Kebenaran agama saat ini lebih banyak 'dibuktikan' ketakutan.
Advokasi oleh akal di hadapan pengadilan realitas mulai miskin proyek. Ketakutan menyuap realita sampai pelaku pemikiran sehingga tak berani menuntut kebebasannya.
///
Tidak ada satupun dari kita yang sanggup memilih keluarga tempat dilahirkan. Dan ketika sudah terjadi, semua sudut pandang pikiran akan ditentukan tempat kita dibesarkan. Agama, menjadi salah satu budaya doktrin turun-temurum yang sangat populer sejak berabad-abad lalu.
▼
Wednesday, 22 March 2017
Saturday, 11 March 2017
Baca ini, Waktu
Oo mentariku di malam hari, kuadukan padamu waktu yang tak tulus bersekutu
Aku terkagum oleh proyeksi masa depannya
Dan kebingungan atas kehampaan eksistensi saat ini
Lalu kecewa melihat kebelakang dalam kubangan kesia-siaan
Jangankan kita bicara soal dunia yang penuh tanda tanya
Juga keadilan yang terus dinantikan kedatangannya
Semua pisau waktu lengkap menusuk punggung dan dadaku
Bagaimanapun tubuh ini adalah duniaku
Yang terperangkap dalam dunia-mu
Aku terkagum oleh proyeksi masa depannya
Dan kebingungan atas kehampaan eksistensi saat ini
Lalu kecewa melihat kebelakang dalam kubangan kesia-siaan
Jangankan kita bicara soal dunia yang penuh tanda tanya
Juga keadilan yang terus dinantikan kedatangannya
Semua pisau waktu lengkap menusuk punggung dan dadaku
Bagaimanapun tubuh ini adalah duniaku
Yang terperangkap dalam dunia-mu
Monday, 6 March 2017
Ingin tidak ingin, kita adalah Centipide
Lewat kacamata penciptaan, kita menjadi diri kita yang saat ini berdasarkan kesiapan, bukan potensi. Begitu pikirku sebagaimana doktrin yang masih kuamini, bahwa tuhan memberi potensi dan pencapaian adalah pilihan.
Keinginan-keinginan besar dalam hatiku selalu menyeret diri pada pengadilan akal. Kenapa kau belum juga merilis buku? Kenapa kau tidak memiliki pasangan? Kenapa kau tidak menjadi revolusioner meski dalam lingkaran yang terkecil?
Dalam perenungan diri yang sering terjadi--entah dengan congkak atau tidak--aku selalu mengakui bahwa kapasitasku melebihi segala keinginan yang belum tercapai.
Keinginan-keinginan besar dalam hatiku selalu menyeret diri pada pengadilan akal. Kenapa kau belum juga merilis buku? Kenapa kau tidak memiliki pasangan? Kenapa kau tidak menjadi revolusioner meski dalam lingkaran yang terkecil?
Dalam perenungan diri yang sering terjadi--entah dengan congkak atau tidak--aku selalu mengakui bahwa kapasitasku melebihi segala keinginan yang belum tercapai.