Thursday 29 September 2016

Teman Kita Bernama Dilema

Konon katanya, tatkala bimbang, tanyalah hatimu sebab ia adalah saksi yang tak menerima suap.

Namun keseimbangan adalah cara semesta mengajarkan kita hidup.

Apakah seorang guru sudah pasti benar?
Kapan kita mengikuti akal, kapan kita mengikuti hati?

Semua pasti tahu masa itu, ketika hati dan akal memilih jalannya masing-masing.

Kemana tubuh ini harus kita bawa?

Ada nilai yang dipertahankan masyarakat, ada kebahagiaan yang berusaha kita dapatkan.

Tentu, tak selalu sehitam putih itu. Tenang saja, bu.

Ada kalanya kabut menyelimuti sehingga hati terlihat seperti ego, dan akal adalah sebuah kelicikan untuk mendominasi. Ego dengan nama lain.

Ketika mengikuti hati, ada diri yang dibuat berseri. Namun jika akal diikuti, ada banyak orang yang bisa kita ajak naik kapal. Mempertahankan nilai, itu intinya.

Aku jujur tak paham kerja hati. Namun jika sedikit melihat akal dari sini... Cukup jelas apa pakaian yang dikenakannya.

Ia menari dengan perhitungan untung rugi. Untung rugi bagi siapa? Tentu diri sendiri.

Haha, mari kita sederhanakan. Gunakan analogi.

Dalam sebuah keluarga yang dipasung bisnis, terdapat banyak masalah. Jika si bungsu tak menikahi anak calon kolega, perusahaan akan mengganti namanya. Jika si bungsu tak menikahi kekasihnya, penat tinggal yang menemani sampai mati. Orang tua pun bingung, antara masa depan perabot, atau tawa di rumah anaknya nanti.

Dalam setiap pilihan, akan ada pengorbanan. Kita mengenalnya dengan pilihan; ambil satu dari dan buang yang kedua.

Membahagiakan diri, atau menyenangkan yang lain.

Kadang hati terdengar benar, begitu kata akal... "Tapi kadang juga salah," hmm.

Nah, kapan hati bisa menjadi penentu? Ketika akal bimbang? Kapan ia bimbang? Bahkan dalama ketegangan pilihan-pilihan yang saling bertentangan semua jelas dimatanya; jelas sampai ujung konsekuensinya.

Posisi si bungsu sangat tertekan. Kunikahi dia agar orang tua senang. Kunikahi dia karena cinta bersifat menyatukan.

Kuikuti orang tua karena mereka segalanya. Kugapai tangannya sejak ia adalah segalanya. Yang mana? Yang manaaaaa???

Kutanya hati, ia pun mendua. Dan sejak awal, akal juga mendua.

Pada akhirnya, pengorbanan adalah jawaban paling tepat sasaran.

Dan di tengah ruang dansa kini terlihat akal dan hati berpelukan, harmonis oleh keterbukaan. Hah! Sejak awal mereka ada untuk saling melengkapi.

Pengobanan adalah akibat pilihan.

Dan perbedaan latar pilihan membuat berat pengorbanan tak mungkin sama.

Di situlah keputusan di tanda tangan. "Pengorbanan paling ringan"

Akal dan hati tersenyum berpandangan.

Dil Dhadakne Do
24 September 2016

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...