Tubuh ini
rata bagai aspal. Aku berbaring dan diratakan oleh tekanan yang yang tak
terlihat, seperti sedang ngecat tembok saja. Di atasnya dua bola kecil yang
terhubung ssebuah garis solid berputar, mengingatkanku pada atom.
Dengan perasaan
visual itu, aku terpejam dan tak ada energi selain di kepala. Daya di sekujur
tubuh berlari perlahan dari bawah ke atas, dan berkumpul di kepala, otak. Tidak
ada pusing yang terasa, hanya denyut energi yang jelas terasa menggumpal di
pusat kepala.
Dengan sensai
visual itu, aku merasa telanjang. Telanjang dan lemah. Anehnya, meski nyatanya
dalam keadaan berpakaian rapi, aku merasa telanjang. Namun meski perasaan itu
lebih nyata dari pakaian yang secara sadar masih kupakai dan terasa menyentuh
kulit, aku tak malu. Mungkin, masih mungkin, karena saat itu ketelanjangan ini
hanya aku hadapkan pada Tuhan yang kutahu tak bermata. Di saat itu, ketelanjangan
ini tak membuatku malu, hanya membuatku lebih jujur pada-Nya.
Momen seperti
itu sering muncul namun baru pertama kali aku merasakannya senyata malam ini. Seperti
biasa, dunia dan kehidupan adalah pemantiknya. Tapi bukan sekedar karena aku ada
di dunia dan masih hidup, tapi lebih karena aku benar-benar tertarik gravitasi segala
yang ada di dalamnya sampai tercipta jarak antara aku dan Dia yang Entah Siapa.
Dalam keadaan
telentang, dan perasaan telanjang dan gepeng, aku berkeluh kesah. Meminta maaf
dan marah. Menuntut dan pasrah.
“Aku tak
paham bahasa sholat, bahasa ibadah. Aku tak paham bahasa yang digunakan setiap
orang disekitarku. Yang kutahu, sekarang kau mendengarku. Apakah ini hukuman? Apakah
ini tanda bahwa kau telah berpaling dariku?”
Aku berusaha
yakin kau mendengarkan namun tak mendapat kepastian. Untuk membuktikan aku tak
mampu. Apakah keyakinan harus dibuktikan? Mungkin tidak perlu. Lalu bagaimana
dengan kesadaran bahwa “aku tidak tahu” yang bersanding sejajar dengan
keyakinan di hatiku?
No comments:
Post a Comment