Sunday, 19 August 2018

Siapa Jon Snow? Siapa Kita?

Rob Stark kehilangan ayahnya di ibu kota dan sekejap naik tahta dengan total suara seluruh utara. Kini sebagai Raja di Utara, ia memimpin seluruh klan yang loyal pada keluarganya menuju selatan untuk menuntut darah mantan penguasa utara--ayahnya. Satu, dua, tiga season ia berlaga dan akhirnya mati dibunuh di pesta pernikahannya sendiri.

Jon Snow, adik tiri Rob, dengan kesadaran penuh atas posisinya sebagai ‘anak haram’ tak sempat bermimpi semewah Rob untuk diakui sebagai pemimpin terhormat sebuah klan. Oleh sebab itu setiap ayunan pedangnya ketika berlatih menjadi ksatria didorong oleh mimpi yang lain: menjadi sukarelawan penjaga perbatasan—satpam kerajaan, atau bisa juga dibilang petugas imigrasi.

Tak ada yang istimewa dari pekerjaan ini—setidaknya itu yang dipikirkan masyarakat. Penjaga perbatasan, The Night's Watch, adalah sekumpulan orang terbuang yang ingin dihargai keberadaannya; sekumpulan kriminal yang belum siap kehilangan nyawa di pengadilan. Mereka yang takut terhina dan takut mati berkumpul bersama di bawah pohon suci, mengucapkan sumpah setia sebagai saudara sejubah hitam, sampai mati. Night’s Watch tumbuh dari sekedar tempat pengasingan di ujung kerajaan menjadi keluarga baru bagi siapapun yang memasukinya. Dan Jon Snow, memilih memakai jubah hitam karena sebagai anak haram yang tak punya hak waris,  setidaknya ia bisa mengklaim sebuah identitas atau jati diri yang cukup terhormat sebagai PNS.

Pilihan itu mungkin pada awalnya diambil sebagai jalan hidup satu-satunya bagi si anak haram. Namun, badan tetap badan pakaian apapun yang dikenakan; seseorang tetap seseorang tak peduli pekerjaan atau jabatan. Perlahan Jon yang memang dasarnya (mungkin) dijadikan karakter hero oleh sang penulis kisah Game of Thrones, menunjukkan siapa dirinya. Dari diangakat sebagai pelayan pribadi komandan sampai jadi komandan itu sendiri. Gestur dan ekspresi Jon yang selalu terhilat kaget dengan apa yang terjadi menjadi bukti bahwa prestasinya selama tujuh season terakhir tak direncanakannya sama sekali. Ia tak tahu dirinya akan naik pangkat dan kasta sedimikian hingga—sampai pada tahap ia dipilih seantero utara menjadi rajanya, seperti almarhum kakak yang memang mewarisi nama bangsawan. Dari anak haram sang pelayan menjadi Raja Utara, semua atas usaha dan idealismenya sendiri sebagai ksatria.

Kebetulan sekali, saya punya kawan yang sedang bingung soal nasib masa depannya. Segala jenis hayalan sudah kita bayangkan—dari tukang cuci piring sampai diplomat; dari jual lele offline sampai membangun dinasti pesantren. Kebingungan ini tak lain diantar sebuah ketidaktahuan sederhana, siapa kita sebenarnya? Kita bisa apa?  Tapi jika ketika sedang duduk bareng saya sarankan jadi petugas imigrasi seperti Jon takut menyingung perasaan kan? Nanti dikira bercanda lagi. Ini masalah serius.

Terlepas dari kisah  Jon Snow dan kawan saya itu, saya terpaku pada pertanyaan yang sangat penting untuk kita semua; siapakah kita? Disadari atau tidak, jawaban atas pertanyaan inilah yang membawa seluruh umat manusia bergerak dan mengerjakan apapun yang dikerjakannya. Sebab dari pertanyaan ini kita dapat mengidentifikasi tempat kita, teman kita, kewajiban kita, hak kita (lebih sering dalam bentuk keinginan, meski tak semua keinginan itu hak), bahkan sampai arah tujuan kita.

Jawaban atas pertanyaan itu sudah terbukti tidaklah satu—tak peduli siapapun itu meneriakkan keabsolutan jawabannya sendiri. Tulisan ini pun bukan untuk menawarkan sebuah jawaban absolut apalagi win-win solution atas kemajemukan jawaban yang ada. Saya hanya ingin menyegarkan kembali pertanyaan yang pernah dilontarkan Plato pada suatu malam di sudut kamar rumah pelacuran. Siapakah kita? Sudahkah kau tanyakan dirimu hari ini?

Banyak dari kita sudah lupa bukan hanya pada jawabanya saja, bahkan pada pertanyaan yang mungkin belum terjwab bagi sebagian orang. Akhirnya, kebingungan identitas merajalela sampai pada tahap manusia rela memakai baju politik sebuah kubu demi mengenalkan dirinya. Apakah tak ada jati diri lain sampai harus menggantungkan identitas pada hasrat berkuasa sebagian kecil orang?

Jika semua orang sesederhana Jon Snow dan Rob Stark tentu memang tak membuat dunia serta-merta damai. Perdamaian punya rumus lain. Sedangkan pertanyaan soal jati diri dan identitas, adalah pengantar menuju rumus tersebut. Sebab ketenangan tak dibangung di atas kaki yang rapuh apalagi bergoyang.

Rob Stark tahu siapa dirinya dan sejauh apa potensinya. Dan meski pengetahuan itu membawanya ke liang lahat dalam kurang dari 30 episode, baru kita sebut itulah takdirnya. Memang hanya sampai situ ia bisa bersinar.

Berbeda dengan Jon Snow. Ia pikir ia tahu siapa dirinya dan bahkan mengambil kemungkinan terburuk dari potensinya. Namun ia tak tahu apa-apa meski terus berjalan dan memilih jalur hidupnya. 68 episode Jon hidup dan terus meniti karir yang tak pernah terpikirkan sebab ia memang ditakdirkan menjadi raja dari para raja. Hanya saja, ia tak tahu dan tak muluk-muluk menjawab pertanyaan di depannya, siapa dirinya? Dengan mudah ia jawab, “Aku anak haram”. Dan orang-orang akan melihat sendiri bahwa ia lebih dari itu.

tenor

Nah, bagaimana dengan kita? Apa jawaban kita ketika diri menanyakan pertanyaan tersebut? Siapakah kita? Manusia? Kurang dari itu? Atau barangkali, lebih dari itu?

 

Dari-Nya kami datang, dan pada-Nya lah kami kembali


19 Agustus 2018

No comments:

Post a Comment