Thursday, 22 March 2018

Kamu tidak tahu apa yang kamu baca

Aku pernah dimarahi seorang kawan karena hidup terlalu dibuat seperti mimpi. “Realistis dong!” katanya. Aku terlalu asik merangkai ide yang tak pernah jelas langkah dan arahnya. Buat ini buat itu.

Dalam kisah lain, kawanku menasehati yang lagi-lagi kukutip disini, “Kita ini budak keinginan mat,” bijaksana sekali.

///

Tadi sore di kelas, teman asal Somalia mengernyitkan matanya—seperti ada yang mengganjal, akalnya sedang mendidih.

Saat itu, kelas hukum Islam. Dosen menjelaskan persoalan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan apa yang diperintahkan agama—dari satu prespektif ulama tentunya. Kita sedang membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan solat.

Menurut mazhab ini, sujud harus di atas tanah, jika tidak mungkin, baru keluar pengecualin-pengecualian sampai yang terakhir adalah sujud di atas punggung tangan. Seorang bertanya, “Gimana kalau kita punya anak, dan batu yang dibuat sujud itu diambilnya ketika kita sedang solat?”. Dosen menjawab, “Batalkan solatnya dan ambil batunya. Jika anak kita mungkin akan mengambilnya lagi, pegang di tangan selama solat dan letakkan ketika hendak sujud, lalu begitu sampai selesai.”

Kawan Somalia ini heran mendengarnya. Kenapa Tuhan sebegitu kekeuh dalam menekankan keinginannya pada manusia. Baginya, ini hanya masalah sujud yang simbolik. Menyembah-Nya pastilah perkara yang lebih dari sekedar syarat-syarat simbolik. Kenapa tidak dibiarkan saja dan lanjutkan solat? Lalu kenapa begitu banyak syarat yang begitu paten sehingga tidak mengikutinya adalah tidak sahnya sebuah solat? Tuhan, apakah hatiku tidak lebih berarti bagi-Mu dari tubuh lemah ini? Begitulah yang dia curhatkan padaku.

Aku berpikir sejenak.

Kemarin, aku terbang ke alam ide bermain roman dengan para penulis kiri dari Amerika Latin. Aku mendapatkan satu hal: menulis adalah cara hidup bercinta dengan ruang dan waktu. Ada penulis yang bahkan mengatakan, “Menulis adalah bagian dari kehidupan, bahkan bagiku, bagian terpenting dari kehidupan.”

Menulis adalah romansa kehidupan dengan ruang dan waktu. Mereka yang menuliskan kisahnya, kisah orang lain, kisah fiktif, semuanya tak lepas dari pemandangan saat ini. Waktu sekarang—kehidupan, aku menyebutnya, adalah inspirasi atau faktor yang membuat penulis menulis. Mereka hidup di zamannya dan menyaksikan sesuatu, baik di dalam maupun luar dirinya. Lalu memutuskan untuk mengabadikannya lewat harapan yang belum terjadi, atau memori sebagai pengingat, atau sekedar membingkan waktu-nya saat itu agar mereka yang se-waktu dapat melihat dalam prespektif yang diharapkan sang penulis. Ia membuat batas-batas ruang dan waktunya sendiri ketika di saat bersamaan memuja ruang dan waktu-nya ketika menulis—lewat kata-kata.

The Creation of Adam by Michelangelo sebagai represntasi visual paling jos yang ada dibenak gue


Apa yang disaksikan dan dirasakan seakan  sayang sekali jika dilewatkan. Siapapun, harus melihatnya juga, kapanpun, dimanapun. Baik itu pengalaman waktu dan tempat yang buruk apalagi menggembirakan, penulis tak rela jika manusia tak juga menyadari pengalamannya. Ia akan membagikannya dengan gairah dan tulus dalam bentuk lembaran yang diperjual-belikan agar momen, tetap abadi.

Kata-kata bagaikan sang kekasih yang dipuja.

Penulis dan kata-nya adalah dua wujud yang terpisah dan berbeda. Namun kebersandingan keduanya adalah mutlak. Mereka tak bisa dipahami tanpa satu sama lain. Dan menulis sebagai pekerjaan, aksi, adalah rahim bagi keduanya.

Jika ada hipotesis sains yang mengatakan bahwa energi itu bisa disebut Tuhan yang menggerakkan dan menjadi satu-satunya alasan unsur di jagat ini berkontemplasi menjadi sesuatu yang beragam, maka menulis, yang menjadikan manusia penulis, dan kekosongan menjadi kata, maka menulis juga Tuhan itu sendiri.

///

Kufu. Dalam bahasa Arab, artinya perbandingan. Istilah ini aku kenal ketika kawan yang marah di awal tulisan, mengigngat betapa tidak tahu dirinya kita berharap jadi pacar selebgram.

Katanya, agama menyarankan kita mencari pasangan yang satu kufu, sebanding. Dalam artian satu kasta, satu lingkungan, satu digit rekening bank. Tepat sasaran sekali ini saran.

Kecocokan latar belakang memang kalau dipikir-pikir itu jadi pemoles lancarnya suatu hubungan. Karena jika yang dicari perbedaan pun, satu rumah saja sudah pasti beda manusianya. Jadi yang penting wadahnya sama dulu, isinya apa, tak masalah. Biar kali disejajarkan, terlihat serasi dan cocok. Dan perbedaan warna isi justru jadi penghias yang cantik. Walau tentu saja, kembali ke hukum alam, tidak ada yang tidak mungkin. Ini tidak mutlak, tapi, ya begitulah kura-kura.

Jatuh cinta yang absurd itu, yang tak kita pahami apa maksudnya dan kemana jalannya, memang menyulitkan. Apalagi ketika kita hati terlanjur dipinang oleh orang yang beda kufu. Entah apapun sisi apa dari diri sang kekasih yang bikin kita gegap-gempita.

Sebab kita ingin, namun tak bisa—atau setidaknya sangat sulit. Bisa jadi ini karena kebanyakan noonton film, khususnya India. Yang perjuangan melawan batas adalah bukti kecintaan. Padahal, berjuang pun tak sesempit melawan komunitas, kan?

Pokoknya ya begitulah. Aku mau berpuisi saja.

Alfabet-ku hanya memiliki dua enam huruf
Aku selalu menggambar dunia dengannya
Berlagk seperti Tuhan
Sekarang, kutahu Ia cemburu
Sebab dua enam jumlah itu
Tak lagi berguna
Tangan kini dipasung hati
Hanya lima huruf yang terlihat mataku
Nama-mu yang terus mengejar nadiku

///

Aku tak biasa dengan sistem. Jadi biarkan setiap kata ini bercerita semaunya. Sahut-menyahut dengan kata sebelum, dan setelahnya. Sesuka hati. Bagai hidup ini yang tak pasti.

No comments:

Post a Comment