Monday, 24 December 2018

Tsunami dan Hari Ibu

Dua jam sudah sore ini aku memilah pilihan toko kue untuk memesan hadiah di hari ibu. Aku ingin kirimkan kejutan padanya dan tante-tanteku. Mereka sedang reuni di rumah paman di Jakarta. Sampai aku memutuskan untuk mengirimkannya besok, karena uang top-up di aplikasi prabayarnya baru bisa diisi nanti malam oleh kawanku. Dan itu sudah sangat terlambat untuk mengirim kue hari ini. Kelewat malam. Yasudah. Kubiarian kejutan ini telat sehari.

Sekarang tengah malam. Aku sedang menunaikan ibadah movie night bersama kawan, datang kabar yang bikin hati tak enak. Tsunami terjadi di pantai Anyer, Banten. Satu provinsi sebelah Jakarta. Jam 9 malam waktu Indonesia barat tadi -- tepat satu jam setelah aku memutuskan untuk menunda pengiriman kue. Aku masih belum tahu berapa yang mati, apalagi siapa. Dan tentunya aku bisa yakin, tak ada satupun orang yang kukenal di sana. Tapi sebagai ekspat beribu kilometer jauhnya dari tanah air, caraku memandang warga negara sendiri agak berbeda. Karena sekarang aku hanya bisa melihat ibu pertiwi dari jauh seperti melihat sebuah kumpulan pulau -- yang diberi nama sama: Indonesia. Tak ada orang yang terlihat, meski kenyataannya, setiap pulau punya warna kulit dan betuk wajah masing-masing.

Kami hanya bisa melihat Indonesia dari luar, sebagai sebuah negara kepulauan yang besar. Cukup jauh jarak kita untuk tidak melihat siapa yang ada di pulau itu. Maka tsunami yang terjadi di Banten, Jawa -- pulauku, lantas memunculkan rasa yang memutar perut. Aku mual. Siapapun yang meninggal, aku merasakan kesedihan yang cukup signifikan. Sebab mereka semua sekarang tak terlihat berbeda -- bahkan tak terlihat. Yang bisa aku lihat hanya pulau tempat rinduku berpulang, bernama Indonesia.

Rencana kejutan sudah terlalu matang untuk dibatalkan. Besok, aku akan langsung menghadap wifi dan memesan kue untuk keluarga ibuku di Jakarta. Aku tak tahu apa yang lucu. Rasanya ingin tertawa tapi tak tahu kenapa.

Sebelumnya sudah terbayang jelas dibenakku, sore itu, saat memilah toko kue, gambaran ramainya tawa saudari-saudari ibuku mendapat kiriman kue dariku di Lebanon. Mereka pasti langsung meneleponku dan tenggelam dalam candaan keluarga seperti biasanya. Kini, bayangan itu sebenernya tak hilang. Hanya muncul sebuah gambaran alternatif yang hanya mungkin terjadi dalam benakku yang sedang kebingungan memilih rasa yang akan dipakainya: mereka memakan kue dengan bahagia namun tak bisa tertawa melihat berita di depan matanya.

Entah besok rasa apa yang akan muncul bersama kue itu. Meski kue dan tsunami adalah dua hal yang benar-benar tak ada hubungannya, tapi hatiku hanya satu. Dan tak peduli seluas apapun ia tumbuh, haru dan gembira masih terlalu besar untuk kurasakan bersamaan.

22-23 Des 18

No comments:

Post a Comment