Bahkan kabar yang kita sebut propaganda takfiri pun tak selalu datang dari luar.
Di Suriah, tak sedikit masyarakatnya sendiri yang tak terlibat perang tapi berpikiran oposisi. Mereka sedikit banyak mengabarkan hal yang sama seperti yang dipercaya kebanyakan orang di Indonesia.
Saya bertanya pada seorang teman asal Damaskus. Sebelumnya ia sudah mengenalkan posisinya: bersama Assad dengan alasan yang cukup logis. Dengan melihat sejarah dan kondisi geopolitik secara luas. Ia berkata, "Assad bukan orang yang super baik dan benar, tapi dia terbaik diantara semua yang kita miliki saat ini".
Setelah berita bebasnya Aleppo mencuat, saya mendatanginya dan mengucap selamat. Ia tersenyum.
Lalu saya teringat seorang lain yang juga berasal dari Suriah. Ia bekerja di Lebanon untuk menghidupi keluarga di Suriah. Ia oposisi. Begitu ditanya soal kondisi negaranya, ia menceritakan soal pembantaian dsb. Persis seperti yang dipercaya kebanyakan Muslim Indonesia.
Saya pun bertanya pada teman yang berasal dari Damaskus tadi, apakah benar hal serupa pernah terjadi? Bagaimana masyarakat Suriah sendiri bisa berkata hal serupa jika ia tidak pernah melihatnya atau mengalaminya?
Ridho dari Damaskus ini menjelaskan tentang pendidikan. Jauh sebelum perang terjadi, gelombang fanatisme sektarian sudah menggenangi Suriah. Sayangnya, kebetulan sekali Assad berasal dari kelompok Alawi, yang punya sejarah dekat dengan Syiah--pecahan Islam yang jadi lahan basah menyulutkan api perpecahan.
Selain media, doktrin sektarian sangat kuat membombardir masyarakat Suriah sebelum Amerika menyokong senjata pemberontak. Banyak orang katanya, dengan cepat percaya ketika mendengar kabar soal Assad ketika itu dikaitkan dengan sisi Alawinya. Meskipun kabar itu datang dari media luar berlabel internasional dan bergandengan dengan Gedung Putih dan Tel Aviv--yang notabene kubu yang biasa dibencinya.
Sentimen sekte ini juga seketika menihilkan peran presidennya yang secara nyata memanjakan kerabatnya dengan beragam program dan kebijakan. Maka meski para penyandang virus fanatisme ini berada cukup dekat dengan rumah presidennya, tak meniscayakan kerealistisan mereka ketika itu sudah masuk ke ranah agama.
Keotoriteran Assad adalah sebuah fakta. Berangkat dari situ kritik mudah sekali dihajar kekuasaan. Ini jadi kesalahan Assad yang jadi celah kepentingan Barat untuk ikut campur, kata dia.
Doktrin permusuhan Sunni dan Syiah yang berada di ketek strategi "Divide et Impera" sukses meruntuhkan cerobong asap tempat nongkrong Santa di Aleppo.
Indonesia harus berhati-hati dengan angin fanatisme ini. Sesalah dan sebenar apapun Jokowi, realistis (baca: logis) harus dikedepankan. Setidaknya itu jadi gerbang pertama dalam menghadang virus fanatisme menjangkiti keberagamaan kita yang merasa beragama.
Penjajahan bukan sudah usai, tapi baru saja dimulai.
__________
Sekitaran Desember 2016
No comments:
Post a Comment