Salah satu tugas yang paling membingungkan bagiku adalah mendeskripsikan diri sendiri. Sampai ketika aku diminta menulis sebuah bio untuk salah satu karya tulisku, aku menghadapi jalan buntu. Akhirnya, aku meminta bantuan seorang sahabt karib untuk menuliskannya. Jadilah seperti ini:
Mencintai kata-kata seperti mencintai Ibu Pertiwi. Penulis serabutan, pengamat trotoar dan gerak-gerik orang yang berlalu lalang. Sering menghilang dalam kalimat-kalimat pemesona. Sedang mengais ilmu di negeri Arabia, Lebanon.
Menarik. Ketika seseorang menuliskan tentang orang lain, tak peduli secocok apapun ukuran sempak mereka, paling jauh, tulisan itu sebatas interpretasi atau bagaimana ia memandag sosok yang ditulisnya. Namun, bukannya tidak mungkin sosok yang ditulis bisa menemukan sepercik dirinya dalam tulisan tentang dirinya tersebut. Seperti aku, yang dibuat terpesona dengan kalimat pertama bio-ku di atas.
Aku tak pernah mengklaim diri sebagai pecinta kata-kata. Kalau pecinta wanita, sering. Tapi entah apa yang aku lakukan di hadapan sahabatku itu, sampai ia melihatku sebagai pecinta kata-kata. Dan aku sekana disadarkan, bahwa iya, ada sebuah magnet yang membuatku mensakralkan kata-kata—setidaknya kata-kataku sendiri.
Ketika mendapat tugas mengedit kumpulan cerpen yang akan diterbitkan, aku menghadapi kegelisahan luar biasa. Setiap tulisan yang masuk, gatal rasanya ingin kurombak agar menjadi sebuah cerita yang enak dibaca. Karena memang mereka semua bukan penulis profesional, jadi wajar saja ditemukan kecacatan sana-sini. Tapi, hatiku berkata lain. Hatiku cenderung ingin mengapresiasi tulisan-tulisan itu apa adanya. Merayakan kejujuran atas kekurangan manusia-manusia dalam bentuk ceritanya yang dituliskan. Dan ini bukan pertama kalinya. Bagiku, ketika seseorang berani menuliskan sesuatu, apapun itu, adalah sebuah perjuangan yang luar biasa. Sebab penghalang utama dalam dunia penulisan bukanlah kurangnya ide, tapi kepercayaan diri. Dan tulisan adalah jejak kemenangan seorang penulis dalam bergelut dengan dirinya sendiri.
Selain itu, setiap kalimat mengandung detik-detik keresahan, kesedih, maupun kebahagiaan seorang penulis yang ia pilih secara spesifik untuk diabadikan.
Penulis dapat menciptakan dunianya sendiri, masalahnya sendiri, pemikiran dan logikannya sendiri, kekasihnnya sendiri, bahkan musuhnya sendiri dalam setiap kalimat yang ia rangkai. Ketika dunia di luar sana terlalu tak acuh dan cenderung sibuk dengan kesenangannya sendiri, tulisanlah yang menemani penulis melewati malam dingin keterasingan. Tak heran apa yang diminta Pram ketika diasingkan rezim Orba adalah mesin tik. Dan Hatta dengan santai berkata bahwa penjara bukan momok baginya selama ia bersama buku. Kelihatannya, hubungan manusia dan kata-kata hakikatnya memang sangat romantis—secara umum. Bukan bagiku saja yang dideteksi kawanku ketika menuliskan bio itu.
Karena memang, sebagai manusia yang punya watak merindu, sulit untuk tidak mencintai diri sendiri—terlepas bagaimana dan apa itu cinta. Dan ketika sosok yang paling dicintai—diri sendiri itu tak bisa kita sambangi untuk bercengkrama atau sekedar nongkrong bareng, kata-kata-lah yang menjadi tukang pos untuk mengantarkan pesan kita padanya, dan menyampaikan pesannya pada kita.
Bicaralah pada dirimu sendiri.
Hadath, Satu Mei
No comments:
Post a Comment