Wednesday, 28 March 2018

Berita Acara: Seminar Gibran From The Other Side of The World

[caption id="attachment_336" width="350" align="alignleft"] Mahasiswi Lebanese University memainkan oud.[/caption]

Barisan kolintang itu bermain dengan serasi. Mengiringi penyanyi pirang dari Beirut mendendangkan tembang Fairuz, “A’tiny Al-Nay”. Sebuah puisi mistis karangan maestro sastra asal Lebanon, Gibran Khalil Gibran.

Penampilan itu menandakan dibukanya kolaborasi acara Mahasiswa Indonesia dan Lebanon—Seminar International: Gibran From The Other Side of The World, Selasa, 27 Maret. Membahas sastra dan pengaruh Gibran di Indonesia, turut hadir pula seorang penulis muda asal Bandung, Asrie Tresnady.

Duduk di tengah panggung, Asrie menceritakan sepak terjang penerjemahan Gibran sampai efek tulisannya, pada karya-karya seniman di Indonesia.

“Dulu, nama penulis yang menerjemahkan Gibran meski karyanya sedikit tetap lebih punya nama ketimbang mereka yang banyak karya independennya. Tak peduli seberapa besar kesuksesan karya-karyanya.” Kata Asrie.



Menurut Asrie, syair-syair Gibran menjadi satu pembahasan khusus dalam dunia penerjemahan sastra. Ketika di saat bersamaan menjadi satu-satunya karya terjemahan yang mengangkat nama penerjemah setenar nama penulis buku itu sendiri.

Pembahasannya tak terbatas soal budaya asing, tapi perdebatan di kalangan sastrawan dan penerjemah memposisikan tulisan Gibran sebagai bagian dari budaya sastra Indonesia itu sendiri.

Di sebelah kanannya, ada Dr. Tarek Chidiac, presiden Gibran National Committee yang memegang hak paten hampir seluruh peninggalan Gibran, mulai dari buku, lukisan, museum sampai rumah. Mendengar Asrie bercerita tentang perdebatan sastrawan dalam menerjemahkan puisi Gibran, Dr Tarek bertepuk tangan dan tersenyum. Ditanya, kenapa? Ia menjawab, “Sementara itu di sini (Lebanon), perdebatan masih disekitar pembahasan lebih baik membaca karya impor atau lokal?” Hadirin pun tertawa.

Tukar penghargaan seadanya menandai akhir dari acara. Pihak-pihak yang terlibat dengan lusuh naik keatas panggung memasang wajah ingin cepat pulang, tapi hari masih siang, dan matahari menggoda keimanan sejadi-jadinya.

Acara sudah mau ditutup dengan penampilan terakhir dari tim seni mahasiswa Indonesia ketika Dr Walid, saya tidak tahu siapa dia yang pasti kerja di Lebanese University, berlari-lari kecil seperti peri menikung MC di perjalanannya menuju mimbar. Ia mengabarkan kesiapan anak buahnya memetik gitar gambus, “oud”. Sebelumnya sudah diputuskan untuk mencoret nama Lebanese University dari daftar penampilan penutup. Sebabnya adalah seniman yang tak kunjung tiba di belakang panggung. Yang rupanya sedang duduk cantik di barisan penonton bermain Ludo di handphone.

Tampil sendiri di atas panggung, wanita lajang itu menghipnotis penonton yang serentak diam mendengarkan petikan oud. Penonton satu-satu bernyanyi mengenal lagu yang dimainkan. Namun kecilnya volume mik membuat suara oud tenggelam dalam keras suara penonton yang kompak.

Setelah oud, penampilan paling terakhir, berupa serentetan tarian dan kesenian tradisional Indonesia. Penonton sahut-sahutan dengan teriakkan “yak”, mendengar denting gamelan mengiringi aksi pencak silat.

Ketika pasukan tim seni meninggalkan panggung penonton dengan antusias meminta tambahan penampilan. Namun MC sudah lelah sehingga tak menghiraukan permintaan penonton. “Terima kasih atas kehadirannya. Semoga anda menikmati acara ini. Silahkan pulang, hati-hati di jalan. Oh, iya. Jangan lupa nikmati kopi geratis dari Torabika di pintu keluar. Kopi saset khas Indonesia. Sampai jumpa.” Dengan itu acara benar-benar ditutup. (Bah/PPI)

(Tulisan ini karangan penulis semata. Ditulis sehari sebelum acara berlangsung. Segala unsur di dalamnya tak berkaitan dengan siapapun, dan apapun. Bahkan bisa jadi tak terjadi sama sekali)

No comments:

Post a Comment