Gelap, gelap. Awalnya. Namun, ketika dua batang korek api dibangunkan dari petinya, terbakarlah mereka, menyatu dalam panasnya api cinta. Dua yang terpisah, kini menyatu dalam redupnya cahaya. Pada gilirannya, kedua batang akan habis. Habis, terbakar api cintanya sendiri. Kehabisan diri ini, bukan 'kesudahan', atau 'keterpisahan', tapi 'kebersatuan', dalam heningnya gelap dan asap. Sudah tak perlu api lagi, melebur dalam udara yang tak terasa. Haha, untuk apa lagi merasa kawan? Aku adalah angin yang memadamkan api-api itu sekarang.
"Kapan pun saat 'mati' itu datang, aku ingin berada di ujung batang yang paling akhir," karena hanya dengan melihatmu 'mati', aku bisa 'mati'.
Demikian filosofi korek yang terbakar. Terbakar api cinta. Api cinta yang redup.
Kenapa bukan kita? Karena aku menyebutmu Aku, dan kamupun menyebutku Aku. Sebaliknya, kita hanya menyisakan sedikit jarak antara Aku dan Kamu. Sudahlah, filosofi Aku jauh hari sudah dibahas di ruang kelas. Kini, Aku juga ikut memahami. Mari tenggelam dalam lautan Aku.
Seketika riuh bobotoh tak terdengar lagi.
alehabsyee.blogspot.com
Fajar, 19 Oktober 20**
No comments:
Post a Comment