Friday, 3 August 2018

Sial, Harusnya Kita Berteman!

Apa yang terjadi setelah kematian tetap misteri. Tak peduli sekeras apa agama dan pemikiran berusaha memastikannya. Sebab sampai sekarang, tak ada satupun yang akan percaya jika seorang datang dan mengaku sebagai penjelahah kematian—dan mengabarkan apa yang terjadi di sana.

Maka sekarang aku penasaran, apakah mereka yang telah mati, hadir di sekitar kita tatkala kita mengingatnya? Aku tak peduli berdasarkan teori apapun itu—tentang jiwa, ruh, arwah, barzakh, bahkan astral—apakah mereka memandang wajah kita yang mengabarkan beragam ekspresi, ketika kita mengingat mereka?

Karena jawabannya hanya satu diantara dua: ya dan tidak, maka kutulis surat ini untuk kemungkinan jawaban iya. Karena jika tidak, maka tak perlu kita bersenda-gurau dengan masa lalu yang telah berlalu. Tak akan ada yang mendengar pula.

Jika kau hadir di sekitarku saat ini, ayah, duduklah. Nyamankan posisi-mu. Meski ini bukan kisah yang panjang, tapi aku ingin kau mendengarnya. Tentang apa-apa yang tak sempat kusampaikan padamu saat kita masih bersama; apa-apa yang tak sempat kau lihat, dan pahami maksudku di dalamnya.

Ayah, aku tahu kita tidak menjadi teman yang baik. Entah bagaimana denganmu tapi kau-pun tahu bahwa aku lebih asik berkumpul dan jujur bersama teman-temanku. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu tentang itu, tapi kupikir cukup menyedihkan—meski hingga sekarang aku belum punya anak.

Ayah, aku ingin menceritakan padamu tentang satu hari, di mana aku benar-benar merasa sendiri. Aku merasa dunia dan seisinya memusuhiku. Meski pak Coelho bilang bahwa ketika kau benar-benar menginginkan sesuatu, alam semesta akan bekerja sama mewujudkannya, tapi kali ini justru dunia melawanku habis-habisan ketika aku berjalan di jalan yang kuinginkan. Kondisi atau hal ideal yang ada di benakku seperti sebuah ancaman dan kerusakan bagi dunia yang memilih untuk melawanku. Ya, kau pernah bilang jika ingin berjalan dengan sendiri—independen, maka harus ku-kuat-kan kakiku. Dan saat itu, ku-akui, ayahku lebih bijaksana dari Paulo Coelho. Sebuah pujian yang tak pernah kau dengar dariku, bukan?

Ayah, aku dilanda kebingungan besar tentang kehidupan. Kebingungan yang selalu kutumpahkan pada sahabat-sahabatku seorang. Aku tak pernah berani menyampaikannya padamu, sebab menurut pengamatanku, kau akan bersedih luar biasa melihat isi otakku. Aku tahu aku masih muda, sebagaimana yang selalu kau ucapkan ketika aku  memberontak. Ya, bisa jadi, kau berkata demikian berdasarkan pengalaman—bahwa ketika seusiaku, kaupun mengalami goncangan yang sama. Tapi bagaimanapun, bagiku hal ini tetap nyata. Saat ini, saat aku masih muda seperti katamu, aku tak peduli apa yang ditawarkan waktu nanti tentang pertanyaan-pertanyaanku. Yang aku tahu adalah aku punya pertanyaan dan keraguan, dan dari situ aku akan melangkah mencari jawaban dan kepastian. Aku menyadari kemungkinan perbedaan jawaban kita yang nanti akan kutemukan, sebab itu aku tak pernah mengajakmu diskusi selain perihal sekolah. Aku takut, kita akan berlarut dalam perdebatan yang mengggerogoti hati kita masing-masing. Terlalu banyak emosi dalam hubungan kita—meski kenyataannya kita jarang sekali bicara.

Ayah, entah kau menyadarinya atau tidak, aku sudah terlalu banyak melampaui batas-batas agama. Lebih dari itu aku bahkan terus membuat pembenaran-pembenaran untuk melakukannya. Karena bagiku saat ini, agama adalah soal kebiasaan. Aku tak mau bahas panjang lebar soal ini. Kau pergi dengan keyakinanmu yang masih sama seperti ketika aku dilahirkan. Maka jika kau benar-benar di sini dan membaca suratku, aku tak mau kau bersedih meski aku tak bisa melihatmu.

Ayah, kau pergi dengan ingatanku sebagai perokok. Kau tak suka itu. Tapi demi Tuhan, ayah, ketika mendengar kabar dirimu  yang masuk rumah sakit, aku memutuskan untuk berhenti merokok sejak aku menginjak bandara untuk pulang. Aku ingin datang padamu dengan kabar, “Yah, anakmu sudah mentalak rokok sejak dua puluh jam yang lalu,” begitu rencanaku. Namun sayang sekali kau sudah tak bisa mendengarku saat aku datang di kamar itu.

Ayah, tenang saja, anakmu ini adalah seorang petarung. Meski aku sering mengeluh pada sahabatku soal kerasnya dunia, tapi tak pernah kau lihat, kan, aku yang mundur satu langkah dari pilihanku untuk bertarung—bahkan mundur dari pilihanku  yang bertentangan dengan keinginanmu. Aku sudah meninggalkan rokok untuk dua tahun lamanya, sejak kepergianmu. Jika kau sekarang ada di sini, aku ingin kau menyadarinya.

Ayah, jika kau ada di sini, tapi aku tak bisa melihatmu, aku tak tahu harus memberi surat ini kemana. Jadi kemarilah, kau baca sendiri surat ini.

Ayah, kuharap kau membaca semua ini. Karena  meski kau telah tiada diselimuti misteri, bagiku kau masih ada dalam bentuk memori. Dan memori-memori itu bukan sesuatu  yang membuatku bisa tidur dengan nyenyak—mengingat aku bukan anak yang selalu membuatmmu tersenyum.

Ayah, aku menyesali hubungan kita yang tidak seperti teman. Sampai aku harus memanggilmu saat ini, dan menceritakan apa yang mengganjal di hatiku.

Ayah, aku menyesali hubungan kita yang tidak seperti teman. Sampai untuk bisa menceritakan diriku yanng sebenarnya, aku harus tak bisa melihatmu agar tak nampak di mataku air matamu.

Ayah, kuharap dulu kita menjadi teman dekat—sahabat. Sebab sejak kepergianmu—dan ibu—aku tak tahu harus percaya pada siapa lagi.

 

Beirut, 30 Mei 3056

No comments:

Post a Comment