Mungkin untuk orang Indonesia, punya luka bekas peluru adalah sesuatu yang jarang. Wajar jika dibanggakan, negeri kita adem-ayem sejak 98. Masa reformasi pun beda dengan peperangan. Tetap jarang yang pernah kontak langsung dengan senjata.
Tapi, kalau tahu ceritanya si Omat, kekerenan bekas luka di lehernya akan hilang seketika.
Ia tertembak di Lebanon. Bukan karena hadir di medan perang, apalagi karena ikut membela Palestina, tapi sedang nonton parade.
Kondisi hukum yang tak sehat membuat senjata jadi barang ilegal yang dimaklumi masyarakat Lebanon. Bahkan sudah menjadi budaya. Pesta pernikahan, tembak senapan ke udara; pesta duka (macam tahlilan, lah), tembak senapan ke udara. Hal-hal yang melibatkan kesenangan dan kesedihan luar biasa, ditambah kerumunan yang bikin acara terlihat penting, harus sekali diwarnai suara senapan di udara. Tapi memang tak di semua tempat. Budaya begini tersebar di desa-desa dan kawasan imigran yang terbengkalai.
Waktu itu, kemenangan Palestina atas Israel di sebuah fron peperangan yang cukup penting. Berita-berita dunia dihebohkan dengan kekalahan IDF yang tumben sedang unjuk kekuatan di Tepi Barat. Mereka memasuki teritori penduduk Palestina dengan gagahnya pasukan tempur yang lengkap. Tank sampai mobil-mobil batalion hadir di sana.
Penduduk geram. Perasaan benci terhadap perampasan selama 70 tahun diledakkan kesombongan tak bertujuan Israel saat itu. Pasukan elit akhirnya harus berhadapan dengan gerilya. Tank dilawan batu dari tangan anak kecil. Tentara adu tembak dengan pemuda bersinglet yang juga hanya pakai batu. Hanya sedikit yang pakai senjata betulan di kubu Palestina. Wajar, PBB kan tidak mungkin bantu dengan kirim senjata. Jadi senjata yang digantung di dinding rumah mereka hanya menandakan keanggotaan Hamas atau Fatah. Yang, lagi-lagi, politik tak terlalu menggiurkan bagi kebanyakan warga Palestina.
Tapi, parade militer itu berhasil dipukul mundur oleh batu-batu kiriman pemuda berkostum santa. Kristen Palestina rasanya menghayati betul kisah santa ini. Anak nakal, hanya akan dihadiahi batu. Dan anak-anak baik, baru dikabulkan keinginannya. Seperti kemenangan anak-anak Palestina saat itu.
Dunia gempar. Dan kubu pro-Palestina pesta pora; dan tentu saja, kaum diaspora Palestina di Lebanon. Mereka menggelar demonstrasi juga parade. Dan di salah satu parade yang terjadi di Beirut, Omat hadir menonton di pinggir jalan.
"Anjir, ceweknya cakep-cakep banget," Omat membatin. Hatinya luluh oleh muka-muka putih nan mancung berbalut kerudung warna-warni. Belum lagi lentik mata hijau si blonde yang keriting itu, bikin ia tiba-tiba ingin berpuisi.
Ramainya parade itu tak sebanding dengan penjagaan polisi. Orang-orang dari kawasan pengungsian terkenal lebih bebas aturan. Khususnya soal senjata.
Di tengah keramaian tiba-tiba terdengar tembakan. Orang-orang spontan merunduk. Tak ada yang menjerit kesakitan lantas membuat parade makin ramai dilanjutkan suara-suara gembira. Selanjutnya, tembakan-tembakan ke udara makin jadi, melihat itu oke-oke saja.
Polisi tak suka itu. Mengetahui keberadaan senjata yang kedengarannya banyak, berarti potensi rusuh akan jadi sangat fatal. Mereka mulai meneriaki ribuan parade agar menyerahkan senjatanya, atau orang yang membawanya. Saking bisingnya, himbauan itu tak berarti apa-apa. Akhirnya, berbalik polisi di trotoar unjuk rasa; mereka yang menembakkan pistol ke udara. Kali ini kerumunan kaget, sebab mereka bisa melihat jelas dari mana sumber suara itu.
Suasana makin ramai mendekati rusuh. Suara-suara marah terdengar. Dari orang Palestina yang merasa diperlakukan tak hormat, dari Palestina yang kesal dengan sesamanya karena kelewat senang (dengan bawa-bawa senjata maksudnya); juga dari polisi yang kesal melihat parade ini tak mau tunduk di bawah perintahnya. Semua emosi yang bertabrakan itu melahirkan tontonan baru bagi Omat: chaos.
Banyak orang mulai berlari menghindari suara senapan yang sebenarnya tak diarahkan pada mereka. Tapi ketika polisi mulai memasuki pusat kerumunan yang mulai pecah, suara tembakan makin jadi.
Omat kebingungan di pinggir jalan. Semua itu terjadi begitu cepat. Alasan dia tak seresponsif itu terhadap suara tembakan yang makin sering, karena ia tak melihat langsung posisi senjata-senjata itu. Jaraknya lumayan jauh. Ditambah, pemandangan yang putih-putih dan mancung-mancung tadi juga cukup menyanderanya dari realitas. Rupanya dia benar-benar menulis puisi sambil berdiri.
Walhasil, kerusuhan menyebar cepat sampai Layla-Layla yang sedang dipandangi Omat ikut lari keluar parade ketakutan. Di situ Omat baru menyadari kericuhan. Ia kebingungan. Melihat kesana-kemari sambil menghindari orang-orang yang berlari ke arahnya. Dan tiba-tiba, sesuatu menyerempet lehernya yang bikin dia perih dan kaget bukan main. Ia terjatuh seketika, hampir bersamaan dengan suara tembakan. Peluru nyasar mengenai dinding leher Omat yang tak langsung dibawa ke rumah sakit. Orang-orang sibuk berlari sampai baru orang ke-7 yang melewati Omat menyadari darah di bawah leher Omat yang diam membeku. Setelah itu, ia baru dibawa ke rumah sakit.
Cerita ini tak sampai ke Indonesia. Kepada teman-teman Omat memamerkan bekas lukanya seperti samurai yang bangga pulang dari peperangan.
__________
Teruntuk colors.id yang entah kapan diterbitkan. Males nunggunya.
No comments:
Post a Comment