Wednesday, 27 December 2023
Zahra
Tuesday, 26 December 2023
Shofia
Tuesday, 5 December 2023
the treasure
Monday, 4 December 2023
the absolute freedom
Sunday, 6 August 2023
Setangkai Kenangan
Mawar itu kini terbakar. Oleh sinar mentari sebab air mata tak melindunginya lagi.
Yusuf dan Wanita Tua
Monday, 31 July 2023
Asam Garam Yahudi Lebanon
”Bagi banyak orang, ‘Yahudi Lebanon’ tak
lebih dari sebuah konsep. Namun nyatanya, Yahudi pernah hidup berdampingan
dengan populasi Kristen dan Muslim—mereka bahkan berbagi kursi kekuasaan di
parlemen. Beirut, Tripoli, Saida, dan Hasbaya adalah kota yang dulu mereka
sebut rumah. Natal dan Idul Fitri adalah momen yang mereka rayakan bersama
tetangganya.” —Nadine Mazloum, StepFeed.
Boleh dikatakan bangsa Yahudi konsisten hijrah
dari ribuan tahun lalu. Kota ke kota, kerajaan ke kerajaan, negara ke negara.
Hingga saat ini, tercatat ada 14 juta diaspora Yahudi di dunia—tercecer di
sana-sini. Satu-dua cerita juga mengabarkan keberadaan mereka di Indonesia.
Tapi mungkin sulit mendengarnya dengan suka cita di negara kita. Mengingat
sudah 70 tahunan isu Yahudi agak sensitif bagi komunitas muslim kebanyakan—sejak
berdirinya Israel.
Jika ditanya dari mana asal mereka, paling
tidak menurut sejarah, tentu saja sekitaran Timur Tengah. Sebagai turunan Yakub
atau Jacob atau Israel, setidaknya kita tahu ia pernah tinggal di Kanaan
atau Palestina masa kini. Kisah-kisah mereka selama masa kenabian Muhammad saw
juga tidak sedikit. Maka mereka pernah ada di bilangan Madinah.
Lebanon-pun punya kesaksiannya sendiri.
Sebuah bangunan tua di kota Saida—yang kini jadi rumah bagi imigran Suriah dan
Palestina—dulunya berfungsi sebagai sinagog. Termasuk sinagog tertua di dunia,
yang dibangun tahun 833 M. Sinagog ini berdiri di atas reruntuhan kuil yang
hancur tahun 66 sebelum masehi. Konon, Jesus pernah berceramah di sana. Jadi
setidaknya kita bisa berasumsi, bahwa yahudi sudah ada di Lebanon sejauh
ingatan sejarah kita tentang bangsa-nya Rostchild ini.
Namun berbeda dengan negara Arab lainnya, kita
masih bisa merayakan perbedaan bersama yahudi di Lebanon. Lepas tumbangnya
dinasti Ottoman, Perancis mendapat jatah Lebanon untuk diduduki. Di bawah
mandatnya, Lebanon yang masih seperti kumpulan komunitas agama ingin berdaulat.
Maka untuk menghindari konflik politik, Lebanon di bawah kekuasaan Perancis
untuk pertama kali melakukan sensus penduduk. Sesuai hasilnya, Kristen Maronit
mendapat jatah kursi presiden sebagai mayoritas utama. Kemudian Muslim Sunni
dapat jatah perdana menteri, dan Muslim Syiah juru bicara parlemen. Sisanya,
ada 15 sekte lagi yang terhitung sebagai bagian dari Lebanon mendapat jatah
kursi di parlemen dengan jumlah berdasarkan kuantitas penganutnya. Dari situ,
dikhususkan satu kursi perwakilan untuk tiga sekte ter-sedikit di Lebanon,
salah satunya, sekte yahudi.
Lima tahun setelah Lebanon merdeka dari
Perancis, Israel tercipta (1948). Kemarahan negara-bangsa Arab merasuki
penduduk Yahudinya dengan ketakutan dan ancaman. Bangsa Yahudi untuk kesekian
kalinya hijrah. Tujuan utama terpecah dua: Israel dan Eropa-Amerika. Namun ada
tujuan alternatif: Lebanon. Sejak berdirinya Israel, Lebanon adalah
satu-satunya negara Arab yang tercatat mengalami kenaikan populasi Yahudi di
dalam perbatasannya. Buku The Jews of Beirut mencatat pada tahun 1950,
kurang lebih 10.000 orang yahudi masuk ke Lebanon dari Suriah, Iraq, dan
sekitarnya. Dengan menjadi satu-satunnya negara Arab yang dipimpin Kristen
(Maronit), juga kenyataan bahwa dominasi politiknya tak dipegang satu golongan—boleh
dikatakan, epitome Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya—Lebanon jadi
negara paling ramah yahudi di kawasan.
Beirut menampung paling banyak Yahudi pada
masanya. Di samping rumah megah Perdana Menteri Saad Hariri ada kawasan yang
dulu jadi pusatnya Yahudi—sebuah jalan bernama Wadi Abu Jamil. Di kawasan yang
membelah pemukiman Kristen dan Muslim ini, pernah berdiri sekolah, pertokoan,
juga sinagog Yahudi. Dalam film dokumenter BBC Arabic tahun 2006
berjudul Yahud Lubnani, Mokhtar Itani, penulis buku Our Beirut
bercerita, “Mereka (Yahudi) dulu dianggap
bagian dari komunitas Arab Lebanon yang menganut agama Yahudi atau
pengikut Musa. Sama seperti Muslim yang mengikuti Islam dan Muhammad, atau
Kristen yang mengikuti Isa. Mereka bagian dari penduduk Beirut yang jadi
orang-orang terdekat kita. Bahkan, mereka banyak memiliki posisi penting. Ada
seorang Rabbi namanya Solomon. Dia adalah ahli sunnat paling terkenal di
kalangan Muslim saat itu.” Itani juga mengingat tentang Dokter Nassim Chams,
seorang Yahudi yang diberi julukan “Penyembuh Kaum Miskin” (The Healer of
The Poor). Ia mendapat tempat khusus di hati masyarakat Beirut atas
dedikasinya melayani orang sakit tanpa memungut biaya apapun, bagi
siapapun—terlepas agama, ras, dan kebangsaannya.
Secara politik, keberagaman agama yang
membangun pemerintahan Lebanon meniscayakan perlindungan setiap sekte yang
terlibat dalam kekuasaan. Hal ini juga tertulis jelas di konstitusi yang
tersedia di situs resmi kepresidenan: C) Lebanon adalah republik parlementer
demokratis yang menghormati kebebasan publik, khususnya kebebasan pendapat dan
kepercayaan, dan menjunjung keadilan sosial serta kesamaan hak dan kewajiban
bagi seluruh warganegaranya tanpa diskriminasi (pembedaan).
Gelombang migrasi pertama yang membuat
Lebanon sepi Yahudi adalah perang Arab-Israel tahun 1967. Perang ini mulai mengaburkan pandangan
masyarakat Lebanon atas perbedaan Yahudi dan Zionis. Di tambah merangsek
masuknya pengungsi dan militan Palestina ke Beirut. Pada satu masa, penduduk
Yahudi mau tak mau membagi atapnya tak hanya dengan sesama warga Lebanonnya,
tapi juga Palestina. Sinagog mereka bahkan sempat menjadi pengungsian Palestina
ketika perang berkecamuk. Banyak orang bersaksi bahwa terjadi penculikan sampai
pembunuhan warga Yahudi oleh militan Palestina. Ketika di saat bersamaan juga
banyak yang bercerita bahwa Yaser Arafat, sempat jadi pahlawan Yahudi karena
menggunakan pengaruhnya menyelamatkan beberapa keluarga Yahudi dari
kesalahpahaman. Namun pada akhirnya, sejarah menunjukkan bahwa ketakutan dan
ketidak-aman-an lebih nyata dari kedamaiannya. Itu sebabnya pada akhir 1975,
tercatat kurang dari 1.000 Yahudi bermukim di Lebanon. Di kemudian hari, Perang
Sipil dan perang dengan Israel tahun 1982 membuat makin banyak yang
meninggalkan Lebanon—yang jumlahnya kini masih diperdebatkan antara 200 sampai
40 orang.
Orientasi Zionis
Seniman New York asal Lebanon, Rola
Khayyat, membuat dokumenter berjudul From Brooklyn to Beirut, yang
menceritakan kisah-kisah diaspora Yahudi di negarannya. Dalam wawancara dengan
StepFeed, menurutnya komunitas Yahudi Lebanon di Brooklyn cukup mencolok
ketimbang minoritas lain di sekitarnya. “Mereka selalu menolak membaur
sepenuhnya. Cukup keras kepala memelihara identitas, budaya, dan nilai-nilai
Timur Tengah yang mereka dapat di Lebanon.”
Ketika ditanya soal bagaimana mereka melihat
hubunganya dengan Lebanon, salah satu narasumber berkata, “Lebanon adalah
sebuah kebudayaan. Yahudi adalah sebuah agama. Tak ada kontradiksi bagi
keduanya.” Rola juga mengatakan semua narasumbernya berbicara bahasa Arab
sefasih dirinya.
Di permulaan abad 20, komunitas Yahudi
Lebanon kurang aktif dalam politik dan tak melibatkan diri di perseteruan
antara komunitas agama lainnya. Secara umum, komunitas ini cenderung mendukung
Nasionalisme Lebanon, dan menempel pada penguasa Perancis. Ketika di saat
bersamaan, Perancis pada masa itu tidak simpatik pada ide berdirinya negara
Yahudi yang dicanangkan rivalnya, Kerajaan Inggris. Komunitas ini juga apatis
terhadap ide tersebut. Memang ada segelintir pemuka komunitasnya yang antusias
menyuarakan Zionisme, dengan beberapa dukungan di sana-sini. Sekolah Yahudi
terbesar di Beirut, yang didirikan Alliance Israélite Universelle asal
Paris juga dengan aktif bicara soal Zionisme. Namun catatan Jewish Agency, organisasi
internasional yang menghubungkan Yahudi di dunia menyesali kurangnya “gairah
nasional” dari sejawatnya di Lebanon. Lebanon juga tidak mengirim delegasi ke World
Zionist Congress.
Dilema Maghen Abraham
Selesai dibangun tahun 1925, Sinagog Maghen
Abraham jadi semacam masjid agung bagi penganut Yahudi di Beirut dan
sekitarnya. Terletak di Wadi Abu Jamil, sinagog ini terseret badai perang sipil
tahun 1975. Dan ketika Israel memburu Palestine Liberation Organization
(PLO) sampai ke Beirut, ironisnya, bombardir udara itu juga menghancurkan
Maghen Abraham yang sudah kosong waktu itu. Pasalnya, ada kabar bahwa PLO
memelindungi kawasan tersebut.
Tahun 2009, gagasan untuk merenovasi Maghen
Abraham jadi perbincangan hangat. Isaac Arazi, perwakilan komunitas Yahudi
setempat mulai menggalang dana dari diaspora Yahudi Lebanon di Eropa-Amerika.
Yang menarik, dukungan datang dari hampir seluruh komponen politik—bahkan
Hizbullah sebagai musuh bebuyutan Israel mengeluarkan press release
mengenai hal ini. “Ini (Maghen Abraham) adalah tempat ibadaha, dan kami
menyambut pemugarannya,” kata Sekjen Hizbullah, Hasan Nasrallah.
Bloomberg melansir Perdana Menteri Fouad
Siniora mengatakan, “Kami menghormati agama Yahudi seperti menghormati agama
Kristen. Satu-satunya masalah kami adalah dengan Israel.”
Namun sepuluh tahun pasca renovasi, lampu
Maghen Abraham belum juga dinyalakan. Pagarnya terkunci dengan penjagaan ketat
militer di sekitarnya. Seorang muslim, Bassam al-Hout, pengacara komunitas
Yahudi Lebanon mengatakan hanya ada dua rabbi di Lebanon dan membantah
adanya rencana Maghen Abraham beroperasi kembali.
The Israelite Community—begitu dokumen negara menyebutnya, nama yang sudah bertahun-tahun
dilobi untuk diganti sebagai upaya menjaraki diri mereka dengan negara Israel—kini
hidup dalam bayang-bayang sejarah Lebanon. Sulitnya memastikan keberadaan
mereka, dan mundurnya komunitas ini dari aktifitas politik seperti parlemen
membuat ingatan atasnya perlahan pudar. Sejak awal berdiri Israel
mendeklarasikan diri sebagai Negara Yahudi. Dan fakta ini membuat makin
kaburnya batas pembeda antara penganut Yahudi dan luka yang disebabkan Israel
pada penduduk Lebanon. Selain itu, kondisi politik dan keamanan yang belum
stabil menghantui tak hanya komunitas Yahudi, namun seluruh komponen
masyarakat. Sehingga aktifitas sekte yang cukup besar seperti eksis kembalinya
penganut Yahudi berpotensi meledakkan tensi yang lama dijaga. Dan pernyataan
resmi di atas kertas tak lebih dari sekedar pernyataan—tak berpengaruh di
jalanan.
Kini media dan masyarakat Lebanon mulai
menggunakan kalimat-kalimat nostalgia ketika berbicara soal tetangga Yahudinya.
“Alain Abadi biasa duduk di teras, memainkan gitarnya dan bernyanyi. Dia akrab
dengan tetangganya, dan sangat sembrono,” kata Berthe Mamo, mantan penduduk
Wadi Abu Jamil, mengenang tetangga Yahudinya.
“Apa aku berharap kembali ke Beirut? Tentu
saja! Di Facebook, aku selalu bicara soal Lebanon. Aku masih punya teman
di sana dan tak bisa melupakan mereka. Aku hidup 35 tahun di sana!” kata Alain
Abadi, yang kini tinggal di Tel Aviv mengikuti kemauan ibunya, ketika
diwawancara BBC.
23-27 April 2019
Berkenalan Dengan Druze
Sebagai salah satu kelompok agama yang
resmi diakui negara, Druze mendapat jatah delapan kursi dari total 128 kursi di
parlemen. Juga dengan perkiraan jumlah penganut 5,2 persen total penduduk
Lebanon, Kepala Staff Umum (Chief of General Staff—kepemimpinan militer) harus
dari komunitas Druze.
Druze adalah gerakan keagamaan yang lahir
di Mesir pada masa Kekhalifahan Mamluk (Fatimiyah) awal abad ke-11. Ahli mistik
Ismaili (denominasi Syiah), Hamzah bin Ali dan Muhammad Ad-Darazi datang dari
Persia dan memulai sebuah majlis eksklusif untuk kalangan bangsawan dan
intelektual dengan dukungan Khalifah Al-Hakim. Majlis ini terbentuk dari sebuah
ambisi menyatukan seluruh agama dan manusia dalam sebuah ajaran tauhid yang
paripurna (unitarian, muwahhid). Tiga nilai utama yang jadi fokus adalah
monoteisme (tauhid), tunduk pada Tuhan, dan keadilan sosial.
Pada masa ini, terjadi perpecahan antara
Hamzah dan Darazi. Pemikiran Darazi berkembang dari misi universal sampai beranggapan
bahwa Tuhan telah memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk manusia, khususnya Ali
bin Abi Thalib dan keturunannnya (termasuk Khalifah Al-Hakim), serta dirinya
adalah “Pedang Keimanan”. Hamzah marah, dan menulis pernyataan bahwa Darazi
telah sesat, dan menolak penggunaan pedang untuk menyebarkan agama.
Tahun 1016, Darazi membuka dan mengenalkan
pemikirannya pada masyarakat. Namun gerakan Darazi ditolak dan menyulut protes
keras dari berbagai kalangan di Kairo. Darazi kemudian diusir dan dilarang
berceramah selama satu tahun. Tahun 1018, Darazi dibunuh karena ajarannya,
namun ada sumber yang mengatakan bahwa ia dieksekusi oleh khalifah.
Setahun setelah protes, giliran Hamzah yang
mendakwahkan doktrinnya. Kini gerakan ini mendapat dukungan penuh dari khalifah
yang langsung mengeluarkan dekrit kebebasan beragama. Dengan dukungan ini,
gerakan Hamzah (seterusnya akan disebut komunitas Druze) tersebar ke seantero
negeri.
Beberapa tahun kemudian, Al-Hakim
menghilang dalam sebuah perjalanan dan dipercaya oleh komunitas Druze telah moksa
bersama Hamzah dan tiga petinggi komunitas ke-haribaan-Nya. Namun ada dugaan
bahwa ia dibunuh oleh kakak perempuannya, Sitt Al-Mulk. Anak Al-Hakim yang
masih di bawah umur, Zahir menggantikan posisi ayahnya dan menjadikan Sitt
sebagai walinya. Sementara kepemimpinan Druze dipegang orang yang telah
ditunjuk Hamzah, Muqtana Bahauddin.
Komunitas Druze mengakui Zahir sebagai
khalifah, dan memandang Hamzah sebagai Imam (pemegang otoritas agama Islam
tertinggi yang meneruskan ajaran Nabi Muhammad). Tapi Zahir ingin komunitas
Druze juga menerimanya sebagai Imam. Banyak mata-mata dan propagandis dari sisa
pengikut Darazi lalu memasuki komunitas Druze dengan tujuan memecah dan
menjatuhkan reputasi komunitas ini. Penolakan permintaan khalifah dan aksi spionase
pengikut Darazi berujung pada baku hantam antara penguasa dan komunitas Druze.
Yang paling parah terjadi di Antioch di mana 5.000 pemimpin Druze tewas di
tangan militer. Persekusi ini berlangsung selama tujuh tahun, dan perlahan
komunitas Druze menutupi indentitasnya. Mereka yang selamat kebanyakan berpusat
di Lebanon Selatan dan Suriah.
Dua tahun pasca kematian Zahir (1036),
komunitas Druze baru bisa bernapas kembali dan bergerak secara terbuka—karena
khalifah yang baru punya hubungan erat dengan salah satu pemuka komunitas Druze.
Lalu pada tahun 1043, Bahauddin mendeklarasikan ‘penutupan ajaran’. Setelah 27
tahun mengajak manusia pada ajaran monoteisnya, mereka melihat sudah tak ada
lagi yang bisa dilakukan untuk menyatukan manusia. Maka Druze pun tak lagi
mengajarkan pahamnya dan tak lagi menerima pengikut baru, pun keluarnya
pengikut—yang sampai saat ini masih berlaku.
Saat ini di Lebanon, komunitas Druze
berpusat di Mount Lebanon dan beberapa bagian Lebanon Selatan. Jumlahnya
ditaksir sekitar 200.000 manusia. Tidak ada yang bisa menjadi Druze kecuali
lahir dari dua orang tua Druze. Secara tradisi, komunitas ini melarang
anggotanya menikah dengan komunitas luar.
Sesi ‘peribadatan’ mereka berlangsung sangat
rahasia. Khusus untuk keturunan Druze yang mendeklarasikan penyerahan diri pada
agama—dengan mengambil kelas khusus selama tiga bulan, dan membuktikan bahwa ia
jauh dari ‘tujuh dosa besar’. Sesi rahasia ini berlangsung pada malam Jumat di hilwah
(semacam masjid), di mana para kyai (mereka yang sudah menyerahkan dirinya pada
agama) bergumul dengan kitab ajarannya yang bernama Al-Hikma.
Bagi Druze, reinkarnasi adalah bentuk dari
keadilan Tuhan. Sebagai kesempatan kedua bagi jiwa (khususnya yang mati muda)
untuk kembali ke dunia dan menyempurnakan dirinya sebelum benar-benar menyatu
dengan Tuhan.
Meski mengamini beberapa dogma Kristiani,
dan mengandung banyak pemikiran filsuf Yunani, sebagian besar sumber paham
Druze masih berasal dari Alquran dan hadis Nabi Muhammad (sebagaimana
akarnya dari Islam Ismaili). Hanya saja, mereka berusaha memperluas cakupan
firman dalam Alquran dengan melakukan tafsiran yang lebih universal—hal ini
bisa dipahami dari upaya pencetusnya menyatukan beragam aliran keagamaan dalam
kesepakatan ketuhanan yang satu. Sementara untuk kewajiban-kewajiban seperti
solat, puasa, dan zakat mereka melihatnya sebagai aktifitas jiwa dan sosial
ketimbang ritual simbolik. Akibatnya, banyak perdebatan di kalangan ulama
Muslim soal status ke-muslim-an anggota Druze. Namun konstitusi Lebanon tetap
memasukkan Druze dalam daftar pecahan Islam.
Komunitas Druze sendiri lebih senang
menyebut dirinya “Muwahhiduun” (Para Monoteis) ketimbang Muslim.
Sementara nama ‘Druze’ awal kali digunakan sejarawan dalam kaitan komunitas
dengan Muhammad Darazi—yang dalam teks-teks komunitas Druze kini disebut
seorang bidah dan sesat.
Cinta Lokasi Para Militan
Ketika audisi, Atris tertawa sinis dan berkata berkata, “Baiklah, jika anda bersikeras ingin saya bermain peran, saya ikuti. Tapi jika akhirnya saya hajar habis mereka, jangan mengeluh.”
Atris adalah seorang pemuda dari Bab el-Tebbaneh, sebuah kawasan yang didominasi Muslim Sunni, di kota Tripoli, Lebanon Utara. Atris bersama puluhan pemuda lainnya mendapat tawaran untuk bermain peran dalam sebuah teater komedi gelap berjudul “Love and War on the Rooftop”, versi parodi dari legenda Romeo Juliet, 2011 silam.
Pentas drama ini diinisiasi oleh Lea Baroudi dan timnya—sebuah Lembaga Sosial Masyarakat di bidang perdamaian dan pembangunan bernama MARCH.
Pemuda lain yang dipaksa menjadi aktor adalah Ali. Ia berasal dari Jabal Mohsen—tetangga Bab el-Tebbaneh—yang didominasi Alawi. Ketika audisi, Ali menaruh pistolnya di meja juri dan berkata, “Ok, sekarang anda harus jelaskan apa yang sedang anda lakukan di sini sebab saya sama sekali tak terpikirkan bisa menjadi seorang aktor.” Lea yang saat itu ikut jadi juri pun tertawa dan membalas, “Saya pikir anda bisa.”
Bab el-Tebbaneh dan Jabal Mohsen sudah saling tembak sejak perang sipil di Lebanon puluhan tahun lalu. Konflik berlatar sekte ini belakangan makin panas sejak perang di Suriah. Pemuda seperti Atris dan Ali sudah mengenal senjata sejak umur 15—bahkan lebih muda. Lupakan dulu soal sekolah dan memiliki rumah, Atris saja bisa dikatakan tak bernegara. Orang tuanya tak mampu mengurus administrasi kelahiran akibat kemiskinan—dan ia bukan satu-satunya. Jalan yang membelah dua kawasan ini (ironisnya) bernama “Syria Street”—adalah medan baku hantam yang paling akrab sebagai tempat mereka tumbuh.
Atris dan Ali—dua dari 100 pemuda yang ‘dipaksa’ mengikuti audisi—adalah juga veteran perang. Selain melawan tetangga sektenya, banyak dari mereka pernah ke Suriah baik bertarung bersama pemerintah maupun oposisi Suriah. Mereka kembali ke Lebanon karena satu dan lain hal. Namun jalan hidup sektarian yang keras sudah menjadi satu-satunya jalan hidup yang pernah mereka lalui—sampai MARCH datang menawarkan sebuah panggung.
“Semua pada awalnya berpartisipasi murni didorong rasa penasaran,” kata Lea di TEDxSciencesPo, Perancis. “Siapa sih orang-orang Beirut ini yang ingin orang sepertiku bermain peran?” tambahnya mengutip salah satu partisipan.
Menurut pengakuan Lea, tahap awal audisi adalah yang paling sulit. Terlambat dan harus disusul ke rumahnya bahkan secara harfiah ditarik dari tempat tidur, tensi antar partisipan yang masih sangat terasa—mengingat mereka sudah lahir bermusuhan, sampai pengecekan badan untuk mencegah masuknya senjata di pintu masuk. 16 aktor mantan-veteran yang lolos audisi lalu berlatih bersama selama tujuh bulan—dibimbing oleh beberapa profesional yang disewa MARCH. Setelah pentas yang dihadiri warga sekitar usai dan diabadikan dalam sebuah film dokumenter, efek positif mulai terasa dan muncul dorongan dari para aktor untuk tak hanya berdamai di atas paggung, namun dalam keseharian dan melibatkan lebih banyak orang lagi.
Kafe Budaya
Berawal dari bangunan terbengkalai yang penuh dengan lubang peluru tepat di atas Syria Street, MARCH bersama para veteran muda dari dua kawasan yang bermusuhan membangun sebuah kafe—yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat Lebanon secara keseluruhan. Namannya “Kahwetna: Cafe bi Kaffak” (Kopi kita: kafe di genggamanmu).
Kafe ini selain menyambungkan kedua kawasan yang lama bermusuhan, juga mempekerjakan pemuda dari keuda belah pihak. Para aktor drama dan pemuda lain menemukan ruang kreatif untuk menyalurkan minat dan bakat mereka. Dari kafe ini, para alumni pentas drama yang lalu bersama MARCH mewadahi aktifitias berkarya dari mulai melukis, dansa, band sampai pembuatan video klipnya. Turnamen sepak bola juga pernah diadakan oleh Kahwetna, bahkan sampai menarik turun Lebanese Army (Angkatan Bersenjata Lebanon)—dalam upaya memperkecil jurang pemisah di antara mereka.
Sering menjadi bahan candaan juga di antara pengunjung dan pekerja, soal fakta bahwa mereka yang biasanya saling lempar peluru, kini saling lempar espresso.
Gerbang Emas
Setelah sekian bulan Kahwetna mengadakan berbagai pertunjukan seni dan budaya, tercetuslah proyek yang lebih besar lagi: refitalisasi Bab el-Dahab (Gerbang Emas).
Usut punya usut, Jabal Mohsen dan Bab el-Tebbaneh sebelum perang sipil tahun 70-an adalah satu kawasan bernama Bab el-Dahab. Disebut begitu, karena potensi ekonominya yang menjanjikan. Maka berkaca pada sejarahnya, warga sekitar yang sudah terjamah ide-ide perdamaian MARCH ingin kembali menyatukan dua kawasan ini.
Sejak 2016 sampai sekarang, proyek ini sudah berhasil menghidupkan kembali 200 pertokoan dengan bantuan 230 pekerja lokal di bilangan Syria Street dan Muhajareen Street. Mereka yang berpartisipasi dalam pembangunan banyak menerima bimbingan softskill dari Kahwetna. Efeknya pun mulai terlihat dari banyaknya toko yang menggunakan nama “el-Dahab” di atas pintunya.
Atris dan Ali masih terus berkarya dan memperluas cakupan perdamaian yang mereka rasakan di atas panggung. Berbagai macam pentas seni dan proyek terus berjalan sampai sekarang dan tersebar ke seluruh Lebanon. Sampai awal tahun ini, Lea Baroudi sebagai pendiri MARCH mendapat medali kehormatan Britania dari Ratu Elizabeth II. Sebuah penghargaan tahunan bagi mereka yang berkontribusi secara positif dan masif bagi masyarakat dalam berbagai bidang.
Oleh:
Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan
Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019
Ig: @abahcomic @ppi_lebanon
Toleransi: Penghinaan, Perbedaan, Kebiasaan
Orang tak dikenal membakar habis perpustaakaan milik Pendeta Kristen Ortodox di utara Lebanon, Tripoli. Pendeta Sarrouj dituduh telah melecehkan Islam, setelah ada yang menemukan artikel ‘sensitif’ dalam sebuah buku di perpustakaannya. Satu penjaga perpustakaan tertembak. Dan sekitar 50.000 buku lenyap setelah melayani kebutuhan publik sejak 1972.
Kejadian itu terjadi Januari 2014 silam. Di Tripoli yang punya populasi 80% muslim. Sebelumnya Pendeta sudah menemui para petinggi muslim setempat untuk klarifikasi. Dan akhirnya demonstrasi yang direncanakan, dibatalkan. Pasca pembakaran, aparat mengatakan Pendeta Sarrouj tak melakukan kesalahan apapun—bahwa artikel tersebut, tak ada hubungannya dengan pendeta. Saat konferensi pers, aparat berjanji “siapapun yang ingin menyulut perselisihan di Tripoli ditakdirkan masuk penjara, sebagaimana yang akan menimpa mereka para pembakar (perpustakaan pendeta)”.
Agustus 2018 seorang muslim ditemukan mati terpotong-potong di pinggir jalan kota Danniyeh, Lebanon Utara. Korban—Muhammed al-Dhaibi, awalnya terlibat adu mulut dengan penjaga toko kelontong soal kenaikan harga, kata saudaranya pada media. Muhammed secara spontan menyebut Tuhan dalam makiannya pada penjaga toko. Seorang Syeikh (Kyai), mendengar ucapan Muhammed dan menegurnya. Dan Syeikh-pun ikut terlibat perdebatan dengan Muhammed.
Setelah meninggalkan toko, Muhammed dicegat Syeikh bersama dua saudaranya yang langsung membunuh korban dan membuang tubuhnya di sebuah jalan. Setelah investigasi, aparat mengatakan bahwa korban “menghina Syeikh dan Tuhan”. Tak lama, Syeikh dan saudaranya menyerahkan diri sambil menyatakan kebanggaan atas tindakannya, dilansir Al-Jadeed.
Akhir tahun kemarin, Hakim Jocelyne Matta lewat pengadilan Tripoli memvonis dua pemuda muslim untuk mempelajari Alquran. Sepuluh hari sebelumnya, dua anak ini memasuki sebuah gereja, menjatuhkan patung Mary di dalamnya, mencium patung tersebut dengan pose tidak senonoh. Mereka merekam aksi tersebut lalu menyebarkannya via WhatsApp.
Seperti Indonesia, Lebanon juga punya pasal penghinaan agama. Dalam Pasal 437 Hukum Pidana Lebanon menyatakan hukuman maksimal satu tahun penjara, bagi siapapun yang “menghina Tuhan di muka umum”. Namun sampai sekarang, belum ada satupun laporan yang mengatakan seseorang terjerat pasal tersebut.
Menurut survey Gallup, masyarakat Lebanon secara umum masih lebih toleran daripada Britania dan Jerman—jangan tanya negara Arab lainnya. Dalam merespon “Saya tidak keberatan seorang dari agama lain pindah ke sebelah rumah saya”, 76% responden menyatakan “sangat setuju”. Sementara Britania dan Jerman hanya 57%.
Selain itu, di saat bersamaan, untuk membayangkan tingkat relijiusitas masyarakat Lebanon, 82% responden muslim dan 86% responden kristen sepakat bahwa agama sangat penting dalam keseharian hidup mereka.
Sebagai contohnya kita bisa melihat paduan suara yatim-piatu muslim dari Imam Sadr Foundation, yang menyanyikan lagu natal di Gereja Saint Elie, Beirut, 2017 silam.
Atau Syeikh Khaled Yamout yang melantunkan azan dan kutipan Surat Maryam dalam sebuah acara untuk Perawan Mary di Gereja Médaille Miraculeuse, Beirut.
Meskipun perang sipil pernah menghancurkan Paris-nya Timur Tengah, Lebanon masih dikenal sebagai ruang bernapas pluralisme—khususnya pasca Musim Semi Arab. Selain memberi jatah kursi politik pada 18 sekte berbeda, pemerintah menjamin kebebasan melakukan ritual agama dan pembangunan rumah ibadah, selama tidak mengganggu ketertiban publik. Sampai sekarang, juga tidak ada laporan mengenai kekerasan atau diskriminasi yang berkaitan dengan keyakinan atau praktik keagamaan.
Mungkin itu sebabnya, puluhan warga dan pelajar Tripoli ikut membantu proses pembersihan lalu mengumpulkan bantuan untuk membangun perpustakan bersejarah Pendeta Sarrouj “lebih baik dari sebelumnya”.
“Saya meminta polisi menangkap mereka yang mengeluarkan fatwa dan memerintahkan penyerangan (perpustakaan), ketimbang fokus pada mereka yang melakukan penyerangan”, kata Syeikh Salem al-Rafei kepada media.
Oleh:
Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan
Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019
Bhinneka Tinggal di Neraka
Sebagai satu-satunya negara bangsa Arab di Timur Tengah yang memiliki presiden Kristen, Lebanon memang layak disebut “ruang bernapas pluralisme” bagi kawasan. Berawal dari pelabuhan Beirut yang menjadi pusat masuknya segala hal dari Eropa pada jaman Ottoman—termasuk agama, budaya, dan pencampuran ras. Pada abad 17-an, kawasan yang kini kita sebut Lebanon dikuasai seorang pangeran Druze, yang sempat diasingkan khalifah ke Italia, dan ikut menyaksikan perkembangan Renaisans. Kepulangannya ke Lebanon yang kembali berkuasa membawa sekaligus revolusi budaya dan intelektual tersebut. Selain mengenalkan mesin percetakan pertama di kawasan, ia juga mendukung para Jesuit Katolik membuka sekolah di seantero negeri. Ini adalah salah satu faktor yang mendasari kuatnya pondasi Kristiani di Lebanon kini.
Seiring berjalannya waktu, Perancis jadi semacam ibu asuh Lebanon pasca kejatuhan Ottoman. Keterikatan Perancis dengan Lebanon juga didasari hubungan politik mereka dengan populasi Kristen yang besar di sini. Sampai ketika beragam suku yang terpolarisasi agama di Lebanon menuntut kemerdekaannya, kubu Kristen Maronit yang cinta pada Perancis jelas tak ingin dirinya merdeka. Sementara dari kubu non-Kristen, lebih cenderung berpihak pada arabisme Suriah. Mereka ingin bergabung dengan Suriah. Resolusi atas konflik ini berakhir dengan kemerdekaan Lebanon sebagai negara independen.
Resolusi itu bernama National Pact. Kesepakatan ini tidak tertulis, namun dipahami, disepakati, dan dipegang teguh secara serius oleh seluruh lapisan masyarakat. Isinya, kesepakatan pemberian kursi presiden pada partai dari agama Kristen Maronit; perdana menteri untuk partai dari Islam Sunni; ketua parlemen untuk partai Islam Syiah; staf umum militer untuk partai Druze; dalam kesepakatan juga termasuk kerelaan partai Muslim melepaskan mimpi persatuannya dengan Suriah, dan penerimaan partai Kristen atas identitas Lebanon sebagai negara bangsa Arab. Dalam konstitusi yang lahir setelahnya, tercatut bahwa Lebanon dibentuk dengan persatuan 18 sekte (12 sekte Kristen, empat Muslim, Druze, dan Yahudi). Dari sini, jatah pembagian 128 kursi parlemen dibagi antara kubu Kristen dan Islam dengan perbandingan 6:5. Menjadikan identitas Lebanon sebagai negara dengan pembagian kekuasaan berdasarkan kelompok agama.
Kesepakatan ini mengukuhkan citra Lebanon sebagai negara yang plural dan toleran. Tak butuh waktu lama, Lebanon mentransformasikan dirinya sebagai ikon utama pluralisme di Timur Tengah. Menjadi kiblat liberalisme dunia Arab dan pelarian bagi warga tetangga yang terlalu mendapat banyak aturan di negara asalnya. Dibalik semua keberagaman itu semua Lebanon juga memiliki kekuatan ekonomi yang sangat stabil, menjadikan Lebanon tempat yang menjajikan untuk mengadu nasib bagi siapapun.
Namun, tak berlangsung lama. Pada dekade 60-an, kubu Muslim mulai tak puas dengan alokasi kekuasaan di parlemen. Tingginya angka kelahiran Muslim dan tingginya angka imigrasi dari penduduk Kristen harusnya membalik keadaan. Ditambah lahirnya Israel yang menempel di perbatasan selatan Lebanon yang membakar tak hanya situasi politik di Lebanon, tapi seantero Arab. Pengungsi dari Palestina membludak sampai ke Beirut, dan akhirnya memicu perang sipil pada tahun 1975—yang berakhir tahun 1990. Perang berakhir dalam satu perjanjian yang disebut Taif – nama kota tempat perjanjian ini ditandatangani di KSA.
Pasca perang yang berlangsung hampir 20 tahun, yang sebenarnya murni konflik politik antar partai, para pihak yang bertikai bersepakat satu sama lain. Mereka yang sering disebut sendiri oleh masyarakat lebanon sebagai mafia perang melangkahkan kakinya menuju pemerintahan dan memulai dominasi politiknya. Mereka yang sebelumnya menggunakan seragam milter kini duduk nyaman mengenakan jas di pemerintahan.
Ketika tampuk kekuasaan di tangan mereka, para elite politik ini mulai mengambil keuntungan dari sekte agama yang mengangkat mereka ke meja pemerintahan sebagai wakil, dan tidak banyak yang memiliki nyali untuk membicarakan atau mengkritiknya. Para elite sepakat untuk membagi setiap sektor yang ada di Lebanon guna dimonopoli, mendominasi industri tertentu tanpa persaingan. Pada akhirnya korupsi meluas, perpecahan di dalam dan di luar tubuh pemerintahan, ketegangan sekterian, ekonomi semakin merosot, fasilitas publik tidak efisien, dan pertengkaran elit politk dalam membuat keputusan tentang isu-isu yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan warga Lebanon sama sekali.
Singkatnya, keberagaman sekterian yang dibenturkan dengan kepentingan politik adalah kanker yang terus merambat dalam tubuh Lebanon.
Oleh:
Muhammad Bahesty dan Irfan Afendi; Kastrat PPI Lebanon 2018-2019
Ig: @ppi_lebanon @abahcomic @irfaanafendii
Tuesday, 4 July 2023
international women's day?
Zahra
thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...
-
thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...
-
I love you But not just that, i love the silence When you say no to me but you mean yes I love that few second of chance that you give me To...
-
The tale of a broken heart always has a purpose to shed tears down your eyes It is built above bitter memories which accommodate someones un...