Monday 21 June 2021

zaztrawan

Semuanya tidak ada yang benar-benar berpisah, kan?

Kita merindukan ia yang pergi

Mengenang masa lalu dan ingin mengulanginya lagi

Merangkak di atas setiap ingatan seperti bayi

Tertawa, tersenyum, merenung, menangis

 

Semuanya tidak ada yang benar-benar berpisah, kan?

Meski pertemuan tak akan terjadi lagi

Namun ia mendatangimu dalam setiap mimpi

Dalam setiap lamunan di siang hari

Dalam setiap obrolan dengan kawan-kawan saat ini

 

Semuanya tidak ada yang benar-benar berpisah, kan?

Kita berpikir ini waktunya pergi

Tidak ada lagi nilai dalam hubungan yang terus dipertahankan

Namun dalam sepersekian detika ia berpaling pergi

Dan menemukan jalannya sendiri lagi

Kita menyadari betapa kita menginginkannya sehidup semati

Tanpa sedikitpun memerdulikan soal kemungkinan-kemungkinan

Tanpa sedikitpun memerhatikan apakah kebersamaan ini bernilai atau tidak

 

Semuanya tidak ada yang benar-benar berpisah, kan?

Bahkan dalam permusuhan paling epik dalam sejarah

Dua pihak yang saling berhadapan hanya aka berhadapan karena dua ideologi yang saling terikat

Terikat dalam perbedaan yang fatal

Terikat dalam dua hal berbeda namun slaing bertabrakan

Maka permusuhan sejatinya adalah pertemanan

Yang diwarnai kemarahan alih-alih kehangatan

 

Semuanya tidak ada yang benar-benar berpisah, kan?

Bahkan kematian sepertinya tak benar-benar memisahkan

Jika orang melihat kematian sebagai mimpi buruk keharmonisan

Sejatinya kematian justru menyatukan yang terpisah

Menyatukan yang lupa agar mengingat

Mengubah kekesalan jadi kerinduan

Kesibukan jadi waktu yang didedikasikan

Pertemuan terencana

Menjadi kehadiran tanpa jeda

Dalam hati para pecinta

 

in memoriam, naqib musawa

Senin, 21/06/2021 (H+3)

Thursday 10 June 2021

Jika mereka peduli, lalu kau apa?

Di bawah terik bulan yang membakar hati kesepian

Gelapnya malam harusnya menyelimuti para penyair dengan hangatnya keterasingan

Namun pantulan sinar matahari yang ragu-ragu

Justru membuka ruang para serigala menerkam rasa sepi dengan tatapan yang buas

 

Kita adalah anak-anak waktu yang durhaka

Melawan takdir dan maju mundur

Dari masa depan ke masa lalu

Tanpa rasa malu

 

Kita adalah hamba-hamba yang memberontak

Di hadapan petunjuk yang jelas kita menulis ulang setiap aturan

Berasaskan prasangka, hitungan matematika, logika yang tak sempurna

Lalu kepada Sang Tuan kita menghadap

Berdiri, tidak berlutut

Memandang tajam ke depan, tidak menunduk

Berjabat tangan dengan tegas seakan semuanya setara

Rerumputan tertawa melihat tingkah yang tak ada kasta

Betapa setiap otak diracuni kesombongan zaman dan peradaban

 

Kita budak-budak nafsu yang cemburu

Kecemburuan yang menyelimuti dirinya dengan jubah rasa

Bahwa rasa adalah anugera dan sebuah petunjuk yang agung

Tidak perlu diragukan lagi

Namun apakah setiap orang memilikinya?

Juga tak perlu diragukan bahwa jawabannya tidak

Setiap rasa menuntun kita pada jalan halus kemurnian dan wewangian

Bukan ke medan perang dan tempat pembuangan kotoran

Kotoran manusia yaitu benci, serakah, dengki, dan kesombongan

 

Kita anak-anak bodoh yang menolak untuk keluar dari gubuk kecil kedunguan

Gubuk yang temboknya dianyam kata-kata manis para durjana

Durjana yang mengoreksi setiap ayat dari pesan Tuhan kepada Nabinya

Durjana yang memenggal kepala para pecinta dengan  hati yang indah

Durjana yang membungkam mulut-mulut penyair agar tak lagi menyanyikan Nama-Nya

Durjana yang memenjarakan manusia dalam lingkaran setan kebudayaan dan norma-norma tak berhati

Durjanana yang berdiri di atas mayat-mayat intelektual dengan panji kebenaran parsial di tangannya

Ah… habis kata-kataku dicuri para durjana

 

Tak lagi aku bias membaca keadaan yang makin runyam dan bising

Hilang sudah harapan sebuah negara yang harmonis tempat kijang makan dengan tenang di samping serigala

Hilang sudah masa depan anak bangsa

Apa yang disebut dosa kini sebuah rekreasi

Tempat mereka yang terasing dan dibuang mendapat peluk kasih sayang


Tuan, kalau boleh aku bertanya

Apakah dibenarkan, aku bersimpuh tanpa sepotong baju di tubuhku?

Sebab semua hak milikku dirampas mereka yang peduli padaku

Jika kepedulian mereka berwujud perampasan

Maka apa sebutan yang tepat bagi aksimu

Yang sejak awal memberikan semuanya?

 

//10/06/2021

Saturday 1 May 2021

Aku tak paham bahasamu

Tubuh ini rata bagai aspal. Aku berbaring dan diratakan oleh tekanan yang yang tak terlihat, seperti sedang ngecat tembok saja. Di atasnya dua bola kecil yang terhubung ssebuah garis solid berputar, mengingatkanku pada atom.

Dengan perasaan visual itu, aku terpejam dan tak ada energi selain di kepala. Daya di sekujur tubuh berlari perlahan dari bawah ke atas, dan berkumpul di kepala, otak. Tidak ada pusing yang terasa, hanya denyut energi yang jelas terasa menggumpal di pusat kepala.

Dengan sensai visual itu, aku merasa telanjang. Telanjang dan lemah. Anehnya, meski nyatanya dalam keadaan berpakaian rapi, aku merasa telanjang. Namun meski perasaan itu lebih nyata dari pakaian yang secara sadar masih kupakai dan terasa menyentuh kulit, aku tak malu. Mungkin, masih mungkin, karena saat itu ketelanjangan ini hanya aku hadapkan pada Tuhan yang kutahu tak bermata. Di saat itu, ketelanjangan ini tak membuatku malu, hanya membuatku lebih jujur pada-Nya.

Momen seperti itu sering muncul namun baru pertama kali aku merasakannya senyata malam ini. Seperti biasa, dunia dan kehidupan adalah pemantiknya. Tapi bukan sekedar karena aku ada di dunia dan masih hidup, tapi lebih karena aku benar-benar tertarik gravitasi segala yang ada di dalamnya sampai tercipta jarak antara aku dan Dia yang Entah Siapa.

Dalam keadaan telentang, dan perasaan telanjang dan gepeng, aku berkeluh kesah. Meminta maaf dan marah. Menuntut dan pasrah.

“Aku tak paham bahasa sholat, bahasa ibadah. Aku tak paham bahasa yang digunakan setiap orang disekitarku. Yang kutahu, sekarang kau mendengarku. Apakah ini hukuman? Apakah ini tanda bahwa kau telah berpaling dariku?”

Aku berusaha yakin kau mendengarkan namun tak mendapat kepastian. Untuk membuktikan aku tak mampu. Apakah keyakinan harus dibuktikan? Mungkin tidak perlu. Lalu bagaimana dengan kesadaran bahwa “aku tidak tahu” yang bersanding sejajar dengan keyakinan di hatiku?

Tuesday 16 March 2021

Anak-anak Prasangka


Api kemarahan selalu gagal menghanguskan kesadaranku. Sebagai keturunan Ibrahim aku melangkah di atas kayu bakar sambil menguap. Kulewati amarah yang menatapku gusar, menuju selimut tempat perdamaian bersemayam.

Seperempat abad sudah api itu menikmati damainya kehidupan. Tak menyulutku menjadi abu. Jika kau ingin melihat kekuatan yang ia simpan, silakan nyalakan. Di hadapan dunia, kehidupan yang memuakkan, tak kutemukan selain tatapan yang menjijikan. Tak peduli berubah seperti apapun ia, ribuan kali akan kupalingkan muka, dan meniggalkannya dengan perasaan remeh.

Kita adalah anak-anak prasangka. Dari prasangka kita temukan harapan. Pikiran kita semua dipenuhi utopia yang berbeda-beda, namun sama-sama kita berjalan ke arahnya—setidaknya berusaha ke sana. Agama, filsafat hidup, mimpi, semua bertumpu di pundak harapan. Dari sana Tuhan menunjukkan wajah-Nya yang paling optimis—kadang ambisius, kadang ramah.

Cobaan, katanya datang dari atas. Sebuah upaya pemurnian. Semacam sekolah militer. Halah, aku terbiasa dengan harapan. Kupikir itu hal yang diperlukan. Tapi boleh lah kita sedikit rendah diri, dan menyadari kesalahan sendiri. Tak ada cobaan tanpa sebab. Tak peduli sesuci apapun kau pikir jiwamu sehingga tak mungkin musibah datang darinya, Tuhan jauh lebih suci dan tinggi. Cobaan, sakit kepala, sesak di dada itu hanyalah akibat dari sebab yang hubungan timbal baliknya sudah dituliskan-Nya. Kita adalah tamu yang membuka pintu dan mau-tak-mau menerima jamuan apapun di dalamnya. Jamuan seperti apa yang ada di setiap pintu itu terserah Penerima Tamu. Pintu mana yang kau buka, itu sepenuhnya pilihanmu.

Itu sebabnya ilmu tentang diri sangat diperlukan. Itu sebabnya pelajaran logika—tentang bagaiama cara berpikir dengan struktur dan pradigma yang tepat—sangat diperlukan. Karena pengenalan tentang diri menyelamatkan kita dari saling-tuding atas suatu masalah—yang kadang berakhir pada telunjuk jari menghadap langit dan menyalahkan Tuhan.

Pada puncak pencapaiannya, pengenalan diri tetap akan mengantarkan air mata jatuh ke bumi. Tak apa, rasa sedih, senang, geram adalah hal yang manusiawi. Barangkali, itulah bekal yang Tuhan berikan agar hidup tak begitu hambar. Sudah banyak yang bersaksi bahwa rasa sakit justru membuatnya merasa hidup. Itukan Cuma perkara sudut pandang. Mengenal diri memberikan salah satu buah kebebasan paling penting dalam hidup: hilangnya penyesalan. Akhirnya aku paham maksud Seorang Sufi yang bilang, “Rasa sesal melumpuhkan. Lempar dosa-dosamu ke dalam ampunannya dan jangan berpikir kembali lagi.”

Memang apa yang lebih menyenangkan untuk dilihat Tuhan sebagai pemberi kehidupan, selain para hamba yang merayakan setiap nafas dengan rasa syukur dan gembira?

Jangan bawa para Rasul ke sini. Karena di majlis ini kita hanya menyediakan secangkir kopi susu dan berbatang-batang rokok sebagai hiburan. Kita tawarkan pun mereka takkan mau. Bagi para raja yang melepaskan mahkotanya, pengabdian adalah segalanya. Merekalah yang berpuasa dari nikmatnya bercengkrama, agar mereka yang bisu tak merasa kesepian.

Seandainya ada kesempatan untuk mengulang waktu, mungkin akan kuambil. Tapi aku berharap saat itu malu hadir dan menatapku lamat-lamat.

16/03/2021

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...