Tuesday, 24 July 2018

Merindu Bersama Iblis

Duduk di padang rumput itu sendirian, Iblis memandang bunga yang hangus digenggamnya. Boleh jadi kita mendengar burung-burung itu bernyanyi dari atas pohon tempat Iblis berteduh. Namun asap terlihat dari telinga Iblis, nyanyian merdu burung bulbul adalah caci-maki kutukan terhadap Iblis yang diam.

Senja berubah  malam begitu cepat. Begitu menatap langit, bulan sabit sudah melayang dalam kegelapan. Tak ada bintang kecuali satu. Setidaknya hanya itu yang bisa Iblis lihat.

Angin berhembus. Mengancurkan kelopak bunga yang hangus itu. Iblis hanya menatapnya membisu. Tak satupun fenomena alam yang terjadi sekitarnya membuat tubuh merah itu bergeming. Ia bagai batu hasil pahatan Tuhan yang tak dipamerkan. Dibiarkan berdebu di gudang semesta. Satu-satunya suara adalah sepi. Satu-satunya cahaya adalah amarah yang membara.

“Hahahahahaha” tiba-tiba Iblis tertawa. “Kau gagal, Tuhan. Kau sudah gagal sejak awal.” Ia bergumam sendiri.

“Kau mengasingkanku ke dunia namun ruang dan waktu tak berarti bagiku. Kau merubah wujudku namun tak ada yang bisa melihatku. Kau membuatku sendirian justru tak ada yang bisa kupikirkan dan ajak bicara selain diri-Mu.” Iblis menengok ke kiri. Tertangkap mata hitamnya laut yang bergoyang tenang di kejauhan. Padang itu luas, namun kosong. Seperti wallpaper Windows XP.

“Kau kabarkan pada waktu bahwa kau menghukumku. Kau ajarkan bibir manusia mengucap kutuk atas namaku. Kau peringatkan manusia atas godaanku. Kau ciptakan neraka seakan rumahku. Kau jadikan tanganku api yang membakar siapapun yang bersentuhan.

“Kau beri aku kesempatan maaf yang tak dimiliki manusia. Kau kenang aku lewat lisan dan pesan para nabi. Kau buat aku abadi sepanjang waktu itu sendiri. Kau utus malaikat mengerjakan pekerjaan dalam neraka untukku. Kau tak memilihku, tapi Izrael untuk membawa sabit pencabut nyawa kemana-mana.” Iblis kembali terdiam memandang ombak yang tenang. Matanya yang gelap membuat malam seakan terang.

Suara bel sepeda memecah  lamunan Iblis. Datang seorang kakek tua dengan kayuhan yang agak ter-engah menaiki sedikit gelombang bukit. Kakek itu memakai topi jerami dengan kaos putih yang kebesaran. Ia keringatan. Tentu saja. Baginya, sekarang itu siang, bukan malam. Dan setiap mengantar koran untuk Iblis sebagai pelanggan terakhirnya setiap hari, matahari pasti sudah perkasa tanpa awan yang menutupinya di atas sana.

Kakek itu menyerahkan selipat koran sambil tersenyum. Iblis hanya mengulurkan tangan masih terduduk.  Sejak koran diciptakan, ia meminta Tuhan agar mengijinkan kertas tak terbakar oleh sentuhannya. Dan Ia mengijinkannya. Mungkin iba pada Iblis  yang kesepian sekian tahun lamanya.

“Apa kabar anakmu, pak?” tanya Iblis. Kakek itu tak pernah ketakukan sejak awal Iblis mendatanginya di sebuah halte ibu kota. Ia hanya berpikir, setiap pengalaman meninggalkan jejak di tubuh manusia. Dan Iblis tak lebih dari orang paling tak beruntung di matanya. Kenyataan Iblis, hanya membuatnya makin simpati sekaligus bersyukur atas kehidupannya sendiri.

“Malin? Wah, dia dapat juara satu kemarin di kelasnya. Senang sekali begitu pulang bersama si ibu. Minta dibelikan kelereng baru katanya. Ini, barusan saya belikan di perjalanan kesini.” Kakek mengambil sekantong kelereng sambil terkekeh.

Iblis tersenyum. “Bagaimana dengan Istrimu, Pak? Bagaimana kabar kakinya? Sudah sembuh?”

“Waduh makin parah, nak. Habis kemarin dia ngotot mau antar Malin ambil rapot. Padahal sudah saya suruh Jali, itu, sulung saya, buat gantikan ibu. Tapi dia tidak mau. Katanya ini terakhir Malin masuk sekolah itu. Nanti pindah sekolah dia juga mau antar Malin hari pertamanya. Memang susah dinasehati ibu itu kalau sudah urusan anaknya.” Si kakek geleng-geleng kepala. Ekspresinya terlihat pusing sekali dibuat tingkah istrinya.

“Hmm, begitu. Aku kenal ahli pijat di kota sana. Nanti kubawa ke rumahmu dekat-dekat maghrib ya.”

“Kota? Jauh atuh, nak. Gak usahlah. Nanti saya pijat sendiri saja biar senang. Sudah lama gak pacaran nih si ibu. Hahaha.” Ia tertawa puas.

Iblis kembali tersenyum. “Yasudah. Makasih korannya pak.”

“Iya, nak. Berita hari ini tak enak.”

“Bukannya tiap hari seperti itu?” Iblis balas menggoda.

Mereka tertawa bersama. Kakek memutar sepedanya dan pamit pulang.

Lembaran koran dibuka satu persatu dengan cepat. Bagi iblis, judul cerita-cerita itu cukup untuk mengabarkan peristiwa di sekitar manusia. Masih sama. Semua tentang keinginan-keinginan yang menguasai manusia sedemikian rupa dan beragam cara.

Sampai di satu halaman, Iblis terdiam cukup lama. Sebuah judul cukup mengagetkannya sampai ia membaca keseluruhan berita. Setelah usai, ia memejamkan mata dan menarik napas yang dalam. Di-bejak-nya koran itu dan meniupnya jadi abu.

Kini matanya yang gelap memandang laut dengan tajam. Api amarah yang tak pernah padam dalam hatinya membesar tiba-tiba. Rumput dan pohon disekitarnya menjerit kepanasan. Dan laut bergejolak oleh dinginnya ekspresi Iblis padanya.

“Partai setan katamu?” Iblis berkata. “Sudah sejauh itu kau bermain kekuasaan, manusia?” Ini pertama kalinya Iblis merasa diseret ke pusaran birahi politik manusia.

Gemuruh di malam Iblis tak berlangsung cukup lama. Semua kembali tenang ketika Iblis memejamkan matanya.

Menatap langit yang kosong, iblis mendesah, “Tuhan, sampai kapan?”

Terdengar suara semak dari jauh, Iblis menengok kaget ke kanan. Sekilas terlihat uraian rambut coklat yang panjang dengan gaun putih. Wanita itu berlari ke dalam hutan dan perlahan hilang dari pandangan.

“Kau lagi, ya?” Iblis menunduk tersenyum. “Semoga kau dengar semuanya.” Iblis menggumam.

Hadath, musim semi, 2018

No comments:

Post a Comment