“Gaes, ada berita nih. Dengerin...” kalimat ini pasti pembuka kabar yang bikin pusing. Kalau tongkrongan sudah diintervensi urusan organisasi dan dipilomasi dengan lembaga negara.
Kami disini, kaum diaspora Indonesia di Lebanon. Alasannya beragam. Ada yang bekerja, belajar, atau bahkan sekedar pingin jalan-jalan tapi tak punya duit, jadi manfaatin beasiswa. Jumlah kami sedikit. Jadi, mau-tak-mau kami berteman; lucu-tak-lucu kami tertawa. Kapan lagi nongkrong sambil bicara lepas pakai bahasa ibu. Duh, bu, kami rindu.
Lebanon bukan negara sepuluh besar dalam daftar tempat yang Instagramable. Cuma ya daripada tidak ada, ya kan? Setidaknya masih terlihat sisa-sisa “Swiss of Middle East” di pusat-pusat kota. Kawasan bernuansa Eropa abad pertengahan seperti kota kecil Byblos masih pantas untuk latar selfie.
Hidup bersama orang asing dalam kultur baru bisa dipandang sebuah tantangan yang mengasyikkan. Tapi percaya atau tidak, energinya luar biasa. Paling tidak, berusaha untuk ngobrol satu jam dengan bahasa asing, mendorong otak bekerja lebih untuk merubah tatanan bahasa ibu yang biasa dipakai tanpa perlu konsentrasi. Orang asing kalau mabuk di sini, celotehnya pasti pakai bahasa ibunya. Tak perlu berpkir dia. Pemandangan biasa itu.
Mungkin, sebab itu yang buat kami—beberapa mahasiswa ugal-ugalan yang ke luar negeri sebenarnya karena disuruh kiyai, bukan passion-nya sendiri—lebih sering berjumpa di kafe-kafe. Kami rehat sejenak dari dunia yang menyebut kita orang asing ini.
Belum lagi toleransi budaya yang jika kita tidak ahli di bidang ini, pasti sering berantem kita. Hidup di lingkungan multi-nasional itu rusuh. Bising. Hati Indonesia kita yang lembut, ramah, dan sensitif mudah sekali terasa seperti diinjak-injak kawanan kuda. Setiap orang, setiap kamar, punya keinginan dan ekspektasinya sendiri soal bagaimana orang berperilaku pada mereka.
Kawan Kambodia dan Thailand punya pola pikir budaya yang kurang lebih sama dengan kita. Meski seumur, masih ada batas bercandaan fisik yang tegas dalam pertemanan. Misalnya, tempeleng. Jam terbang persahabaatan kita harus melewati gunung dan panjang pantai dulu baru boleh main kepala. Beda halnya dengan India. Lihat saja di Bollywood, itu ekspresi yang lumrah. Bahkan relasi jabatan pun sudah ditolerir untuk seorang bos menempeleng bawahan karena masalah kecil.
Nah, satu hari, kawan India-ku, model-model Akshay Kumar campur Ajay Devgan tak tahan mendengar celoteh seorang Kambodia. Umur mereka tak jauh. Dan fisik si India jauh lebih besar. Spontan Ajay Kumar ini menempeleng kepala Kambodia sambil tertawa. Ekspresi keakraban dan cinta yang prematur bagi Kambodia. Mukanya langsung berubah dari mode-humor ke mode-nasihat. Ia menceramahi Ajay dengan serius soal etika pertemanan. Panjang lebar menggunakan bahasa Arab yang pas-pasan dan dianggap makin lucu oleh Ajay. Setelah itu, Kambodia ijin dua hari istirahat karena pusing sudah memaksa otaknya bekerja lebih keras untuk sepuluh menit.
Banyak lagi kisah serupa. Yang kujadikan pelajaran bagaimana cara bergaul dengan lintas-paspor ini agar tak mudah emosi dan buang-buang energi.
Hal lain yang melelahkan adalah berkumpul dengan perantau senasib dikarenakan keterbatasan jumlah teman tongkrongan. Bukan tak ada pilihan, tapi tak banyak pilihan. Berbekal rindu, ayolah malam minggu pakai bahasa ibu. Obrolan pun tak jelas. Masih untung, jika dalam lingkungan yang sempit itu kita bisa menemukan sekian orang yang punnya lama pemikiran yang mirip. Yang suka politik, seni, perempuan, trending topik Twitter—di luar pembahasan agama sebagai mahasiswa jurusan agama. Cocok-tak-cocok yang penting obrolan lancar. Bodoamat manfaatnnya, yang penting mulut dan telinga senang dengan slang-slang yang akrab macam kuy sampai mesuh penuh gairah seperti jancok, asu, sempak, dan seterusnya.
Menjadi melelahkan karena sedikit-sedikit kita memaksakan diri untuk nyaman dan menikmati yang sebenernya gak seasik itu. Percaya, deh, salah satu hal paling melelahkan yang dilakukan manusia adalah berusaha menjadi orang lain.
Kegiatan organisasi, pun begitu. Ada kemewahan istimewa dari kaum muda Indonesia: semangat komunal. Ada testimoni dari salah satu guru yang sudah menjamah Eropa. Katanya, setiap dia ke kampus manapun yang ada pelajar Indonesianya, pasti satu-satunya organisasi aktif dan progresif adalah kumpulan mahasiswa Indonesia. Bahkan kampus yang tak punya gairah organisasi seperti yang ia temukan di Jerman pun, tak cukup meruntuhkan semangat rapat AD/ART Perhimpunan Pelajar Indonesia di kampus itu. Luar biasa.
Nah, berangkat dari semangat Tan Malaka ini, tak peduli berapa jumlah personil, sebagai mahasiswa pergerakan harus diprioritaskan. Atas nama progresifisme—kepala beda, pembaca Tere Liye maupun Trotsky, penikmat Nella Kharisma atau Via Vallen, kegiatan harus jalan. Berita acara harus diposting di Facebook. Harus ada LPJ yang dipresentasikan. Pokoknya harus ada rapat walaupun perdebatannya takkan menghasilkan apa-apa. Kegiatan yang didorong hasrat alami sebagai putra-putri bangsa namun tak menemukan wadah yang satu rasa satu asa ini harus terus diproduksi. Bayangkan saja orang pikirannya dipenuhi informasi dan minat yang dalam akan fotografi, tapi sel sarafnya dipaksa untuk menggerakkan tangan ganti aki mobil dan tambal ban. Tidak adil sejak dalam pikiran. Eh, bukan. Tidak adil sejak dalam pengkondisian. Aktifisme harga mati (tanda seru)
///
Kembali ke kutipan pertama.
“Gaes, ada berita nih. Dengerin...”, aku membawa berita gagalnya pencarian dana. Dan dengan itu, opsi terburuk yang sudah kami prediksi sejak awal harus dilakukan. Akhirnya aku dan tim, yang entah apa motivasinya ikut naik ke bahtera kepemimpinanku ini, harus mulai menyiapkan fisik untuk masalah yang lebih besar pasca selesainya acara.
Tapi rasanya semua ini menyimpan rahasia penting yang cukup berharga untuk diperjuangkan—atau paling tidak, terus dijalani.
Bagiku, Tuhan tak kenal istirahat. Tapi, cara kerja Tuhan adalah sebuah aktifitas yang dinamis sekaligus statis. Sebagai Maha Paradoks, Ia menciptakan dunia dengan perhitungan yang jelas. Kita menyebutnya dengan sistem atau hukum alam. Sekaligus, di dalamnya, Ia menegaskan bahwa diri-Nya bukanlah kisah fiktif yang tak dapat dirasakan kehadirannya. Di samping mukjizat-mikjizat yang kini mulai terdengar seperti mitos, doa atau harapan yang muncul dari hati manusia berevolusi jadi tenaga penggerak. Sering kali (kalau tidak selalu), permintaan bantuan kita terhadap Tuhan seakan terjawab dengan munculnya tenaga dan inspirasi untuk menyelesaikan satu masalah. Padahal, dalam psikologi, optimisme atau bisikan-bisikan positif membantu saraf-saraf dan komponen kejiwaan dalam otak bekerja lebih kreatif. Hal-hal tersebut bergumul dengan rasa tenang yang dibawanya, dan melahirkan kejernihan dalam melihat dan berpikir. Lalu, jadilah solusi yang solutif.
Beda halnya dengan pesimisme yang lembek, layu, dan melambatkan. Ia tak mendorong, sebaliknya, menarik jauh kebelakang jika tidak diam di tempat.
Jadi, Tuhan dalam kepercayaanku, adalah proses. Segala yang hadir dan menjadi sebab fundamental dari pergerakan sesuatu sehingga terlihat “hidup”. Dan Ia konsisten dengan caranya mengalir di antara ucapan-ucapan atau pilihan-pilihan manusia. Ketika manusia di alam yang terbatas ini selalu dihadapkan pada pilihan, apapun yang dipilih mereka Tuhan sudah hadir lewat adanya pilihan tersebut dan akan tetap ada bersama konsekuensi setiap pilihan.
Kepanjangan ngomongin Tuhannya. Cukup.
Ada yang tersembunyi dari masalah yang silih berganti akhir-akhir ini. Hal yang aku dan kawan brengsekku yakin, punya kekuatan dan efek yang berharga nantinya. Apa itu, biarkan jadi rahasia waktu. Kami masih harus mengerahkan pikiran melebihi persentase Einstein dalam menggunakan otaknya. Hanya saja, Einstein berpikir diranah sains. Kami, cukuplah di pelunasan hutang.
Beberapa bulan ke depan, malam akan disibukkan dengan pekerjaan. Mungkin jatah puisiku akan berkurang. Dikumpulkan saja perasaan-perasaan itu untuk sesekali melepas rasa jenuh dan tidak mengundangnya kembali. Bagiku, ini adalah konsekuensi rentetan pilihan yang kuambil dengan mengikuti hasrat masa muda yang labil. Aku sudah menggunakan kebahagiaan riil di awal, sehingga tak lagi tersisa untuk dinikmati dalam sisa perjalanan ini.
Hal ini berat, namun, adanya kawanan begundal yang bersatu karena dijepit kondisi diaspora ala kadarnya ini, sedikit banyak menjadi tangan Tuhan yang menyuntikku dengan energi. Hal-hal yang kusebut melelahkan ketika kita berusaha menyesuaikan diri dengannya, jadi terlihat begitu ringan di hadapan masalah besar yang kubangun sendiri. Kalau mengikuti matematika sih, min kali min sama dengan plus. Akhirnya bermanfaat SD-ku.
Meski pada akhirnya, semua ini masalah sudut pandang. Aku sudah tahu soal itu. Ketika kita menghadapi sebuah masalah atau kondisi yang melelahkan, cukup ditarik jauh ke sumber masalah yang lebih luas. Sehingga masalah yang ada di hadapan mata, jadi seperti lelucon.
Menertawakan ketidak-sama-an kita, atau masalah-masalah kita, atau kesalahan pilihan kita, atau kesakitan-kesakitan perasaan kita, jadi menu baru dan wajib bersama rokok dan kopi. Dan percayalah, tak kalah nikmat dengan melakukan hal yang kita sukai bersama orang yang kita cintai. Yah, pada akhirnya, (hampir) semua itu memang soal sudut pandang.
Duh, semoga kalian tidak masuk neraka.
24 Maret
Tiga hari menuju seminar
No comments:
Post a Comment