Tuesday, 16 March 2021

Anak-anak Prasangka


Api kemarahan selalu gagal menghanguskan kesadaranku. Sebagai keturunan Ibrahim aku melangkah di atas kayu bakar sambil menguap. Kulewati amarah yang menatapku gusar, menuju selimut tempat perdamaian bersemayam.

Seperempat abad sudah api itu menikmati damainya kehidupan. Tak menyulutku menjadi abu. Jika kau ingin melihat kekuatan yang ia simpan, silakan nyalakan. Di hadapan dunia, kehidupan yang memuakkan, tak kutemukan selain tatapan yang menjijikan. Tak peduli berubah seperti apapun ia, ribuan kali akan kupalingkan muka, dan meniggalkannya dengan perasaan remeh.

Kita adalah anak-anak prasangka. Dari prasangka kita temukan harapan. Pikiran kita semua dipenuhi utopia yang berbeda-beda, namun sama-sama kita berjalan ke arahnya—setidaknya berusaha ke sana. Agama, filsafat hidup, mimpi, semua bertumpu di pundak harapan. Dari sana Tuhan menunjukkan wajah-Nya yang paling optimis—kadang ambisius, kadang ramah.

Cobaan, katanya datang dari atas. Sebuah upaya pemurnian. Semacam sekolah militer. Halah, aku terbiasa dengan harapan. Kupikir itu hal yang diperlukan. Tapi boleh lah kita sedikit rendah diri, dan menyadari kesalahan sendiri. Tak ada cobaan tanpa sebab. Tak peduli sesuci apapun kau pikir jiwamu sehingga tak mungkin musibah datang darinya, Tuhan jauh lebih suci dan tinggi. Cobaan, sakit kepala, sesak di dada itu hanyalah akibat dari sebab yang hubungan timbal baliknya sudah dituliskan-Nya. Kita adalah tamu yang membuka pintu dan mau-tak-mau menerima jamuan apapun di dalamnya. Jamuan seperti apa yang ada di setiap pintu itu terserah Penerima Tamu. Pintu mana yang kau buka, itu sepenuhnya pilihanmu.

Itu sebabnya ilmu tentang diri sangat diperlukan. Itu sebabnya pelajaran logika—tentang bagaiama cara berpikir dengan struktur dan pradigma yang tepat—sangat diperlukan. Karena pengenalan tentang diri menyelamatkan kita dari saling-tuding atas suatu masalah—yang kadang berakhir pada telunjuk jari menghadap langit dan menyalahkan Tuhan.

Pada puncak pencapaiannya, pengenalan diri tetap akan mengantarkan air mata jatuh ke bumi. Tak apa, rasa sedih, senang, geram adalah hal yang manusiawi. Barangkali, itulah bekal yang Tuhan berikan agar hidup tak begitu hambar. Sudah banyak yang bersaksi bahwa rasa sakit justru membuatnya merasa hidup. Itukan Cuma perkara sudut pandang. Mengenal diri memberikan salah satu buah kebebasan paling penting dalam hidup: hilangnya penyesalan. Akhirnya aku paham maksud Seorang Sufi yang bilang, “Rasa sesal melumpuhkan. Lempar dosa-dosamu ke dalam ampunannya dan jangan berpikir kembali lagi.”

Memang apa yang lebih menyenangkan untuk dilihat Tuhan sebagai pemberi kehidupan, selain para hamba yang merayakan setiap nafas dengan rasa syukur dan gembira?

Jangan bawa para Rasul ke sini. Karena di majlis ini kita hanya menyediakan secangkir kopi susu dan berbatang-batang rokok sebagai hiburan. Kita tawarkan pun mereka takkan mau. Bagi para raja yang melepaskan mahkotanya, pengabdian adalah segalanya. Merekalah yang berpuasa dari nikmatnya bercengkrama, agar mereka yang bisu tak merasa kesepian.

Seandainya ada kesempatan untuk mengulang waktu, mungkin akan kuambil. Tapi aku berharap saat itu malu hadir dan menatapku lamat-lamat.

16/03/2021

No comments:

Post a Comment