Thursday 30 November 2017

Melihat tanpa objek

Terbesit dalam sebuah diskusi lintas sekte tentang betapa kompleksnya manusia. Ini semua di sebabkan keterbatasan kita. Jika para ahli, yang mengecap pendidikan sedemikian panjang dan dalam saja masih berbeda pendapat satu sama lain, kita yang masih otw S1 dan masih bertaqlid dan mengambil pendapat ulama sana-sini bisa apa? Keterbatasan kita dalam mengambil pendapat yang ada dicampur keterbatasan memahami pendapat yang kita pilih ditambah keterbatasan pembuat atau pendapat itu sendiri. Keterbatasan x keterbatasan x keterbatasan = unlimited limitation.

Seringkali dalam sebuah perbincangan, gue berusaha menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan keyakinan dan konsep-konsepnya. 

Itu hal yang lazim sebenernya, dan menurut gue perlu. Setiap orang harus punya landasan (logis) dalam keyakinannya. Maka dari itu keyakinan harus dihajar pertanyaan, untuk kemudian dilakukan pencarian jawaban dari keyakinan tsb. Tapi, jika tanpa pencarian, kita berusaha menjawab, itu jawaban datang dari mana? 

Pun seandainya akhirnya jawaban (hasil perenungan) yang keluar cukup memuaskan, dan masuk akal, pada akhirnya tanpa melakukan pencarian kembali pada sumber-sumber dasar keyakinan tsb, nilai jawaban itu terbatas pada interpretasi pribadi, sebuah pembenaran (yang sebenar dan klik apapun itu, tetap) subjektif. Kemungkinan bahwa jawaban tsb berbeda dengan jawaban keyakinan itu sebenernya tetep ada. Dan bisa jadi bertolak belakang. Dan ketika hal ini terjadi, atau ditemukan, keyakinan kita pastinya melenceng dari label yang kita bawa. Dan jatuhnya, kita adalah plagiator, atau pembajak hak cipta sang pencipta keyakinan. 

Jadi yang mau diutarakan itu opini tentang ideologi atau opini ideologi itu sendiri?

Yang mungkin tentang pendidikan; tanpa riset

Bayangkan jika seorang guru tak diwajibkan menulis angka di lembar ujian murid-muridnya. Jika ia tak diminta menyerahkan daftar angka untuk disematkan dalam rapot atau pengumuman hasil ujian yang akan ditempel di mading sekolah. Mereka hanya diminta menyerahkan laporan dan catatan akan pehamaman atau kelayakan lulus siswanya, yang itu pun takkan diserahkan pada orang tua. Tak ada banding-membandingkan.

Pastinya, setiap guru akan membuka mata dan telinga lebih lebar terhadap muridnya. Pastinya ia akan lebih perhatian pada apa yang didengar dan dilihat muridnya. Ia harus paham betul jalur keluar masuk ilmu ke setiap otak muridnya. Sebab untuk setiap anak, ia bertanggung jawab pada eskalasi intelejensia dan pengetahuan otak mereka. Seorang guru, pasti akan berperilaku lebih seperti orang tua dari pada sekedar kasir minimarket. Tukang hitung yang melihat angka sebagai nilai barang waktu dan informasi yang diserahkannya pada murid a.k.a pembeli.

Anak-anak akan lebih perhatian pada guru sebab guru memberi perhatian yang khusus bagi setiap mereka. Mereka tak malu, tak ada persaingan, tak perlu saling berbohong. Tak ada social sin yang memaksa mereka menghalalkan berbagai cara untuk merasa selamat atau sukses. Mereka akan hadir di kelas dan mendengarkan, menjawab segala pertanyaan yang diberikan dengan sepahamnya. Sebab beda pemahaman tak membuat mereka berada di bawah yang lainnya secara hirarki. Kalo pun ada daftar demikian, berdasarkan kadar pemahaman, mereka tak melihatnya di dinding sekolah dengan daftar berurut dari 1-20. Tak ada alasan untuk malu, bodoh-tak bodoh, tak ada alat ukurnya.

Mereka akan benyak bertanya sebab mereka tak merasakan rasa malu atas ketidak-tahuan. Memangnya datang dari mana rasa malu ketika tidak tahu? Ketika orang tua tak merasa bangga bahkan kecewa ketika melihat anaknya berada di peringkat bawah. Yang diartikan bahwa dia tidak tahu atau tak paham atas apa yang diajarkan gurunya. 

Sistem kecil ini; soal penilaian, berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, kecerdasan, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sebab pendidikan, membentuk setiap orang yang hidup disana. Dan masyarakat, atau negara, ditentukan manusia di dalamnya. Dan sistem yang mengatur jalannya hari, memberi batas fokus pikiran dan gerakan; yang pada gilirannya, menentukan tingkat tekanan pada pikiran.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...