Sunday 20 November 2016

Abstraksi saat ini

Hidup selàlu menghadapkan kita pada pilihan. Dan selalu, pilihan itu terlihat rumit di muka. Meski setelah terlewat, pada akhirnya hanya ada dua jalan: antara yang benar dan salah, atau yang paling benar dan paling salah.

Seorang anak muda berusia 20 tahun melihat hidupnya penuh disesaki urusan. Mulai dari urusan kemanusiaan, keluarga, persahabatan, masa depan, sampai urusan kehambaan, bahkan urusannya dengan diri sendiri.

Sering diantara 365 malam ia mendesah, betapa ia sudah salah melangkah. Ia merasa hidupnya sudah cukup jauh, dan kesalahan tak bisa dibayar seutuhnya.

Penglihatannya kabur, seperti lukisan abstrak tapi bernilai ratusan juta. Itu yang membuat ia terus memandangan pikirannya yang abstrak, karena ia tahu, ini bernilai sangat besar.

Ia sering membuat kesimpulan hasil olah pikiran. Entah dari percakapan, bahkan dari film layar lebar. Namun lebih sering lagi ia membiarkan kesimpulannya terpajang rapi di lorong waktu. Tinggal sebuah memori akan pencapaian pikirannya.

Ia hidup sudah 20 tahun menginjak tanah. Tapi sejauh ingatannya, tak satupun hari pikiran meninggalkan ruang kerjanya. Hidupnya habis dalam pikiran, dan itu membuat semua seakan terlambat.

Ketika berhasil membuat semua terlihat sederhana, semangat untuk melangkah muncul. Ada tapi nya, sekali lagi pikiran berkata jangan terburu-buru. Dan akhirnya ia duduk dan menunggu, lagi.

Ketika pantat mulai panas, ia berdiri dan mengulangi hal yang sama, lagi.

Banyak hal yang ingin ia lakukan dan terus bertambah. Tak ada gunanya diurai karena kita hanya akan fokus pada tujuan dan keinginan masing-masing. Tapi ada baiknya untuk terus membaca, sebab saya yakin, pengalaman bocah itu adalah masalah klasik.

Pada akhirnya, ada pada akhirnya yang selanjutnya. Tak hanya ketika pilihan diambil dan rupanya semua terlihat sederhana dari depan. Tapi juga soal waktu. Terburu-buru dan terlambat adalah kerja waktu.

Pada akhirnya, semua belum tentu terlambat dan belum tentu terlalu cepat. Setelah sesuatu berhasil dikenali lewat kacamata pilihan yang sebenarnya, antara benar dan salah, waktu akan membuka tangannya. Seakan berkata, majulah, waktumu telah tiba.

Karena manusia bukan bulan, yang sudah meneken kontrak bersinar pada matahari. Sehingga ia berputar dalam lingkaran waktu yang kaku.

Tak ada yang terlambat, karena kita yang memutuskan kapan akan berangkat. Tak ada yang terburu-buru, karena waktu selalu tampil sebagai guru.

Hidup dalam mimpi untuk meraih mimpi
Throwback Siberian Education
Minggu dini hari

Sunday 6 November 2016

Iman dan kemanusiaan

Iman bagiku terlihat seperti cinta. Karena mereka yang terjangkit penyakit ini tak ubahnya melakukan penyerahan diri pada yang diimani; dicintai.

Ketika tuhan memasuki ranah iman, maka kemanusiaan menjadi output yang kuukur. Karena mencintai tuhan berarti menjadi pelayannya. Mencintai tuhan akan menyambungkan kita dengan kecintaan-Nya pada manusia.

***

Perut lapar, menjadi yatim perang, peluh mencari nafkah keluarga; semua menyayat hati kemanusiaan yang sadar bahwa tempat manusia sudah seharusnya lebih baik dari itu.

Membenci kemiskinan adalah fitrah kemuliaan manusia.

Dunia dengan segala sistemnya membuat tuhan seakan menciptakan bumi dalam keadaan serba kurang. Kalau ia maha kaya dan menggambar benua dengan kekayaan sedemikian rupa, kenapa masih ada yang menadah receh di simpang perempatan? Dan pemangku kekuasaan spiritual masyarakat berbusa mengajak doa meminta sabar akan perut yang lapar. Ya, perut kenyang memang buat kita malas dan bodoh.

Disini pembelaan tuhan kulontarkan. Bahwa manusia terbawa arus babi pemakan segala. Sehingga banyak rerumputan, buah-buahan, bahkan tai yang bukan miliknya ikut dimakan. Semua sudah cukup jika politik tak digunakan untuk membabikan diri.

Ada yang tak beres di dunia sehingga Luna harus menyisihkan waktu mainnya untuk berjual tisu di mesjid megah universitas.

Berbekal hati, terendus sendawa babi memakan iman dengan agamanya.

Kujadikan air mata ini sebagai tolak ukur keimanan
Malming, Haret Hreik

Friday 4 November 2016

Ceramah di warung kopi

Teringat sebuah obrolan sore di sebuah warung kopi. Bersama saudara di persimpangan stasiun Pasar Minggu.

Kami duduk dan berbincang perihal permasalahan keluarga besar tanpa tendensi. Namun suasana berubah ketika seorang di sebelah kami bertanya pada kawannya lewat telpon, “Le, ikut demo 4 November ra? Kapan sampai? Kabar-kabari yo le wes di stasiun.”

Aku dan dia tahu, kami beda kubu. Bukan kubu jokowi dan prabowo, tapi lebih besar dari itu. Ia bersarung aku celana jeans. Dia berbaju takwa putih aku kemeja flanel. Rambutnya rapih cepak ditutup peci putih aku gondrong bentar lagi bisa diikat buntut kuda. Itu adalah pelabelan berdasar penampilan. Bukan contoh yang layak ditiru, tapi sengaja saya pakai untuk menjelaskan sesuatu tanpa perlu eksplisit. Karena saya tahu hampir seluruh rakyat kita akrab dengan labeling ini.

Singkat cerita, dia tahu aku akan di jakarta sampai 7 November, lantas bertanya, “Mat, ente ikut demo nanti?”

“Gak jal,” kuseruput kopi dengan jawaban seperlunya. Sejak aku mendengar percakapan pria tadi, hati sudah malas dan tak nyaman. Tak ingin isu perbedaan pandangan ini merusak keharmonisan kami sore itu. Tidak merusak sih, mencanggungkan suasana.

“Hahaha, kenape mat?”

“Panas jal. Jauh juga dari depok.” Masih kujawab sesingkat mungkin. Dan aku memang selalu nginap di depok.

Ia terkekeh. “Jadi lebih penting adem daripada bela agama allah ye?” masih diburu aku dengan pertanyaan. Shit.

Untuk menghargai ‘sarkasme’nya aku tertawa. “Manusiawi jal, gue bukan nabi yang diikutin awan.”

“Yeyeye, moga yang nista agama jadinya di penjara deh biar jakarta lebi adem.” Jawabnya tanpa pertanyaan.

“Amin.” Jawabku lega. Kami seruput kopi bersama.

“Jadi ente sepakat ahok nista agama?” Aduuuuh, pake nanya lagi nih si sempak.

“Oya jal!” kujawab dengan nada tinggi namun gestur tetap cool. Supaya keliatan lebih meyakinkan meski aku masih heran dengan jawaban sendiri.

“Yaudedeh, kenape gaikut demo? Masa panas doang ciut?” yap, pertanyaan lagi yang bikin gue hilang kendali. Lets do this man.

“Gue iyain ahok gapunya ahlak mulutnya. Bener. Dan kalo emang indonesia sebagai negara hukum punya kebijakan tentang hal begini gue dukung total. Gue dukung sepenuh tindakan ahok diproses hukum setelah penistaan lain yang lebih besar kelar diurus.”

“Lah ini alquran, kurang besar apa?” dipotong gue.

“Tunggu dulu! Gue belum kelar. Gue melihat penistaan agama islam dimana-mana. Hal yang bikin gue muak dan hampir bikin apatis sama kondisi manusia pada umumnya. Pengabaian pengungsi sampang, perusakan citra kasih sayang nabi oleh muslim yang orasi dan hujat sana-sini, pencitraan keagamaan oleh politikus yang kampanye, macem-macem! Banyak hal jal yang patut difokusin umat muslim dalam konteks membela agama ketimbang sekedar menuntut maaf orang yang seenak kentang ngutip quran kite. Pas uda minta maaf, masih dituntut untuk dipenjara. Astaga, gue sekarang malah ngeliat demo itu juga penistaan agama islam.”

“Weet... ati-ati kalo ngomong mat.”

“Lo ati-ati kalo mau ikut demo. Islam, gak, muslim yang katanya diwakili fpi dan konconya jadi kelihatan kekanak-kanakan. Kritik merendahkan dimana-mana. Jangan bilang kalo ini rintangan kebenaran. Karena kebenaran ketika ditinjau dari segala aspek tetap benar, tidak menimbulkan pertentangan kecuali dari musuhnya. Malah sangat mungkin musuhnya mengakui kebenaran itu dan dikendalikan nafsu ketika melawannya. Soal ahok, penistaan agama, sangat kompleks dan sarat agenda politik. Dan banyak kiyai-ulama top yang mengatakan demo ini terlalu dibesarkan juga tak perlu. Mereka sadar kalau perjuangan islam sekarang punya prioritas. Dibaca dulu situasi indonesia begimana. Apa ancaman jangka pendek dan panjang. Apa aja efeknya, dan sebagainya. Seandainya islam sudah bener-bener bersinar di indonesia, sampe dunia gak lagi merujuk islam kepada isis dan kekacauan timur tengah tapi ke keharmonisan negara kita tercinta ini, baru demo deh tuh yang sembarangan ngutip alquran tanpa ilmu. Ketua NU sendiri juga ngakuin kok kalo ahok bicara diluar koridornya. Udahlah, besok pasti sudah jakarta makin panas, mau ahok dipenjara atogak.” Gue sampe ceramah sambil merengut.

“Kenape?” dia terlihat sudah memaklumi perbedaan kami.

“Sekarang mendung. Si otong baju pramukanya baru dicuci emak dan besok harus kering. Udah pasti si emak doa! Doa ibu neh!” gue bicara kaya orang marah sambil angkat satu tangan ke udara.


Sejauh Beirut tetap paling enak itu Iwan Fals
Kamis, 3 November 2016
Foto: @aikecil

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...