Tengah April 2018, ngambil casan laptop di Musyarofie
▼
Wednesday, 1 May 2019
Ledakan
Aku sedang di lantai dua ketika terdengar gemuruh dan rusuh ratusan kilometer jauhnya. Dari balkon, setelah lapangan luas yang biasa dipakai sepak bola terlihat orang-orang berlarian di sela-sela bangunan. Kadang-kadang muncul api seperti ledakan dari balik bangunan-bangunan tersebut. Makin lama ledakan-ledakan api itu terlihat makin besar. Rupanya ia mendekat. Aku sudah ingin keluar ketika menyadarinya. Namun kawanku menahan, “Jangan! Ledakan itu dari bom waktu kecil yang ditanamkan musuh di bawah tanah. Bangunan ini tak akan runtuh hanya karenanya. Lebih baik jangan ada yang keluar karena potensi korban akan makin banyak.” Akhirnya aku menahan diri. Dari balkon itu aku menyaksikan ledakan beruntun yang makin mendekat. Lapangan bola yang kosong, tiba-tiba hancur lebur. Dan sampai gilirannya bangunanku yanng bergetar hebat. Benar rupanya, ledakan itu tak cukup kuat mengahancurkan bangunan ini. Ketegangan mereda. Tapi tidak untukku. Sampai kabar bahwa keluargaku ada di lantai satu, di bawah. Aku langsung kebawah dan menemukan ibu dan adik-adikku yang tak terluka, hanya ketakutan. Namun ayahku berdiri gemetar di depan pintu. Ia berdiri tepat diatas bom dan ledakan di bawahnya mengguncang seluruh tubuhnya. Saat aku berusaha menuntunnya untuk duduk, ia meringis kesakitan. “Tak apa,” katanya. Ia masih meringis ketika bergerak. Organ dalamnya terluka parah. Aku menangis mendengar rintihannya. Namun ia berhasil menyanndarkan diri sambil duduk. Desahan di sela setiap nafas itu menggambarkan seberapa besar sakit yang dirasakan.
No comments:
Post a Comment