Aku pernah dimarahi seorang kawan karena hidup terlalu
dibuat seperti mimpi. “Realistis dong!” katanya. Aku terlalu asik merangkai ide
yang tak pernah jelas langkah dan arahnya. Buat ini buat itu.
Dalam kisah lain, kawanku menasehati yang lagi-lagi kukutip
disini, “Kita ini budak keinginan mat,” bijaksana sekali.
///
Tadi sore di kelas, teman asal Somalia mengernyitkan matanya—seperti
ada yang mengganjal, akalnya sedang mendidih.
Saat itu, kelas hukum Islam. Dosen menjelaskan persoalan dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan apa yang diperintahkan agama—dari satu
prespektif ulama tentunya. Kita sedang membahas hukum-hukum yang berkaitan
dengan solat.
Menurut mazhab ini, sujud harus di atas tanah, jika tidak
mungkin, baru keluar pengecualin-pengecualian sampai yang terakhir adalah sujud
di atas punggung tangan. Seorang bertanya, “Gimana kalau kita punya anak, dan
batu yang dibuat sujud itu diambilnya ketika kita sedang solat?”. Dosen
menjawab, “Batalkan solatnya dan ambil batunya. Jika anak kita mungkin akan
mengambilnya lagi, pegang di tangan selama solat dan letakkan ketika hendak
sujud, lalu begitu sampai selesai.”
Kawan Somalia ini heran mendengarnya. Kenapa Tuhan sebegitu kekeuh
dalam menekankan keinginannya pada manusia. Baginya, ini hanya masalah sujud
yang simbolik. Menyembah-Nya pastilah perkara yang lebih dari sekedar
syarat-syarat simbolik. Kenapa tidak dibiarkan saja dan lanjutkan solat? Lalu kenapa
begitu banyak syarat yang begitu paten sehingga tidak mengikutinya adalah tidak
sahnya sebuah solat? Tuhan, apakah hatiku tidak lebih berarti bagi-Mu dari
tubuh lemah ini? Begitulah yang dia curhatkan padaku.
Aku berpikir sejenak.
Kemarin, aku terbang ke alam ide bermain roman dengan para
penulis kiri dari Amerika Latin. Aku mendapatkan satu hal: menulis adalah cara
hidup bercinta dengan ruang dan waktu. Ada penulis yang bahkan mengatakan, “Menulis
adalah bagian dari kehidupan, bahkan bagiku, bagian terpenting dari kehidupan.”
Menulis adalah romansa kehidupan dengan ruang dan waktu. Mereka
yang menuliskan kisahnya, kisah orang lain, kisah fiktif, semuanya tak lepas
dari pemandangan saat ini. Waktu sekarang—kehidupan, aku menyebutnya, adalah
inspirasi atau faktor yang membuat penulis menulis. Mereka hidup di zamannya
dan menyaksikan sesuatu, baik di dalam maupun luar dirinya. Lalu memutuskan
untuk mengabadikannya lewat harapan yang belum terjadi, atau memori sebagai
pengingat, atau sekedar membingkan waktu-nya saat itu agar mereka yang se-waktu
dapat melihat dalam prespektif yang diharapkan sang penulis. Ia membuat
batas-batas ruang dan waktunya sendiri ketika di saat bersamaan memuja ruang
dan waktu-nya ketika menulis—lewat kata-kata.
The Creation of Adam by Michelangelo sebagai represntasi visual paling jos yang ada dibenak gue |
Apa yang disaksikan dan dirasakan seakan sayang sekali jika dilewatkan. Siapapun,
harus melihatnya juga, kapanpun, dimanapun. Baik itu pengalaman waktu dan
tempat yang buruk apalagi menggembirakan, penulis tak rela jika manusia tak
juga menyadari pengalamannya. Ia akan membagikannya dengan gairah dan tulus
dalam bentuk lembaran yang diperjual-belikan agar momen, tetap abadi.
Kata-kata bagaikan sang kekasih yang dipuja.
Penulis dan kata-nya adalah dua wujud yang terpisah dan
berbeda. Namun kebersandingan keduanya adalah mutlak. Mereka tak bisa dipahami
tanpa satu sama lain. Dan menulis sebagai pekerjaan, aksi, adalah rahim bagi
keduanya.
Jika ada hipotesis sains yang mengatakan bahwa energi itu
bisa disebut Tuhan yang menggerakkan dan menjadi satu-satunya alasan unsur di
jagat ini berkontemplasi menjadi sesuatu yang beragam, maka menulis, yang
menjadikan manusia penulis, dan kekosongan menjadi kata, maka menulis juga
Tuhan itu sendiri.
///
Kufu. Dalam bahasa Arab, artinya perbandingan. Istilah ini
aku kenal ketika kawan yang marah di awal tulisan, mengigngat betapa tidak tahu
dirinya kita berharap jadi pacar selebgram.
Katanya, agama menyarankan kita mencari pasangan yang satu
kufu, sebanding. Dalam artian satu kasta, satu lingkungan, satu digit rekening
bank. Tepat sasaran sekali ini saran.
Kecocokan latar belakang memang kalau dipikir-pikir itu jadi
pemoles lancarnya suatu hubungan. Karena jika yang dicari perbedaan pun, satu
rumah saja sudah pasti beda manusianya. Jadi yang penting wadahnya sama dulu,
isinya apa, tak masalah. Biar kali disejajarkan, terlihat serasi dan cocok. Dan
perbedaan warna isi justru jadi penghias yang cantik. Walau tentu saja, kembali
ke hukum alam, tidak ada yang tidak mungkin. Ini tidak mutlak, tapi, ya
begitulah kura-kura.
Jatuh cinta yang absurd itu, yang tak kita pahami apa
maksudnya dan kemana jalannya, memang menyulitkan. Apalagi ketika kita hati
terlanjur dipinang oleh orang yang beda kufu. Entah apapun sisi apa dari diri
sang kekasih yang bikin kita gegap-gempita.
Sebab kita ingin, namun tak bisa—atau setidaknya sangat
sulit. Bisa jadi ini karena kebanyakan noonton film, khususnya India. Yang perjuangan
melawan batas adalah bukti kecintaan. Padahal, berjuang pun tak sesempit
melawan komunitas, kan?
Pokoknya ya begitulah. Aku mau berpuisi saja.
Alfabet-ku hanya memiliki dua enam huruf
Aku selalu menggambar dunia dengannya
Berlagk seperti Tuhan
Sekarang, kutahu Ia cemburu
Sebab dua enam jumlah itu
Tak lagi berguna
Tangan kini dipasung hati
Hanya lima huruf yang terlihat mataku
Nama-mu yang terus mengejar nadiku
///
Aku tak biasa dengan sistem. Jadi biarkan setiap kata ini
bercerita semaunya. Sahut-menyahut dengan kata sebelum, dan setelahnya. Sesuka hati.
Bagai hidup ini yang tak pasti.
No comments:
Post a Comment