Tuesday 20 October 2015

Logika Logila

Ketika dipisahkan nama besar keluarga, Qais mengambil jalan Majnun dan Layla ingin jadi perawan tua. Meski dihina dan jadi lelucon, syair Majnun tetap mengudara dan terus dihirup Layla yang abaikan sarapannya. Ketika keluarga tak lagi jadi selimut yang lembut, Majnun tanggalkan pakaian dunia dan Layla pun menolak sentuhan suami yang menyayanginya. Ketika manusia tak lebih mengerti Majnun ketimbang para binatang, Layla pun menenggak rasa sakit dalam sangkarnya. Ketika kabar tak kunjung datang, Majnun pun tahu bahwa Layla sudah matang dibuat Sang Cinta. Ketika Majnun membawa sisa napas terakhirnya, hangat tubuh Layla sudah meninggalkan nisannya. Kini, dua telah menjadi Satu dengan Satu-Satunya restu di alam yang hanya Satu.

Dahulu di zaman Saddam bertahta, tangan peziarah adalah tiket yang harus dibayarkan demi hirup aroma makam yang suci. Seorang ibu yang terlihat lemah oleh rindu, datang menghadap tentara penjagal para tangan. "Kau sudah tahu aturannya, untuk masuk kau harus serahkan tanganmu!", "Ya," jawab sang ibu. "Kalau begitu, ulurkan tangan kananmu!" ibu diam. "Mana tanganmu?!" masih diam. Sinar matahari menyaksikan jubah yang tersingkap, memperlihatkan lengan kanan tanpa tangan. "Bagian kananku sudah kuserahkan tahun lalu," ia ulurkan tangan kirinya dan melangkah masuk. Kecupan hangat berbekas di jeruji makam Sang Pangeran. Mengundang bidadari panaskan air matanya sambil menyusun pondasi kebangkitan. Dengan senyum yang tersirat Sang Ibu melangkah pulang dengan bibit kemenangan. "Tidak kulihat selain keindahan," gumamnya.

Di masa romawi dan persia masih berdiri dengan gagahnya, Imam yang bijak diseru bangkitkan sepetak haknya. "Anda punya ribuan pengikut yang siap angkat senjata dan nyawa demi seruanmu, wahai Imam," kata seorang pengikutnya. Hanya dengan "Duduklah," Imam menjawab. Seorang budak Imam pun datang. Tanpa salam dan kalam, Imam berkata padanya, "Hai kau pecinta, duduklah di perapian itu!" menunjuk sudut berbara menyala. Juga tak bersalam dan kalam, ia duduk dengan sigap di atas batu api. Mereka yang bersemangat bangkit demi hak Imam tecengang. "Hai kau sang penyeru apa yang jadi hakku, berikan aku lima saja, orang yang matanya hanya melihat Aku, mulutnya hanya mengucap Aku, zirahnya adalah restu-Ku, dan senjatanya hanya kecintaan pada-Ku, seperti dia yang melihat api bukan sebagai panas, tapi permadani tempat Aku menjamunya, maka singgasana dunia yang angkuh itu akan ku tumbangkan!". Dijawabnya, "Takku temukan seorangpun sepertinya,". Air mata Sang Imam pun basahi senyumnya.

Ingat, piagam pengorbanan hanya diberikan oleh mereka yang berdiri di luar lingkaran pengalaman. Hasrat menghukumi selalu memberi mereka rasa tanggung jawab untuk menobatkan gelar "berkorban". Dari lingkaran ketidak masuk akalan manusia berdasi, di mana kita berdiri? Haruskah kita me-label-i? Atau lebih memilih mengalami? Rasakan sendiri.

"Cinta adalah penyakit, yang si pengidap meminta ditambah penyakitnya," Sang Imam.

Imajinasiku sendiri
20 sepuluh 2000 15

Monday 19 October 2015

Tentang Sepasang Korek Api

Gelap, gelap. Awalnya. Namun, ketika dua batang korek api dibangunkan dari petinya, terbakarlah mereka, menyatu dalam panasnya api cinta. Dua yang terpisah, kini menyatu dalam redupnya cahaya. Pada gilirannya, kedua batang akan habis. Habis, terbakar api cintanya sendiri. Kehabisan diri ini, bukan 'kesudahan', atau 'keterpisahan', tapi 'kebersatuan', dalam heningnya gelap dan asap. Sudah tak perlu api lagi, melebur dalam udara yang tak terasa. Haha, untuk apa lagi merasa kawan? Aku adalah angin yang memadamkan api-api itu sekarang.
"Kapan pun saat 'mati' itu datang, aku ingin berada di ujung batang yang paling akhir," karena hanya dengan melihatmu 'mati', aku bisa 'mati'.

Demikian filosofi korek yang terbakar. Terbakar api cinta. Api cinta yang redup.

Kenapa bukan kita? Karena aku menyebutmu Aku, dan kamupun menyebutku Aku. Sebaliknya, kita hanya menyisakan sedikit jarak antara Aku dan Kamu. Sudahlah, filosofi Aku jauh hari sudah dibahas di ruang kelas. Kini, Aku juga ikut memahami. Mari tenggelam dalam lautan Aku.

Seketika riuh bobotoh tak terdengar lagi.

alehabsyee.blogspot.com
Fajar, 19 Oktober 20**

Wednesday 30 September 2015

Gaada arti

Rasa ingin menghancurkanmu, seperti balon yang dipecahkan udara. Balon itu tidak lenyap, hanya menjadi dirinya yang lain, udara yang tak berbentuk bulat.

Manusia sadar dirinya terbatas, maka terus ia usaha tuk lampaui batas. Bahkan dia sadar dia bukan dirinya, maka ia terus berusaha jadi dirinya. Hasilnya? Ia berubah. Tetap jadi dia, hanya dalam bentuk yang berbeda. Tidak lenyap, namun tak terlihat. Dan, bayangkan rasanya pecah seperti balon.

Para kakek berjanggut putih se-perut itu berkata, "Kau dilahirkan dengan sayap. Jangan belajar untuk berjalan, cobalah untuk terbang." Ku jawab, "Takkan ku tinggalkan tanah ini tanpa kehadirannya." 

Merpati pun hanya menaruh sarangnya di tanah. Tidak menghiraukan lembutnya awan untuk telur kecintaan. Bagaimana mungkin kutinggalkan singgasana Adam, tanpa lambaian tangan Hawa? 

Majnun menjadi Qais, tanpa tatapan Layla di hari pertama. Namun, Layla menulis ulang harinya, sehingga takkan pernah datang yang kedua. Hingga tulang belulang Majnun memeluk nisan Layla, semua adalah hari pertama. 

Balon sudah pecah. Adam sudah punah. Qais tinggal cerita. Dan manusia adalah fana. Sebuah fana, yang merasa nyata. Hayalan mata, berpikir ada di sana. Dan akal, yang bicara soal rasa. 

Akhirnya, hanya senyum yang berkata, "haha". Akhirnya, mata terpejam yang yang nyanyikan lagu nestapa. Akhirnya, aku tersenyum sambil terpejam, mengucap "haha", dengan gelengan kepala.
(0:51) 30 Sept 2015

Tuesday 15 September 2015

Luna, Citizen yang Ingin Naik Haji

"Luna mau jadi tentara kak, banyak uangnya, bisa buat ngasih ibu sama nenek," katanya tanpa sendal. Bungkus tisu bertumpuk di sebelahnya. "Tisu kamu laku hari ini?", "Gak kak, pada bilang udah punya, katanya. Iyasih, mereka punya uang, bisa beli apa aja," Luna senang betul tulis-tulis di buku barunya, aku tak ditengok. 

"Selain itu mau jadi apalagi Luna?", "Mau jadi bu haji, hehe" katanya cengengesan. Anginnya sepoi, tapi terdengar keras di kepalaku. Pohon-pohon di pekarangan mesjid megah ini malambai lemas tapi seperti dilanda topan dalam benakku. Jawaban Luna membuat hati terbelalak, tiba-tiba seperti hadir di satu sudut kota suci. Pindah realita, seperti ketika The Giver membagi kenangannya dengan Jonas lewat satu sentuhan tangan saja. 

Orang-orang berkerumun di reruntuhan. Satu-satu sibuk panggil bantuan. Darah mengalir ikut aliran hujan. Dinosaurus milenium itu tumbang dan menimpa para peziarah. Aku melihat dari kejauhan, masih kebingungan. Sungguh, tidak pernah kulihat ekspresi sejujur saat itu. Orang-orang yang mungkin menanam benih kepedulian dalam dirinya kini memanen buahnya. Lewat kerut dahi, teriakan rahang menganga, urat leher yang ikut asik menarik bebatuan dari tubuh yang bergelimpangan. Bantuan juga diminta pada Sang Tuhan yang entah dimana itu, oleh mereka yang berteriak dengan mantra-mantra di sekitaran reruntuhan yang memberhalakan dirinya. 

Getaran gadget di kantong pecahkan lamunanku. Pemberitahuan dari dunia lain rupanya lebih ramai dari suara badai di sini. Satu-persatu manusia dunia angka menyuarakan simpati dan doa digitalnya pada korban di depan mataku. Lebih keras dan lantang dari teriakan kuli dadakan di sini. 

Perlahan tapi pasti, foto dan video kejadian mulai beredar bersama telunjuk yang mulai menuding. Arahnya macam-macam. Dari barat hingga timur, dari raja hingga ayah di negeri sendiri. Angin pun tertawa oleh lelucon emosional manusia. 

Memang, tidak hanya eksodus pengungsi yang menggetarkan hati, transmigrasi para citizen menuju netizen juga membuat hape ku lebih sering bergetar dan lebih keras. Masyarakat memulai peradaban baru dengan listrik sebagai sumber kehidupan primernya. Bahkan aktifis kece selevel Rachel Corrie dan Arthur Gish kini lahir lagi dalam bentuk "like" and "share". Sayangnya, perut keroncongan kolong jembatan tak sempat update status dan doa digital dulu sebelum sekarat, jadi tak sempat buka lowongan jadi aktifis yang goes viral.

Walah, suasana dunia sini dan sana membuatku bingung dan ingin pergi saja. Sampai keluar mesjid, kakiku tersandung dan menjatuhkan tubuhku. Rupanya seorang kakek bertopi dan pakaian lusuh--sama tidak pakai sendalnya dengan Luna--meringkuk bersandar pada tembok putih istana Allah. Basah kuyup diterpa amukan angin yang membawa amunisi hujan. Tak seorangpum berhenti dan menengok meski sesaat ketika berlari menuju reruntuhan. Tatapan cengangku membuatnya sadar akan keberadaanku. Memerhatikan sejenak, lalu ia keluarkan kumpulan kertas pemberian peziarah yang didekapnya sedari hujan. Tertulis di sana kalimat dari berbagai bahasa yang tak kukenal. Eh, ada bahasaku di pojokan. Ukurannya lebih besar dari yang lain. Tertulis dan terbaca seperti doa, "Aku ingin haji..."

Goncangan lengan Luna membangunkan lamunan hayalku. "Udah nih kak," susah payah dia menulis cita-citanya di selembar kertas. "Saya Luna, saya mau jadi tentara," katanya. Tulisannya lebih bagus dariku, ehe.

"Kamu jadi bu hajinya jangan sekarang ya," kataku sambil menatap tulisan kecilnya. 

"Iyalah kak, nanti pas udah gede," jawabnya disambut lega napasku.

Ku ambil foto ia yang malu-malu bersama tulisannya, dan melangkah pamit. "Ingat namaku ya kak," sarannya. "Hati-hati kak!" lambainya menyampaikan senyum Tuhan dengan sepoi yang menenangkan.

Cyber war mattamu!
15 September 2015. 3:30.

Sunday 19 July 2015

Tradisi Hari Raya

Gema takbir semalam tinggal mengisi lorong-lorong ingatan para pencari nafkah yang tidak mudik. Indonesia ini unik. Beragam tradisi mengisi berbagai keyakinan. Hebatnya manusia nusantara dulu membuat agama yang datang tunduk pada budaya setempat. Toleransi begitu tinggi dulu, lengkap dengan esensinya. Tonjolkan yang sama, semacam cari teman yang sama. Tanpa buang yang beda, hanya simpan untuk diri sendiri saja. Kini toleransi dan sahabatnya--intoleransi, kebanyakan hanya kue yang dinikmati ego. Lewatkan saja.

Jutaan pelancong melaksanakan "ritual mudik" yang jadi ibadah manis menjelang lebaran. Belanja baju dan hiasan tubuh baru. Dapur-dapur mulai berantakan oleh adonan tepung untuk hidangan para tamu. Sekitar seminggu menjelang Hari Raya, kesibukan demi tradisi meningkat sekaligus menurun bersamaan.

Mulai pagi sampai tengah hari, jalanan kota agak lengang dari kendaraan umum, begitulah pemandangan ibu kota Jakarta. Berawal dari lautan manusia berbaju putih, bersih, suci di halaman masjid-masjid megah, silau rasanya. Suasana senang-gembira tak bisa dibendung lagi.

Teks agama sih menafsirkan kesenangan pasca puasa ini akibat diri yang disucikan kembali. Setelah sebulan menahan diri dari ego perut, pikiran, dan hati, tubuh fisik dan meta dipastikan terasa ringan, dan itu pangkal kegembiraan. Mengagumkan rasanya melihat begitu banyak dan sesaknya suasana gembira yang diterbangkan ke langit oleh jemaah bebaju putih ini. 

Usai berputih-ria dengan halayak ramai, sekarang waktunya bercengkrama dengan keluarga. Silaturahmi habiskan jatah liburan yang fenomenal. Keliling ke rumah sana saudara dan kerabat dekat. Biasanya ini berlangsung dua-tiga hari, dilanjut hari keempat dengan rekreasi. Dompet anak-ponakan-cucu mendadak kembung saat itu. THR dimana-mana. Duit duit duit pokoknya yang ada di pikiran anak-anak kebanyakan.

Aduhai, indahnya tradisi. Mudik dengan segala pernak-perniknya jadi salah satu faktor penghambat kegilaan orang di tengah kesibukan metropolitan, begitu kata peneliti. 

Lebaran (bukan Idul Fitri) sudah mendarah daging. Bicarakannya akan melepas baju keyakinan dan kelompok. Karena momen ini dinikmati--hampir--seluruh manusia Indonesia. Dengan negara Muslim terbesar, hari raya Islam lah yang paling banyak dapat apresiasi. Lumayan, sesuai proporsi. 

Begitulah potret kecil negeriku ini yang kaya akan tradisi. Jika anda bukan warga negara sini tapi entah bagaimana baca ini tulisan, pasti akan atau pernah dan terus melihat hal serupa tiap tahunnya. Pokoknya kalau kemari pasang teve saja setelah terhitung 29 hari puasa, hasil sidang isbat penentuan awal bulan Syawal akan diumumkan pemerintah. Kalau mau cek media sosial, hari itu biasanya sekalian diramaikan perdebatan mereka yang memilih berbeda. Yah, itulah pemandangan hari Lebaran yang biasa disebut hari raya. Lengkap dengan para pencari nafkah yang tidak mudik, tidak beli baju baru, tidak liburan, tapi tetap kumpul saudara senasib. Mereka juga keliling, ke mobil-mobil saat macet berharap THR dari umat muslim--maupun tidak--yang kenyang kue lebaran. Paling tidak, siang itu dapet duit baru ketimbang receh kembalian minimarket.

Selamat Tradisi Hari Raya.

Kamis, 17 Juli 2015
Salam dari ibu Jan sama bapak Cuk - Senandung Hari Raya

Friday 3 July 2015

Bahasa yang Terlupakan

Ada yang namanya bahasa universal. Sebuah bahasa yang kata-nya abstrak dan tak ada satandarnya kaya di kamus. Salah satunya air mata. Tak perlu satu kewarganegaraan atau satu keluarga untuk tahu apa yang dirasakan--bahkan dialami--mereka yang meneteskan air mata. Cukup melihatnya atau mendengar isak tangis, kita paham situasinya, bahkan kejadiannya. 

Lain lagi bahasa antusiasme. Dalam sebuah kelompok dengan satu pemimpin, hasrat dan semangat pemimpin sangat berpotensi mempengaruhi yang lain. Sebenarnya tak hanya ketua, tapi pemimpin aslinya punya pengaruh lebih besar dari yang lain. Siapa yang betah dengan mobil yang sopirnya terus mengeluh soal kemana mereka akan pergi? Sebaliknya, malas dan jenuh bisa dibunuh dengan cerita dan cara si sopir mengedarai mobil menuju tujuan. Dalam medan perang, teriakan panglima akan membawa pedang prajurit mengayun dengan mantap.

Setelah perang Iran-Irak selama delapan tahun dan berakhir dengan genjatan senjata, banjir kritik menimpa pemimpin tertinggi Iran kala itu, Ayatullah Khomeini. Dari dalam dan luar negeri, seakan bertanya, "Kenapa mempertahankan perang dan perbatasan untuk sebuah genjatan senjata? Kau mengorbankan nyawa ribuan orang!". Merespon ini, seorang cendikiawan Muslim asal India menuliskan dukungannya pada Khomeini. "Langkah Khomeini sungguh tepat dalam menyapa pasukan Irak--bersama pendukung logistiknya dari Eropa, Amerika, dan Israel. Lewat perlawanan prajurit Iran selama delapan tahun tanpa kekalahan, Khomeini ingin berpesan pada penguasa dunia bahwa, tentara barat yang mengantongi foto pacarnya berbikini sama sekali bukan tandingan tentara Islam, yang mengantongi duplikat Quran, dan merindukan kematian" katanya.

Seorang yang mengaku anak punk berkata pada saya, "Punk yang di jalanan itu sebenarnya bukan sekedar gaya-gayaan. Mereka ngecat rambut, hidup di jalanan, menarik perhatian sebenarnya berusaha menyampaikan pesan pada pemerintah dan orang-orang agar memalingkan pandangannya melihat ada apa di jalanan, bahwa negeri kita ini lagi sakit!".

Bahasa adalah perantara kita untuk memahami sesuatu. Di sini, di tempat kita hidup, banyak bahasa yang tak menggunakan kata-kata. Menuntun kita untuk memahami sesuatu dan segalanya, tak hanya sekedar tahu. Sadar-tak sadar kita sering menggunakannya. Hanya, sedikit yang peduli.

Ditariknya fokus dan perhatian kita ke hal-hal kecil bahkan ke rangkaian kata di kitab dan buku pelajaran membuat rasa yang mengilhami tindakan, sedikit-sedikit pudar. Kita dibuat sibuk dengan hal-hal yang tak nyata dan rekayasa. Uang, jabatan, trend, pekerjaan, ijasah, nilai, dsb mengalihkan kita dari hidup untuk sekarang. Hidup untuk saat ini, di sini.

Ada sebuah mega proyek dunia untuk memisahkan manusia dari bahasa dunia. Membuat kita merasa puas dengan capaian-capaian materialistik seperti deretan angka dan tanda tangan di selembar kertas. Memisahkan manusia dari suara-suara Tuhan yang tak tersentuh kata-kata. Ini membelokan tujuan penciptaan khalifah di bumi, dari menjadi Manusia seutuhnya jadi robot tak berperasaan. Tak salah jika menyebutnya skenario Iblis dalam persaingannya dengan Tuhan.

Bahkan Nabi Muhammad pun tak membaca buku untuk jadi selevel nabi. Ia pergi ke gua dan mengenal Tuhan lewat suara hewan melata di padang pasir. Suara kepakan sayap burung pemakan bangkai di angkasa. Desis semilir angin yang mengantarkan doa. Lewat degup jantungnya yang memompa darah ke seluruh tubuh. Dengan suara gemuruh lambungnya yang kelaparan. Dalam keheningan mulut, ia mendengar Tuhannya.

Jadi, keluar lah. Keluar dari ruangang persegi kelas. Keluar dari rutinitas yang menggilas. Buka lebar-lebar gerbang rumahmu dan menengoklah. Tengok kanan-kiri, kau akan lihat jalanan beraspal yang kasar. Lalu, menangislah. Biarkan air matamu membasahi jalanan sampai licin. Berselancar lah mengikuti aliran air matamu yang mengalir ketempat yang lebih rendah dari gedung-gedung tinggi. Tempat Tuhan merajut Makna-Nya bersama orang-orang yang disebut kecil.

Note: kutipan orang mengalami sedikit modifikasi untuk menyesuaikan diri dengan irama tulisan.

13 September 2015

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...