Monday 5 June 2017

Nilai Selewat Percakapan

Awal Juni, ketika matahari sedang terik-teriknya. Libur musim panas memindahkan kesibukan dari jalan raya ke pojok-pojok kota.

Semilir angin berdansa 


Di tengah manusia 


Lupa asa


Anak itu berjalan menyisir pantai. Dengan tas selempang berisi buku catatan dan kelakar Zarathustra. Kalau tak salah ia mencari pohon kelapa atau apapun untuk duduk berteduh.

Menyendiri lah bersama orang-orang


Yang menyendiri


Ucap sahabat di pagi hari


Di bawah pohon rindang yang bukan kelapa, dihamparkannya sebuah kain. Biasanya kain persegi itu dilipat segitiga menjadi syal. Namun panas merubah fungsinya menjadi tikar.

Mulut-mulut berbicara dengan bahasanya


Bukan untuk saling memahami,


tapi mengumumkan keberadaannya


Kalau begitu kupilih diam, ucapnya


Selang beberapa menit Zaratusthra sudah tertelungkup di dada si pemuda. Dan sebuah topi menutup jidat sampai hidung. Dengan kedua tangan tersilang di belakang kepala, siapapun mengira ia tertidur. Namun sebuah telpon genggam terdengar melantunkan musik dengan bahasanya. Sebuah bahasa yang tidak dipahami warga yang berjemur di pantai.

Kau beruntung wahai Majnun!


Dunia menghempaskanmu 


Tanpa perlu kau talak ketenangan semu


Sepasang mata kebetulan lewat di depan anak itu. Ia tertarik. Sebab begitu kontras dengan keceriaan dan keramaian pantai musim panas itu. Liburan panas terasa teduh bukan karena pohonnya. Tapi kenyamanan dan ketenangan yang sedang disaksikan sepasang mata si wanita.

Bumi bergetar


Kota-kota mengganti pagar


Yang selamat berpesta hingar bingar


"Kau sedang apa?" Suara wanita membuat anak itu mengangkat topinya. Tak kenal. "Membaca." Satu tangan anak itu menunjuk Zaratusthra di dada. "Kau sedang apa?" Pertanyaan itu dibalikkan kepada wanita. "Berjalan." Ucap wanita masih berdiri.

Tanyakan pada hati


Ketika akal ragu menghakimi


Sebab hati adalah saksi yang tak menerima suap,


Kata Ali


Beberapa detik hanya angin yang terdengar di antara wanita yang berdiri, dan anak yang berbaring. Mereka saling pandang. Anak itu hanya melihat dengan sebelah mata yang tak tertutup topi miring. "Kau mau apa? Jika ingin duduk di sini," anak itu menunjuk kiri tubuhnya, "Aku akan berhenti membaca dan mulai mendengarkan." Wanita itu sempat diam, mungkin berpikir. "Tidak," jawabnya, "Aku akan lanjut berjalan". "Kalau begitu, silahkan. Lanjutkan." Jawab anak itu. Ia menggeser topi dan menutupi keseluruhan wajahnya.

Senyum adalah emosi


Tangis juga emosi


Waktu menggilas tanpa tendensi

No comments:

Post a Comment