Sunday, 19 July 2015

Tradisi Hari Raya

Gema takbir semalam tinggal mengisi lorong-lorong ingatan para pencari nafkah yang tidak mudik. Indonesia ini unik. Beragam tradisi mengisi berbagai keyakinan. Hebatnya manusia nusantara dulu membuat agama yang datang tunduk pada budaya setempat. Toleransi begitu tinggi dulu, lengkap dengan esensinya. Tonjolkan yang sama, semacam cari teman yang sama. Tanpa buang yang beda, hanya simpan untuk diri sendiri saja. Kini toleransi dan sahabatnya--intoleransi, kebanyakan hanya kue yang dinikmati ego. Lewatkan saja.

Jutaan pelancong melaksanakan "ritual mudik" yang jadi ibadah manis menjelang lebaran. Belanja baju dan hiasan tubuh baru. Dapur-dapur mulai berantakan oleh adonan tepung untuk hidangan para tamu. Sekitar seminggu menjelang Hari Raya, kesibukan demi tradisi meningkat sekaligus menurun bersamaan.

Mulai pagi sampai tengah hari, jalanan kota agak lengang dari kendaraan umum, begitulah pemandangan ibu kota Jakarta. Berawal dari lautan manusia berbaju putih, bersih, suci di halaman masjid-masjid megah, silau rasanya. Suasana senang-gembira tak bisa dibendung lagi.

Teks agama sih menafsirkan kesenangan pasca puasa ini akibat diri yang disucikan kembali. Setelah sebulan menahan diri dari ego perut, pikiran, dan hati, tubuh fisik dan meta dipastikan terasa ringan, dan itu pangkal kegembiraan. Mengagumkan rasanya melihat begitu banyak dan sesaknya suasana gembira yang diterbangkan ke langit oleh jemaah bebaju putih ini. 

Usai berputih-ria dengan halayak ramai, sekarang waktunya bercengkrama dengan keluarga. Silaturahmi habiskan jatah liburan yang fenomenal. Keliling ke rumah sana saudara dan kerabat dekat. Biasanya ini berlangsung dua-tiga hari, dilanjut hari keempat dengan rekreasi. Dompet anak-ponakan-cucu mendadak kembung saat itu. THR dimana-mana. Duit duit duit pokoknya yang ada di pikiran anak-anak kebanyakan.

Aduhai, indahnya tradisi. Mudik dengan segala pernak-perniknya jadi salah satu faktor penghambat kegilaan orang di tengah kesibukan metropolitan, begitu kata peneliti. 

Lebaran (bukan Idul Fitri) sudah mendarah daging. Bicarakannya akan melepas baju keyakinan dan kelompok. Karena momen ini dinikmati--hampir--seluruh manusia Indonesia. Dengan negara Muslim terbesar, hari raya Islam lah yang paling banyak dapat apresiasi. Lumayan, sesuai proporsi. 

Begitulah potret kecil negeriku ini yang kaya akan tradisi. Jika anda bukan warga negara sini tapi entah bagaimana baca ini tulisan, pasti akan atau pernah dan terus melihat hal serupa tiap tahunnya. Pokoknya kalau kemari pasang teve saja setelah terhitung 29 hari puasa, hasil sidang isbat penentuan awal bulan Syawal akan diumumkan pemerintah. Kalau mau cek media sosial, hari itu biasanya sekalian diramaikan perdebatan mereka yang memilih berbeda. Yah, itulah pemandangan hari Lebaran yang biasa disebut hari raya. Lengkap dengan para pencari nafkah yang tidak mudik, tidak beli baju baru, tidak liburan, tapi tetap kumpul saudara senasib. Mereka juga keliling, ke mobil-mobil saat macet berharap THR dari umat muslim--maupun tidak--yang kenyang kue lebaran. Paling tidak, siang itu dapet duit baru ketimbang receh kembalian minimarket.

Selamat Tradisi Hari Raya.

Kamis, 17 Juli 2015
Salam dari ibu Jan sama bapak Cuk - Senandung Hari Raya

2 comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...