Monday, 19 February 2018

Valentine Bersama Martir

Hari itu valentine. ‘Entah kenapa’ aku malah mengunjungi pemakaman. Tempat tubuh para martir perang diabadikan lewat nisan dan pekarangan yang indah.


Sepi, bukan waktu ramainya memang. Berkat itu kehadiran seorang wanita muda dengan mudah mencuri perhatianku. Ia sendiri. Duduk di samping nisan, mematung dengan setangkai mawar di tangannya. Tak ada suara doa yang terdengar, bahkan mulut pun tak bergumam. Terlihat matanya memandang foto martir makam itu.




Jiwa penasaranku menggeliat. Sebab dugaku, ia bukanlah ibunya. Paras itu terlalu muda untuk ibu martir berusia 30 tahun. Adik atau saudarinya? Bisa jadi. Tapi mengingat ini hari valentine membuat duga-duga kemungkinan jadi lebih menarik. Asyek.


Aku mendekatinya.


“Salam,” sapaku.


Sedikit kaget, ia mendongak. “Salam,” jawabnya.


Masih tersisa perhatian padaku dari tatapannya. Tentu menunggu apa kalimatku selanjutnya.


Maaf saja, aku tak pandai basa-basi. “Maaf, siapa orang ini bagimu?” tanyaku sambil menunjuk sang martir.


“Dia tunanganku,” bingo! “Kenapa?”


“Aha? Selamat atas kemartirannya, nona,” ucapan ini lumrah bagi bangsa yang senang melawan penindasan. “Maaf mengganggu dan banyak bertanya, bolehkah aku mendengar kisahmu dan dia? Kalian adalah inpirasi kami.”


Ia tersenyum. “Siapa kau?” Agak sulit memang menjadi orang asing.


“Aku penulis. Dan negaramu sekarang jadi objeknya. Tenang, takkan kuungkap identitas dan segala privasi. Aku hanya butuh sebuah kisah nyata yang tak biasa antara martir dan orang yang dicintainya. Akan kuterima apapun yang rela kau bagi,” sedikit kubumbui dengan kebohongan. Terlanjur maju, jangan pulang tanpa sesuatu.


Kenapa aku begitu tertarik? Martir pastinya adalah manusia dengan dua sisi cinta: pada kematian dan sebabnya, juga orang-orang terkasihnya. Dalam pertentangan dua arah cinta, terjadi dilema yang dahsyat antara dua jalan, apalagi menyakut kehidupan dan kematian. Dari sini, kita bisa melihat sudut pandang yang baru mengenai cinta, kematian, dan kehidupan.


“Maaf, tapi aku tak biasa berbincang dengan orang asing. Apalagi berbagi tentang kehidupan pribadi,” baiknya, dia masih tersenyum.


“Tolong, sedikit saja. Baiklah, begini saja. Apa pesan terakhirnya yang kau ingat? Satu pertanyaan saja dan aku akan pergi. Tolong.” Aku memohon sambil menyatukan kedua telapak tangan.


“Baiklah…” oke, dia menyerah. Ia berpaling dariku dan kembali menatap foto kekasihnya. Ada jeda ketika ia mengingat sesuatu. “Sebelum pergi, ia berjanji akan menikahiku sepulangnya dari medan perang. Aku tak bisa berhubungan dengannya setelah itu. Dan akhirnya ia tak benar-benar pulang.”


Kali ini aku mematung. Seharusnya sudah terpikir akan jadi begini sejak ia memperkenalkan tunangannya. Ada sesal dan perasaan tak enak tapi ini sudah terjadi. Pada detik-detik kecanggungan dan rasa bersalah itu, “Ouh…” Aku bingung harus berkata apa. “Maaf nona, sekali lagi maaf. Tak seharusnya aku bertanya soal itu.”


Ia tak menjawab dengan kata, hanya anggukan kepala, juga tanpa tatapan muka.


“Oke, terima kasih banyak sudah berbagi meski itu berat. Sekali lagi maaf dan terima kasih. Tuhan memberkatimu.” Momen super canggung itu menjadikanku juga super formal. Sialan.


Aku melangkah pergi sambil terus mengutuk diri.


Empat lima langkah terdengar panggilan, “Tuan!” Aku berpaling. Wanita itu berdiri dan berjalan menghampiri.


“Aku tak menganggapnya ingkar janji. Sejak awal pertemuan kami aku sudah tau, membela kemanusiaan adalah hidup matinya. Dan sebelum pertunangan pun, ia sudah bergabung dengan militer yang akan mengirimnya ke medan perang. Aku tak bisa menahannya. Sebab ia sangat ingin mati di jalan itu. Dan tak ada yang bisa kulakukan selain ikut mencintai kematian tersebut, sama seperti dirinya.” Aku masih diam. Tercampur kaget atas responnya yang berbeda juga mencerna semua pernyataannya. “Kini, ia telah mati di dunia, tapi hidup di hatiku. Itu sebabnya, tak ada air mata dan kesedihan. Seperti yang kujanjikan di pertunangan jika hari seperti ini datang.”


Aku masih terdiam.


“Aku pamit duluan. Salam.” Ia berjalan melewatiku dengan langkah yang mantap. Sekilas terlihat seutas senyum di bibirnya. Dan aku masih diam, bahkan tak jawab salam.


__________

Waktu tanpa masa: Lebanon


27 Maret 2017

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...