Monday 19 February 2018

Valentine Bersama Martir

Hari itu valentine. ‘Entah kenapa’ aku malah mengunjungi pemakaman. Tempat tubuh para martir perang diabadikan lewat nisan dan pekarangan yang indah.


Sepi, bukan waktu ramainya memang. Berkat itu kehadiran seorang wanita muda dengan mudah mencuri perhatianku. Ia sendiri. Duduk di samping nisan, mematung dengan setangkai mawar di tangannya. Tak ada suara doa yang terdengar, bahkan mulut pun tak bergumam. Terlihat matanya memandang foto martir makam itu.



Luka Mimpi

Lubang hitam itu menjadi satu-satunya mimpi yang kurasakan. Baik dikala mata terpejam maupun melek di siang bolong.

Pasung keinginan, begitu aku terus memujinya. Pujian yang lahir dari tumpukan kutukan.

Aku ingin begini, aku ingin begitu, bernyanyi seperti lagu pembuka anime Doraemon.

Suasana Pagi Condet

Kulihat masyarakat begitu antusias pada pagi hari, berusaha bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan. Supir angkot dengan wajah lesunya, ibu-ibu dengan anaknya yang mungil menuju pasar, pembersih lingkungan mulai menyapu ditengah-tengah jalan, para pedagang dengan rokok terselip disela-sela jari tangan, sembari menunggu pembeli datang.

Semuanya bersama satu kesatuan, bersosialisasi sebenar-benarnya, tanpa hape tanpa media sosial. Tawa riang, kadang sampai berkeringat antar sesama pejuang. Laki dan wanita membaur tanpa mempedulikan usia, menanyakan kabar keluarga, penghasilan sebelumnya, tagihan air, listrik, dan kebutuhan lainnya. Hidup mereka hidup sebagaimana harusnya, nyata di depan mata, walau raga kadang tak berdaya, namun dipaksakan seperti sediakala.

Sunday 18 February 2018

The Bohemian, and The Money

The Bohemian. Tulisan itu menyala dengan lampu tali berwarna kuning.

Malam akhir pekan ini bangku-bangku banyak yang kosong. Sebabnya adalah musim dingin. Orang-orang lebih suka dikelonin.

Duduk sendirian di bawah temaram lampu bohlam; agak hangat setelah menenggak segelas anggur. Beban pikiran membuatnya tertunduk sejak awal.

Thursday 15 February 2018

Valentine-ku

The most beautiful word on the lips of mankind is the word “Mother,” and the most beautiful call is the call of “My mother.” (Lalu deskripsi menggunakan seisi dunia tentang sosok ibu) –Khalil Gibran

Dulu pernah ada tantangan. Waktu masih menjadi calon kadet wartawan, untuk menulis tentang sosok ibu. Untuk membuat pembacanya, merasa kurang membalas kebaikan ibunya; membuat yang baca ingin menelepon ibunya; membuat mereka yang merantau mendadak galau dan nangis mengingat ibunya; dan seterusnya, dan seterusnya.

Aku lupa sudah apa yang kutulis. Tapi, kami (aku tak sendirian) gagal, itu yang kuingat. Gagal maksudnya redaktur tak puas.

Bos meminta kita menulis sesuatu yang memantik rasa. Bukan deskripsi tentang ibu sedang apa, dia suka apa, dia bagaimana. “Cukup satu kalimat atau paragraf yang buat pembaca menyadari hal besar dalam sosok ibu, lewat hal-hal unnoticed darinya.” Begitulah kura-kura.

Kemarin, ketika kelas lagi-lagi gagal menjaga pikiranku, aku ingat ibu dan menulis:

Aku duduk di samping-mu. Lalu merebahkan kepalaku di pangkuan-mu yang sedang menonton TV. Saat itu, dan hanya saat itu, aku benar-benar berkata: Persetan kau dunia.

Untuk Valentine-ku, ibu.

__________

Kamis Pagi, 15 Feb

Sunday 11 February 2018

Ali Syariati dan Qurban

Siapa tak kenal Ali Syariati?  ((Banyak))   Filsuf sekaligus Sosiolog Agama asal Iran ini sangat akrab di telinga pemikir terutama mahasiswa. Ide-idenya seputar revolusi, kemanusiaan, permasalahan sosial, bahkan agama sekalipun cukup terkenal karena gaya tulisannya yang mengajak orang untuk berpikir.

[caption id="attachment_279" align="aligncenter" width="300"] Dari Google[/caption]

Sejak kecil, Syariati menjadi penggemar sastra di bawah bimbingan ayahnya. Selepas SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Masyhad pada tahun 1955. Berkat prestasinya ia mendapat beasiswa melanjutkan studi ke Paris, Perancis. Di Paris inilah awal kisah yang menjadikannya Syariati yang kita kenal sekarang. Syariati berkenalan dengan karya-karya dan gagasan-gagasan baru yang mencerahkan serta mempengaruhi pandangan hidup dan wawasannya mengenai dunia.

Kontra-diksi: Sebuah Bacotan

Meminjam perkataan Jon Snow: kita semua adalah anak kecil dalam sebuah permainan dan saling berteriak, aturan mainnya gak adil!

Mengambil posisi akan membuat kita berhadapan dengan posisi yang lain. Sejauh ini, hanya keterbatasan dunialah penjelasan paling logis.

Habis Baca Dilan: Sebuah Nonsense

[caption id="attachment_271" align="aligncenter" width="300"] Foto: Bedah buku “Dialog 100” oleh komunitas Jakatarub di Univ. Parahyangan, Bandung (sekitaran 2014). Buku yang bercerita tentang 100 kisah nyata toleransi. Benar-benar tidak ada hubungannya dengan tulisan ini. Kecuali keberadaan Pidi Baiq sebagai pembedah buku saat itu.[/caption]

Kawan saya si Syam-Menyeduh baru saja memposting curhatannya. Ia baru baca Dilan-nya Pidi Baiq di tengah pusaran angin topan ujian yang tak tahu diri dan maha tidak penting. Yah, saya pun baca, itu Dilan. Dapet linknya dari dia. Dan, inilah yang aku pikirkan.

///

Kisah-kisah Dilan dan Milea yang diolah jadi novel oleh Pidi Baiq membuatku tersadar, bahwa masa lalu yang diingat, punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar sesuatu sambil tertawa dan geleng-geleng kepala; bahkan ketika pelajaran itu nyatanya pahit!

Wednesday 7 February 2018

Tentang lukaku, habis kena peluru

Mungkin untuk orang Indonesia, punya luka bekas peluru adalah sesuatu yang jarang. Wajar jika dibanggakan, negeri kita adem-ayem sejak 98. Masa reformasi pun beda dengan peperangan. Tetap jarang yang pernah kontak langsung dengan senjata.

Tapi, kalau tahu ceritanya si Omat, kekerenan bekas luka di lehernya akan hilang seketika.

Ia tertembak di Lebanon. Bukan karena hadir di medan perang, apalagi karena ikut membela Palestina, tapi sedang nonton parade.

Tuesday 6 February 2018

Kesaksian Pengungsi

Bahkan kabar yang kita sebut propaganda takfiri pun tak selalu datang dari luar.

Di Suriah, tak sedikit masyarakatnya sendiri yang tak terlibat perang tapi berpikiran oposisi. Mereka sedikit banyak mengabarkan hal yang sama seperti yang dipercaya kebanyakan orang di Indonesia.

Saya bertanya pada seorang teman asal Damaskus. Sebelumnya ia sudah mengenalkan posisinya: bersama Assad dengan alasan yang cukup logis. Dengan melihat sejarah dan kondisi geopolitik secara luas. Ia berkata, "Assad bukan orang yang super baik dan benar, tapi dia terbaik diantara semua yang kita miliki saat ini".

Setelah berita bebasnya Aleppo mencuat, saya mendatanginya dan mengucap selamat. Ia tersenyum.

Lalu saya teringat seorang lain yang juga berasal dari Suriah. Ia bekerja di Lebanon untuk menghidupi keluarga di Suriah. Ia oposisi. Begitu ditanya soal kondisi negaranya, ia menceritakan soal pembantaian dsb. Persis seperti yang dipercaya kebanyakan Muslim Indonesia.

Sebelah Mata: Mabuk Konflik

Setelah krisis figur pemerintah selama bertahun-tahun, Indonesia kini digadang-gadang dapat angin segar. Sinisme dan rasa muak, jijik, dan lelah terhadap pemerintah lama yang impoten membuat gairah si seksi Jokowi bikin masyarakat mendadak orgasme.

Dulu Indonesia seperti orang setengah tidur, sehingga setetes air cukup membuatnya melompat kaget.

Jokowi harus berterima kasih pada estafet pemerintah sebelumnya. Dosa mereka membuatnya terlihat suci hanya dengan sedikit gaya, visi, dan cara kerja yang berbeda.

Dan masyarakat harus lebih waspada. Sebab sakit hati terhadap pendahulu bisa membuat kita jatuh cinta pada sosok baru yang bertentangan. Kita harus sadar bahwa hubungan rakyat dengan pemerintah layaknya pelayan dan majikan. Bukan pacaran.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...