Wednesday 19 April 2017

Merangkum 5 Bulan 20 Tahun

Sebagai manusia aku pernah pecah. Jatuh ke tanah dan jadi puing berantakan.

Memang Rumi pernah bilang kalau manusia adalah pecahan cermin Tuhan. Saat itu aku terpaksa melupakannya dulu. Kalau pecahan pecah, bagaimana bisa bersatu dengan yang lain jika tidak sempurna.

Dalam pencarian puing-puing diri aku pakai mesin pencari di internet. Katanya sebuah puing menusuk turis bule di pesisir pantai mediterania. Lebih tepatnya, negeri Laban.

Tuesday 18 April 2017

Bawalah Gitar ke Pemakamanku, Kata Rumi

Tentu aku tak bawa gitar ke pemakaman itu. Meski pengikut garis keras Rumi, rupanya tradisi masih lebih kuat mengikat. Pemberontakan budaya itu tersisa di pakaian saja. Aku datang dengan pakaian putih.

Sudut pandang kematianku sudah berubah. Kulihat kematian sebagai pembebas yang tak berkhianat. Jika hidup berarti harus berpihak pada perang atau damai, pada kelaparan atau kerakusan, pada pencuri ayam atau koruptor, maka lebih baik berpihak pada kematian. Ia tak dikotori pilihan suci, apalagi kotor.

Kok nuduh Takdir?

Tidak ada satupun dari kita yang memilih untuk hidup. Seandainya memilih, apakah kita akan tetap memilih hidup?

Selain itu, perkara rahim sampai nama semua bukan pilihan kita. Bahkan sampai umur satu atau dua tahun pakaian tidak kita pilih sendiri. Hanya Musa yang memilih sendiri asinya meski baru lahir.

Lambat laun kita mendewasa.

Sekolah pun dibangun demi mengisi hewan-hewan ini agar menunjukkan kemanusiaannya.

Monday 17 April 2017

Surat Tjinta

Aku tak pernah menulis surat yang diuntukkan seseorang, apalagi surat cinta. Tapi izinkan aku memulai surat ini padamu, di luar semua kaidah surat cinta, dengan: aku benci padamu.

Jika ukuran kebencian saat ini adalah 1 sampai Joffrey Baratheon, maka posisimu setelah bang Joffrey.

Aku benci padamu, apalagi ketika rasa takut mengalahkan logika. Tidak, kau bilang takut itu berlandaskan pikiran logis. Tapi kau mengabaikan begitu saja kelogisan kemungkinan yang tak ada rasa takut di dalamnya. Kau takut jatuh, iya. Takut gagal, takut tercela, takut membayangkan tatapan rendah dan remeh dari orang yang tak ada urusannya. Kau penakut, takut pada ilusi yang kau ciptakan sendiri dan belum tentu terjadi.

Aku benci padamu, yang tak pernah bisa fokus. Cita-citamu tinggi, pandanganmu cukup luas dan melewati batas waktu. Namun di balik kutukan terhadap arogansi dunia, kau menikmati arusnya. Kau menonton sesuatu, membaca sesuatu, dan memperhatikan sesuatu lalu tercerahkan. Semangatmu menggebu mengajakku merubah segala yang salah. Namun dua langkah, kau ajak aku kembali untuk cari inspirasi dari sumber-sumber lain lagi. Inspirasi baru, semangat baru, dan sebuah pekerjaan dan mimpi baru, yang kapan tercapai kita takkan pernah tahu.

Aku benci padamu. Kau munafik kecil. Kau menyadari segala kebenaran tentang dirimu. Kau tahu obat apa yang mampu mengembalikan air mata itu. Tapi kau memilih menikmati kesengsaraan itu. Kau dengar rontaan gadis kecil dalam hatimu. Kekeringan kasih sayang dan kesejukkan air mata yang buat tenang. Tapi kau duduk sendirian berfatwa bahwa kita harus punya rasa untuk menikmatinya. Kau tak suka, tapi kau terlena.

Aku benci padamu, yang membuatku tak tahan lagi menuliskan kebencianku. Tapi cinta dan benci nyatanya sama. Gradasi alasan yang menjarakinya. Mungkin kau akan bertanya, apa arti semua ini. Aku adalah sahabatmu, juga kekasihmu, begitulah pikirmu. Tapi lihatlah, sebelum kau tanya, setiap benciku beralasan dan punya sebabnya sendiri. Beginilah ketika cinta menemukan banyak alasan, ia terdegradasi ke level benci.

Aku terus melihatmu dari jauh dan dekat, dan ingin menamparmu dengan perkataan yang dapat membuatmu hidup dengan kenikmatan sesungguhnya. Sebab sakitmu adalah sakitku. Dan apa yang aku sebut cinta ini, yang membuatku dapat mengurai segala kebencian ini.

Yang tersayang, Diriku
Dari,
Aku.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...