihat kelayakan barang, akhirnya transaksi dibatalkan. Pulang, tanpa jeda sampai di rumah.

Kulepas jaket dan berbaring di kamar. Memori indah kasmaran terus menghantui. Tak sedikitpun keringat membasahi kaus sejak di SPBU.


Nostalgia menunggu visa
Cimenyan
Awal Oktober, Subuh

Tuesday 4 October 2016

Happy Ending

Tengah malam sebuah motor tanpa lampu menyala terlihat mendekati dari belakang.

Jalanan memang sepi.

Dugh!

Nyeri terasa menyengat ke otak sampai ujung kaki.

Hangat dan basah, disambut perih yang menahan ronta di belakang leher.

Lemas membuat gas dan kemudi motor jadi tak terarah, dan jatuh.

Motor terlihat terseret jauh ke depan.

Kaki tangan perlahan mati rasa, dan mata kabur.

Derap kaki dan saut-sautan tak jelas mendekat. Satu orang sekilas terlihat mendirikan motor dan membawanya pergi. Satu dua kaki membuat tubuh bergeser. Sampai nyeri membuat buta dan tak sadar setelah tendangan terakhir di bawah kepala.

Tinggal bayang-bayang soal hutang dan wajah orang tua. "Aku akan mati..." Katanya pada diri sendiri.

Sisa kesadaran sudah memvonis akhir hidupnya. Dan ragam besarnya penyesalan membantu nafas menghentikan kerjanya.

Tiba-tiba sebuah kesadaran kecil menunjukkan batang hidungnya dan berkata, "Jadi, cuma sampai sini?"

Ketakutan dan penyesalan mulai senyap.
"Jadi begini kau akhiri kisahku, Tuhan?" Tangis dan ronta pun berhenti dan rona perlahan tenang.

Kesadaran kecil itu lahir dari sugesti yang bercumbu dengan waktu. Menghasilkan alam bawah sadar yang bodoamat dan legowo. Mudah menerima kenyataan meski diawali penyesalan. Cepat menyingkirkan segala beban. Merangkul kemungkinan dan relatifitas kehidupan.

"Oke... Sampaikan maafku pada ayah dan ibu. Terima kasih." Benak berkicau meski tak tahu bahwa itu yang terakhir.

Nafas mengucap perpisahan terakhir pada senyum yang tersulam di bibir.

***
Ruang putih di depan mata dan di bawah kaki terlihat begitu dalam dan luas meski tak gelap. Jauh pandangan memandang kekosongan membuat tenang. Sampai, teringat semua ketegangan yang terkahir ia rasakan.

"Aku sudah mati." Tertunduk, dan mengenang senyumnya yang terakhir.

Pasca liburan cukup mengasyikkan. Rapat penjebolan hati seorang perempuan. Cimuncang-Gerlong.
Selasa, 4 Oktober.

Thursday 29 September 2016

Teman Kita Bernama Dilema

Konon katanya, tatkala bimbang, tanyalah hatimu sebab ia adalah saksi yang tak menerima suap.

Namun keseimbangan adalah cara semesta mengajarkan kita hidup.

Apakah seorang guru sudah pasti benar?
Kapan kita mengikuti akal, kapan kita mengikuti hati?

Semua pasti tahu masa itu, ketika hati dan akal memilih jalannya masing-masing.

Kemana tubuh ini harus kita bawa?

Ada nilai yang dipertahankan masyarakat, ada kebahagiaan yang berusaha kita dapatkan.

Tentu, tak selalu sehitam putih itu. Tenang saja, bu.

Ada kalanya kabut menyelimuti sehingga hati terlihat seperti ego, dan akal adalah sebuah kelicikan untuk mendominasi. Ego dengan nama lain.

Ketika mengikuti hati, ada diri yang dibuat berseri. Namun jika akal diikuti, ada banyak orang yang bisa kita ajak naik kapal. Mempertahankan nilai, itu intinya.

Aku jujur tak paham kerja hati. Namun jika sedikit melihat akal dari sini... Cukup jelas apa pakaian yang dikenakannya.

Ia menari dengan perhitungan untung rugi. Untung rugi bagi siapa? Tentu diri sendiri.

Haha, mari kita sederhanakan. Gunakan analogi.

Dalam sebuah keluarga yang dipasung bisnis, terdapat banyak masalah. Jika si bungsu tak menikahi anak calon kolega, perusahaan akan mengganti namanya. Jika si bungsu tak menikahi kekasihnya, penat tinggal yang menemani sampai mati. Orang tua pun bingung, antara masa depan perabot, atau tawa di rumah anaknya nanti.

Dalam setiap pilihan, akan ada pengorbanan. Kita mengenalnya dengan pilihan; ambil satu dari dan buang yang kedua.

Membahagiakan diri, atau menyenangkan yang lain.

Kadang hati terdengar benar, begitu kata akal... "Tapi kadang juga salah," hmm.

Nah, kapan hati bisa menjadi penentu? Ketika akal bimbang? Kapan ia bimbang? Bahkan dalama ketegangan pilihan-pilihan yang saling bertentangan semua jelas dimatanya; jelas sampai ujung konsekuensinya.

Posisi si bungsu sangat tertekan. Kunikahi dia agar orang tua senang. Kunikahi dia karena cinta bersifat menyatukan.

Kuikuti orang tua karena mereka segalanya. Kugapai tangannya sejak ia adalah segalanya. Yang mana? Yang manaaaaa???

Kutanya hati, ia pun mendua. Dan sejak awal, akal juga mendua.

Pada akhirnya, pengorbanan adalah jawaban paling tepat sasaran.

Dan di tengah ruang dansa kini terlihat akal dan hati berpelukan, harmonis oleh keterbukaan. Hah! Sejak awal mereka ada untuk saling melengkapi.

Pengobanan adalah akibat pilihan.

Dan perbedaan latar pilihan membuat berat pengorbanan tak mungkin sama.

Di situlah keputusan di tanda tangan. "Pengorbanan paling ringan"

Akal dan hati tersenyum berpandangan.

Dil Dhadakne Do
24 September 2016

Monday 20 June 2016

Ceritanya Ngeluh

Sejak lama aku ingin menulis buku. Bukan buku tulis, tapi tulisan yang dibukukan.

Tapi kenapa ya Tuhan, kok menulis sekarang se-menegang-kan ini ya? Sejak media sosial jadi lapak baru industri perang. Jual ide jual isu, kemanusiaan mati di depan layar.

Teman gue kena bully karena kritik artis medsos. Keluarga pecah belah dijatuhkan persoalan politik pemilu. Tukang nasi jadi bulan-bulanan opini sampai 170 juta di tangan tak bisa sembuhkan pusingnya. "Gak terima komentar apa-apa. Pusing!" Katanya sambil tutup warung. Puasa tinggal syair dan hikmah di situs yang kejar popularitas. Tinggal perdebatan perda yang katanya syariah barokah di mulut-mulut pengangguran.

Aku ingin menulis, tapi budaya literasi Indonesia sudah jauh dari semangat seni yang merakyat. Ketika sastra adalah cara pendahulu menorehkan sejarah yang patut dikenang dan penuh semangat kemanusiaan. Kok sekarang kalau main ke toko buku, ramai sekali rak-rak itu dengan suara tembakan meriam kata yang menghujam kertas-kertas lain.

Jadi pembaharu? Sesatlah aku seperti Mirza Gulam Ahmad nanti.

Judgement. Ya akhirnya aku pun ikut terseret arus kurang kerjaan. Jika hakim dalam tulisan ini semena-mena ketok palu soal citra pembaca, monggo demo dan gulingkan. Mungkin memang sudah saatnya jalanan sepi mahasiswa demo dengan pengeras suara. Sekarang eranya duduk di indomaret ketika bulan puasa, selinting tembakau dan kopi kotakan jadi penyemangat demonstrasi media sosial. Duduk di samping pemilik akun yang didebat, tanpa kenal wajah kenal nama.

Yah, sekarang eranya Luffy dan worst generation gonjang-ganjing lautan. Eranya pertempuran dua anak haram dari House of Stark and Bolton. Komik dan film sudah mencapai garis finish ceritanya, begitu pun dunia kita.

Senin, 20 Juni

Wednesday 23 March 2016

Putih dan Coklat


Di kasir minimarket itu, tepat berdiri di depanku, sebuah jaket hijau dengan celana jeans dàn sepasang sneakers, rambut panjang kecoklatanmu tergerai acuh di pundak, menyisakan hidung yang terlihat malu-malu. Awàl waktu kulihat potongàn wajah yang menarik, menggetarkan imajinasi, dan mendinginkan setiap darah yang dipompa jantung tergesa-gesa. Bukan patung, apalagi berhala, kepala itu kadang tergerak, menusuk hati dengan rona wajah yang tertekuk beban pikiran. Aduhai kulit putih yang jujur, berikan aku sedikit waktu untuk mengganti bulan dengan matahari. Senyummu dapat mengistirahatkan kemalasan sàng iblis, membuat para malaikat berlomba mencatat setiap semangat yang dikeluarkan manusia. Kau pergi tanpa ragu, tahu arah namun tak punya mau. Kau adalah warna yang tak diwarnai. Bagai cahaya yang tak melukai. Bintang, yang menghibur di tengah gelapnya malam hari.
____________
Sayap-sayap patah mewarnai bumi lebih indah dari paparan cahaya mentari. Olehnya manusia didengarkan gemercik sungai dari eden walau nil dan amazon terbentang begitu luasnya. Suara Selma bagai seruling Krisna yang membangunkan burung gereja di pagi hari. Senyumnya dirindukan, seperti rerumputan yang menangis diterpa malam, dan berpesta begitu pagi datang. 


Tuesday 22 March 2016

Aku Gampang, Ibu Senang


Aku lagi nongkrong sambil ngopi di warungnya bu aking. Sekitar jam 5 lah. Hape kutinggal di rumah, dan jam di warung mati. Aku perkirakan jam dari tukang eskrim yang selalu pulang sore-sore. Tiap kutanya kenapa pulang sekarang, jawabannya selalu, iyalah, udah jam 5 dek! Bu aking bilang gak penting sekarang jam berapa, toh masjid bakal azan pada waktunya. Mending batrenya di jual biar untung. Gak lama si tedi datang, dia selalu bawa hape.

Aku kasih tau ya, aku sama tedi sudah berkawan sejak sd. Kami dua sejoli yang gak pernah tidur bareng. Biar gak keliatan homo soalnya. Dan kami beda sekolah. Dia anak yang kaya tapi gak punya uang. Iya, kaya. Gapernah keliatan susah soalnya, tapi aku tahu sendiri uangnya selalu pas dan gayanya tidak beda denganku. Hapenya juga biasa saja. Pokoknya gak beda jauh sama semua penduduk kampung ini. Si tedi ini miring orangnya. Pundak sama kepalanya suka miring ke kiri. Sekarang kita  lagi libur persiapan un buat sma. Lalu dia tanya aku.

"Jon, kamu abis sma mau ngapain?"
"Kuliah men, gue pengen mendalami teknik fisika"
"Hmm"
"Emang kamu ngapain ted?"
"Aku mau keliling dunia."
"Widih, tapi gimana caranya?"
"Naik pesawat lah, masa sepeda. Seribu jalan menuju roma. Nanti kalau waktunya tiba juga bakal kepikiran caranya yekan? Sekarang masih belum, karena jam segini waktunya aku minum kopi disini sama kamu. Bu, biasa ya."

Bu aking itu orang baik. Dia gapernah marahin kami walau omongan kami kadang gak pantas. Ya bayangin aja sendiri ya gimana omongan gak pantas dua pria di bangku sma.

Begitu kopi tedi jadi, aku teringat ibu. Gatau kenapa.

"Ted, gue pengen nyenening emak. Tar gue kuliah terus jadi inventor. Dapet penghargaan noble, dan memenuhi semua keinginan emak. Hahahaha hayal ye. Bodo amat deh. Pokoknya gue harus beliin emak hape baru sama ajak dia jalan-jalan ke luar negeri. Doi sering banget muji-muji alam gitu, subhanallah katanya. Gue pengen dia liat kebesaran tuhannya dengan mata kepala sendiri."
"Sama, emak gue juga gitu"
"Terus nanti kalau jadi keliling dunia, lo sendiri?"
"Iyalah. Sendiri aja kan belum kebayang caranya gimana, apalgi berdua, bertiga, berempat? Hayal tau diri cuk"

Si tedi pernah smp di jawa timur. Dia bosen di kampung katanya, pengen merantau kaya anak minang.

Kopi belum habis tiba-tiba hape tedi bunyi. Dia baca, aku seruput kopi. Udah mulai oranye langitnya, mungkin udah mau jam 6. Tiba-tiba tedi bayar kopinya ke bu aking.

"Ini bu sama punya si jon."
"Loh, mau kemana lo? Belum azan kan."
"Emak gue minta dibeliin gula di pak ato. Mau buka puasa gula buat tehnya abis. Emak gue pasti seneng kalo gue respon cepat permintaannya. Gue duluan jon!"

Melangkah pergi tedi bersama azan yang mulai berkumandang.

Supir taxi bersitegang. 22 maret 2016.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...