Friday, 3 August 2018

Luka Bakar di Punggungnya

Di ujung tebing, dengan hehutanan yang padat terlihat jauh di bawah, dan gelombang bumi yang terlihat kecil di kejauhan, aku berdiri menatap masa lalu.

Air mata mengalir begitu saja. Beragam memori tentang sekolah, peribadatan, dan kekecewaan raut wajah kerabat dekat membuat telinga ini tuli dari canda tawa kawan-kawan yang asik selfie di belakangku.

Saat itu aku memandang jauh kebawah. “Disini, aku berdiri di batas hidup dan mati.” Batinku. “Disini, adalah pilihan yang pasti jika aku ingin mengakhiri semuanya.” Angin begitu kencang menerpaku dari bawah.

Namun aku mematung. Tak maju dan tak mundur. Ketimbang mengambil keputusan, aku lebih asik tenggelam memikirkan pilihan-pilihan itu.

Seorang teman memanggilku untuk bergabung bersamanya menggoda pengunjung-pengunjung wanita. Tak ku gubris, sampai ia berhenti memanggil. Kita semua memang punya kesibukan masing-masing.

Aku memandang kedepan, menghitung umur pendek senja. Pilihan-pilihan antara hidup dan mati masih menari dalam pikiran ketika aku mulai berpaling dan hendak pergi. Aku tak memilih untuk mengakhiri hidup sekarang, namun juga tak terpikirkan untuk menjalani hidup setelah ini.

Dua langkah membelakangi tebing, seseorang memanggilku bersama angin yang tiba-tiba kencang dari belakang.

Kulihat, rupanya dia Iblis. Aku yakin itu. Wajahnya terlihat tak senang.

“Aku dengar semuanya,” ucapnya. “Hentikan omong kosongmu. Kau sudah melihat sendiri akhir dari semua ini di bawah sana. Aku sudah melihat banyak pintu kematian yang bahkan tak bisa kau bayangkan. Kau pulang sekarang pun bukan berarti kau memilih untuk hidup dan kembali mengemban semuanya. Dan kalau kau terjun dari sini, itupun tak ada artinya.”

Aku tak bisa berkomentar apa-apa. Tak berhasrat untuk berkata apapun. Aku hanya memandangnya diam.

“Kau sudah mendengar kisah-kisahku yang terkutuk. Dan sekarang, aku sudah hidup lebih lama dari yang bisa kau bayangkan. Apa kau pikir aku tak ingin mati? Tebing ini bukan apa-apa. Pergi kau ke gunung sana dan tatap gelora api yang membara dari puncaknya. Dengan itu setidaknya kau bisa sedikit membayangkan, apa yang sudah kulalui sepanjang waktu.

“Pergi dan jangan lakukan apa-apa. Tinggalkan semua tak bermakna. Sebab hal yang paling menyiksa dari dilahirkan adalah berusaha membuat setiap langkahmu berarti. Percayalah, aku paling tahu soal itu.”

Iblis lalu pergi dan menghilang begitu saja. Masih terbayang dibenakku, ada bekas sayap yang hangus di punggungnya.

 

Masa lalu, 6 Mei 2020

No comments:

Post a Comment