Thursday 9 May 2019

Tiga Ribu Tahun Perasaan

Aku memiliki sebuah bintang penyesalan
Yang memancarkan kekecewaan
Sejauh tiga ribu tahun aku punya perasaan
Ia duduk tepat di atas dadaku
Menghisap rokok dan meminum kopi
Tanpa peduli seberapa rapuh hati yang di dudukinya

Suatu hari aku meminta bos memberiku perintah
Dan senjata
Karena sejak hati itu hancur
Tak ada lagi lagu dan film
Yang bisa membuatku merasa

Hari itu tidak ada lagi yang berharga
Teman, keluarga, dan jalan-jalan sempit di Hamra
Aku sudah relakan semuanya
Tinggal tunggu hari tanpa dosa
Untuk melepas pelatuk di setiap kepala

Apa arti hidup?
Mungkin kalian tahu jawabannya
Tapi jujur saja, aku sudah bosan mendengar pertanyaan itu
Di hadapan cermin aku bertanya
Tidakkah kau marah?
Ketika diberi tanpa kau pinta
Lalu dituntut untuk menjaga

Aku tahu ini soal ujian anak-anak Adam
Sejak masa ketiadaan nabi yang mencerahkan
Sebuah masa transisi dari kesatuan,
Menuju kemajemukkan
Aku percaya itu adalah sejarah yang hilang

Aku memiliki bintang penyesalan
Memancarkan kekecewaan
Sampai jarak tiga ribu tahun perasaan
Ia duduk di atas dadaku menghisap rokok
Dan meminum kopi

///

Dan kepada Tuhan aku memohon
Tarik aku dari arus kuat keinginan
Yang tak berujung kecuali pada penyesalan

Reality Bites
Empat Mei 2019

Tuesday 7 May 2019

Gawat

Gila, jantungku menggila
Ia tidak berdetak dengan irama
Sebagaimana harusnya

Iya, angin musim semi itu dingin
Menusuk sampai menggigil
Ini awal fajar, gigilanku tak wajar

Namun tak selalu
Bisa saja tenang dan nyaman
Seperti merasakan kehangatan
Tebak! Tebak kenapa begitu! Harusnya kau tahu!

Sudah kutenggak dan aku kembung
Senyum-Mu dalam secangkir bening
Rasa-ku tumpul
Sampai cemberut, pun ku-minum!

Raut wajah-Mu akan kurebut cuma-cuma
Jangan takut! Pasang harga setinggi-tingginya!
Rendah pun, kubeli dengan harga diri!

Kau bukan barang yang bisa dibeli
Namun nyatanya begini,
Ku-rogoh kocek
Dan lemparkan air mata

Lengkung bibir itu
Terlihat bekasnya
Di dinding hatiku

Hati ini keras seperti batu
Kau seniman yang memahat
Nama-nama di mukanya
Bukan nama-ku, nama-Mu, nama-Nya

Tapi Anjing, Babi, Sempak
Kata penuh rasa
Pembebas prasangka

Tuhan! (Sebagai Satu-Satunya Telinga)
Jangan kasih dia bahagia!
Agar terbiasa dengan bahaya
Karena dunia-Mu itu fana
Dan kalimat-ku nyata

Venus Cleopatra dan Layla
Minggir kau semua!
Sang Nona mau lewat!
Bersepatu kalimat
Bergaun hakikat
Bermahkota anti karat
Bertabur pujian tanpa syarat!

2018

Venus

Venus
Putri Malu yang berkata
Dan bermaksud lain
Kata-kata-Nya abadi bersama waktu
Makna-makna lahir bergenerasi
Bukti
Pikiran-Nya disembahkan
Untuk seluruh ruang dan waktu

Wujud-Nya dipuji-puji
Malu-Nya membuatku terus mengaji

"Puji-lah Aku
Sebab itu untukmu"

Seorang penyair
Mengorbankan dirinya
Dalam kata-kata
Mengangkat dan menyelamatkan
Kekasihnya

Di hadapan pendengar
Yang memuja pengorbanan
Ia tersenyum
Dalam kenikmatan Cinta.

2018

Sunday 5 May 2019

Lana Yang Ikhlas



Lana tersenyum di atas ranjang. Ia berbaring, tak menunjukan keinginan untuk terbangun.
/
Sementara itu, Raef berdiri, berjalan kesana kemari, berbicara pada Lana dengan kesal sejak 15 menitan yang lalu. Raef ingin Lana mengerti dan mengeluarkan tenaganya untuk bangun. Namun Lana seperti enggan, meski ia tahu ia bisa. Dan bukan sifat Raef untuk membuat seseorang melakukan sesuatu yang bukan dari kehendaknya. Ia hanya bisa mengomel.
/
"Raef, terlalu banyak waktu kuhabiskan sudah tanpa menemukan jawaban atas pertanyaanku. Sekarang aku tahu waktuku akan habis. Dan anehnya, aku tak menyesali pertanyaan yang menggantung itu. Akhirnya aku menemukan kepastian dari akhir semua ini. Terjawab atau pun tidak, aku takkan memiliki pertanyaan lagi -- setelah ini. Dan terima kasih, telah menghabiskan waktumu bersamaku. Setidaknya untuk pertama dan terakhir, aku diperlakukan secara normal dan layak. Kau tak bertambah pintar karena itu, kau tahu? Jadi lanjutkan sekolahmu."
/
Raef melihat sorot mata Lana, dan ia tahu bahwa ini saatnya untuk menyerah. Percuma. Tapi saat itu, adalah senyum paling bahagia yang pernah ia lihat dari wajah sahabatnya.
/
"Aku tak tahu siapa yang gila saat ini," benak Raef.
/
This is the Last Supper. The last thing that make you feel that you're alive. Make you realize that you are you this whole time. You are Him at the same time. You're right to say, "See you next time."
/
Its not the end. Nothing, is the end.

Oktober2018

Senyum Neli



Gambar ini pertama kali dibuat berbulan-bulan silam. Berawal dari iseng, siapa sangka akan sangat mahal harganya.
/
Namanya Neli. Ia seorang anak bos restoran yang tak pernah makan di restorannya sendiri. Bangsat memang pengusaha itu. Dia tahu apa yang dimasukkan ke dalam bumbu rahasianya. Aku tak tahu. Jadi tak bisa cerita.
/
Neli anak yang baik... Suka menolong dan rajin menabung. Dia terlahir dengan takdir jatah warisan sekian M totalnya. Dan dia jadi lebih kaya lagi karena jarang menghambur-hamburkan uang ketika mau lebaran -- untuk beli baju misalnya. Ia humble, begitu bahasa mahasiswa-nya.
/
Neli lebih suka menghabiskan waktu di luar, berjalan kaki dari satu halte Transjakarta ke halte lainnya. Ia menolak pakai mobil. Macet, katanya. Daripada macet sendirian kan mending rame-rame di bus. Kegiatan ini membuat Neli lebih mudah bergaul dengan setiap orang. Neli banyak mengobrol dengan beragam kelas masyarakat sampai ia cukup menunjukkan tanda-tanda ke-kiri-an tanpa perlu membaca Das Kapital. Bagaimana lebih detailnya tanya saja pada Neli.
/
Satu hari, Neli sedang berjalan menikmati langit Jakarta yang mendung. Trotoar sekitaran Monas kan gede tuh. Neli suka sekali jalan disitu, apalagi dalam keadaan mendung. Tapi karena sudah satu putaran, Neli mulai keringatan dan ngos-ngosan. Akhirnya ia putuskan untuk rehat sejenak di salah satu halte, sambil nyebat dulu.

/
Duduk di sebelahnya seorang berpakaian serba putih yang terlihat khusyuk. Mulutnya komat-kamit tak terdengar apa yang diucapkan. Matanya menunduk melihat ke selebaran yang dipegangnya. Neli tak tahu kenapa ia memperhatikan orang asing di sebelahnya itu. Tak lama, si orang berpakaian putih seperti sadar sedang diperhatikan dan balik menatap Neli. Tiba-tiba ia geleng-geleng kepala dan berucap, "Kamu cantik, tapi tak berkerudung. Apa artinya?" lalu pergi begitu saja. Entah apa yang merasuki pikiran Neli, pokoknya dia kaget. Tak percaya apa yang di dengarnya. Sela beberapa detik, setelah semuanha kembali terasa normal, ada yang hilang dari Neli: semangatnya. Hari itu, seorang tak dikenal baru saja geleng-geleng kepala begitu melihatnya. Sejak itu, kita semua kehilangan senyum Neli.
/
Entah bagaimana ia sekarang. Aku tak tahu di mana Neli.

Oktober2018

Saturday 4 May 2019

Tafsir One Piece Ch. 488

Setiap kapal dengan bendera tengkorak berlayar dengan idealismenya masing-masing. Dan yang akan bertahan melawan kerasnya lautan adalah mereka yang kuat idealismenya.



Bajak laut Rumbar adalah kumpulan musisi yang hobi bersenang-senang sambil bernyanyi. Menemukan harta, pesta. Menang pertempuran, pesta. Berlabuh, bersama warga berpesta. Berhasil memasuki Grand Line dengan kapal rusak, pesta. Bangun tidur, pake pesta.

Mungkin sekilas biasa. Sebab hampir semua bajak laut berpesta. Tapi akan dikenali perbedaannya, karena ketika mau mati pun, mereka pesta.

Bajak laut dalam dunia One Piece adalah profesi yang sangat filosofis. Dimana setiap orang berlayar didorong pemaknaan terhadap hidupnya. Memang beberapa justru melakukan pencarian makna dengan berlayar.

Kebebasan menjadi bajak laut diartikan secara khusus oleh Brook, Yorki dan kawan-kawan. Bukan sekedar kebebasan fisikal, tapi spiritual. Kebebasan spiritual yang berarti tak terikat rasa takut, sedih, dan dendam.



Bagi mereka, apapun itu yang datang dalam hidup, harus disambut dengan meriah. Sebab itu, Brook menjadikan alat musik sebagai senjatanya.

Satu-satunya air mata adalah janji yang terhalang kematian. Sebuah janji untuk kembali pada kawan dan menyanyikan lagu kesukaannya.

Ibarat kata Rumi, bahwa tak ada tempat bagi kesedihan di perjamuan tuhan, Yorki sebagai kapten meminta sebuah lagu dinyanyikan di pintu kematiannya. Lagu favorit yang jadi soundtrack mereka sehari-hari.

Dan begitupun Rumbar Pirates dikenal sebagai, "Who can make crying child laugh cry."

Going to deliver Binks' Sake
Lets all sing out with a Don,
A song of the waves
Doesnt matter who you are,
Someday you'll just be bones
Never-ending, ever wand'ring
Or funny trav'ling tale
Yohoho yohoho
~Binks' Sake, Rumbar's favorite song



#tafsironepiece #onepiece #brook #rumbar

Tafsir One Piece Ch. 816

Gelar "teman" dinobatkan sebagai nilai lebih yang ada pada hubungan seseorang terhadap kita.

Kelebihan tersebut bisa ada di 1) atribut atau kepemilikan eksternal seseorang, atau 2) internal, karakter individunya sendiri. Keduanya punya manfaat: politis dan kebahagian jiwa. Yang kedua, bisa berkembang lebih jauh sampai mengetuk nurani yang cinta pada kesempurnaan. Fenomena ini sering dijadikan katrol oleh orang yang terpana akal dan hatinya untuk memanfaatkan lingkungan karakter indah demi mencemari dirinya sendiri. Bagi mereka yang terlatih jujur pada diri sendiri, datangnya sosok kedua akan disambut dengan suka cita dan loyalitas dewa.



Kerajaan Samurai Wano Kuni (termasuk petinggi suku Mink) melihat kehormatan dan jiwa besar dalam diri Whitebeard dan Roger. Itu yang membuat mereka sampai tak tanggung menabrak tabu bangsa untuk ikut berlayar di kapal bajak laut--karena "teman" membutuhkan keterampilan mereka.

Panjang cerita, Lord Oden si penguasa Wano Kuni makin terikat dengan ketertarikan hati pada karakter seperti Roger. Loyalitas menumpuk dan dipamerkan dengan menjaga rahasianya dari tangan kotor yang serakah. Oden mengubur rahasia harta Roger bersama kematiannya dalam sebuah interogasi sadis oleh Kaido, Kaisar Bajak Laut.



Pengorbanan Oden yang begitu besar tak mungkin diambil tanpa kemilau Roger sebagai seorang teman yang begitu dihormatinya. Hal yang sama dilakulan oleh suku Mink. Peradaban ribuan tahun dijual pada kehancuran lantaran "teman" mereka, utusan kerajaan Wano Kuni diburu oleh musuh yang juga menghancurkan kerajaan Wano Kuni. "Meski pun negara kami harus musnah, kami takkan menyerahkan satupun kawan pada musuh," kata Nekomamushi raja malam suku Mink.

Siapa Roger? Siapa Whitebeard? Siapa Oden raja Wano Kuni?

Merekalah yang berpesta di bibir pantai bersama penduduk asli pulau yang disambangi. Merekalah yang memotong jalur pelayaran ketika terpanggil seruan teman. Merekalah yang mengambil segala konsekuensi menjadi bajak laut agar teman, bisa merasa aman di bawah bendera besarnya. Mereka yang tak memulai perang, kecuali membela diri. Mereka yang tidak merasa bebas tanpa kebebasan orang yang ditindas. Mereka yang mengobati orang sakit di pinggir jalan pelayaran, tanpa kenal nama kenal siapa. Mereka, membawa kehormatan, harga diri dan persahabatan pada tuan rumah.

"Ia mampu merubah siapapun yang ditemuinya menjadi sekutu. Dan itu adalah kekuatan paling mengerikan di dunia." Ucap Dracule Mihawk.



#tafsironepiece #minks #wanokuni

Orang dalem

Semburat kegelapan di garis samudera tidak lagi menakutkanku
Malam, datanglah
Aroma kegelisahanmu adalah kenikmatanku saat ini
Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi Ketidak-pastian memang selalu pasti
Tak ada akal maupun doa yang melampauinya
Tapi malam ini
Hatiku sudah membuka keresahannya
Pada mereka yang selalu mendengar dan menjawab
Dalam kegelapan yang membutakan ketenangan
Aku berjalan di atas kalimat (kata hilang)
Yang diterima Tuhan tanpa perantara

November2018

Gondrong

Sisa-sisa pemberontakan itu kini menanam benih kembali. Disiram kisah mereka yang baru saja mati. Dipupuk target cita yang lebih tinggi lagi.

Setiap potong tubuh martir menjadi arwah yang membawa laporan kepada tuhan. Atas apa yang terjadi dan disaksikan. Meski tuhan sudah tahu ia tetap mendengarkan. Sebab begitulah penciptaan ini berjalan. Tuhan pun konsisten pada apa yang ia tetapkan.

Apa yang terjadi, dan apa lagi tujuan yang lebih tinggi? Yang terjadi adalah perang dingin dalam hirarki. Dan yang lebih tinggi adalah pemusnahan instansi.

Genderang perang selanjutnya akan lebih besar dan menggema. Sebab sang jendral tak lagi maju dengan kekuatan yang sama. Tidak juga kurang dari sebelumnya. Waktu hanya mengajarinya bertambah tua. Bukan kembali muda.

Kemarahannya juga akan menyala lebih besar. Membuat siapapun yang tak menyangka ikut terbakar.

Kemenangan akan membuatnya menetap. Dan kekalahan hanya akan membuatnya kembali bersiap.

Tunggu. Silahkan tunggu aku.

Bukan juru selamat. Apalagi peniup trompet kiamat.

Gelombang dunia baru. Perkawinan hitam dan putih: abu-abu.

April2018

Di perjalanan

Hidup kita akan habis dalam penantian
Dari stasiun kota ke stasiun desa
Menyebarkan nama
Sampai dikira gila
Yang ditunggu tak datang jua
Padahal akal memaksa
Bahwa semua ini sia-sia
Sifat alam memang buat kecewa
Kita mati saja
Namun hati tak pernah melepaskan harapannya
Kita tak pernah melihatnya tertawa
Seperti bunga tidur semata
Tapi entah kenapa
Mata terus mencarinya
Seperti pernah jumpa sebelumnya
Sampai mulut iba dan ikut berkata
Matahari akan bersinar lagi dari sana
Tunggu saja!
Yah,
Geleng kepala saja lah.

Juli2018

Kacau

Aku meneteskan mata tanpa air
Mendengar telinganya sampai ke suara
Lentik itu memang kelewat bulu mata
Tak kuasa kutatap putih yang sangat kulit
Menawannya juga senyum sekali
Aspal terlihat indah berjalan di atas kakinya
Gila
Oksigen menghirupnya, demi kehidupan
Pohon menebang dan memakannya
Anjing-anjing terus meneriakkan namanya
Betapa cinta agung itu
Ah
Sanggup sudah tak aku lagi
Ketika matahari berjemur di bawah teriknya
Aku pusing, melayang, dan semua baru terlihat normal
Sediakala seperti.

Juni2018

Nostalgia

Angin Timur menyampaikan salam yang tak kukenal wajahnya
Mengingatkanku pada hari-hari pertama di Alexandria
Ketika semua masih biru
Tanpa hati yang cemburu abu-abu

Dengan barang bawaan seadanya, aku pamit pada burung Merpati. Aku yang terbang sekarang. Ijinkan aku untuk terjatuh. Setidaknya, matiku dalam pilihanku.

Musafir dari Aleppo berbaik hati memberuku roti
Mereka akan bermukim di Sidon
Ini yang terakhir kali
Aku janji
Katanya pada sisa kawanan Yahudi

"Sejarah ini milik kita seorang, tak peduli apa yang kau temukan di dalamnya. Itu sebabnya kau bisa temukan dirimu dalam kisah penjual roti di Andalusia. Kau tahu kenapa? Karena kau dan dia adalah manusia. Kalian berbagi satu nasib buruk yang sama ketika dilahirkan -- dilahirkan sebagai manusia. Maka satu-satunya cara untuk bertahan hidup, adalah menerima. Ya, menerima! Kata-kata tidak diberikan padamu untuk meminta. Sakarang aku ingin tanya, apa yang membuatmu pergi, anak muda?"

Aku tersenyum, katanya aku masih muda
Kek, aku pernah memelihara Merpati Putih dari Persia
Pada satu pagi buta,
Ia berkata:
Tu(h)an, kau adalah pengungsianku yang pertama dan terakhir kalinya.

April2019

Tafsir One Piece Ch. 551

Never hate your enemy, it affect your judgement, kata Don Corleone. Lebih baik mencari saran dari musuh yang bijak daripada mendengar teman yang bodoh kata Sayyidna Ali.

Melihat manusia sebagai manusia, dan perbuatan adalah perbuatan. Membenci manusia tidak dibenarkan karena tidak ada dosa untuk jadi manusia yang hidup di dunia. Jika seseorang kedapatan menjadi lawan, satu-satunya alasan adalah pijakan dan posisi yang ia pilih bertentangan dengan kita.

Roger dan Garp adalah contoh pria berkarakter kuat yang jujur dan berprikemanusiaan. Garis takdir yang mereka gambar membimbing keduanya berhadapan di medan perang. Namun di balik sel, keduanya hanya sepasang manusia yang saling sapa.



Manhood, sifat jawara Garp tidak membuatnya sebegitu pengecut untuk membiarkan bayi Roger yang tak kenal apa itu bajak laut dan angkatan laut dibunuh atas nama keadilan pemerintah. Bahkan jika ia dianggap menghianati misi kantornya, kemanusiaan dalam diri kakek pemberani takkan dikorbankan.

Ace yang dinobatkan berdarah iblis pun dirawatnya hingga ia memutuskan sendiri jalan hidupnya.

Oda dengan apik menciptakan empat lautan yang hanya akan dibesarkan oleh orang memegang kemanusiaannya seperti Garp. Mereka yang memuja ego dan nafsu lainnya hanya akan jadi debu yang terbang begitu saja. Tapi siapapun dari dunia kegelapan maupun langit yang memasung kehormatan di kaki merekalah yang akan menentukan nasib angin berhembus kemana. Ini bukan lagi soal hidup matinya jasad, tapi seberapa kuat dan tangguhnya ideologi.

Kau musuhku di atas meja judi ini, karena kita berhadapan. Namun di bar sebelah sana, gelas kita bersanding sejajar dengan kursi yang bersebelahan. Mari lanjutkan permainan dengan ambisi kemenangan abadi, lalu habisi sisa malam lewat tawa yang membangunkan para bidadari.

#tafsironepiece #goldroger #garp

Tafsir One Piece Ch. 597

Apa itu One Piece? Tak ada yang mengetahui isinya kecuali Roger dan krunya. Yang diketahui semua orang hanyalah banyaknya mereka yang mengincarnya--termasuk Luffy. Zoro bahkan Luffy pun sama-sama tak tahu apa itu One Piece. Namun Zoro tahu, bahwa Luffy sangat menginginkannya.

Di mata Luffy, One Piece sebagai tahta Raja Bajak Laut adalah puncak kebebasan. Luffy kecil mendengar Raja Bajak Laut pertama menyambut kematian dengan senyum dan kebanggaan. Tak ada penyesalan dan beban yang ditinggalkan dalam setiap kisahnya. Hanya satu yang dapat dipahami sebagai alasan ringannya menyambut kematian: ia telah bebas dari keinginannya. Itu, yang Luffy lihat dan dikejarnya. Karena menjadi Raja Bajak Laut membuat Roger terlihat puas dan cukup akan kehidupan, tatkala setiap anak seperti Luffy masih harus berurusan dengan sekat kelas bangsawan yang kaku, sampai ketakutan yang membatasi.



Zoro pada awalnya hanya melihat kilatan semangat anak kecil mengejar mimpinya yang belum tentu nyata. Namun persinggungan nasib dan pertukaran kalimat membuat mereka saling mengenal. Pulau demi pulau dilewati. Dan Luffy sebagai pemimpin mulai dikenali. Zoro melihat setiap tantangan Luffy terhadap ketidak-adilan dan penindasan. Dimana ia tak hanya mempedulikan kebebasannya seorang, tapi mengajak seluruh orang di sekitarnya jujur pada nurani dan melawan pemasung diri. Pembebasan dari sekat-sekat dunia demi kehidupan yang lebih tinggi (luhur). Dan menjadi rekan Raja Bajak Laut tentu meniscayakan tercapainya mimpi yang ia kejar. Pengakuan atas kemampuan, memaksimalkan potensi, dan janji pada kawan di masa lalu. Baginya, Pendekar Pedang terkuat di dunia. Karena perahu itu tidak hanya mengantarkan seorang penumpang ketika mencapai tujuannya, tapi seluruh penumpang yang ada di atasnya.

Ini perlahan membangun kepercayaan dan keterikatan pada sang kapten di hati setiap kawannya.



Tabir dunia yang rusak perlahan tersingkap. Dan satu-satunya yang dirasa mampu menandingi singgasana arogansi dunia adalah Raja Bajak Laut. Kepercayaan terhadap kapabilitas Luffy juga kesadaran akan pentingnya revolusi pun bertemu di persimpangan. Maka setiap kru--termasuk Zoro mulai memutuskan penemuan One Piece demi Luffy menjadi Raja Bajak Laut semakin mendesak. "Luffy adalah orang yang akan menjadi Raja Bajak Laut. Jika melindungi ambisi kaptenku saja tak bisa, semua ambisiku tak akan berarti."

Pengabdian pun dimulai. Pengorbanan. Diri ditiadakan. Ambisi pribadi dikesampingkan. Untuknya, yang pantas didahulukan. Cinta.

#tafsironepiece #roronoazoro #mihawk

Wednesday 1 May 2019

debatable

Tuhan.

Menurut Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan, Ia adalah fenomena atau konsep atau keyakinan yang diciptakan (atau ditemukan?) manusia sejak jaman pra sejarah untuk memahami kejadian-kejadian disekitarnya. Tuhan dalam berbagai bentuk dan namanya sudah diciptakan (atau dikenal?) oleh manusia meski Ia hadir sebagai kesimpulan semata; dalam arti, buah pikiran, bukan Ia yang secara eksistensi sudah ada dan dirasakan dalam bentuk aslinya sebelum diketahui namanya dan bentuknya atau sifa-sifatnya. Dan terlepas perbedaan prasangka nama dan bentuk Tuhan, semuanya menyatu dalam keyakinan (atau kesepakatan) yang sama: bahwa Ia lah awal, atau sebab (dari apapun itu yang sedang kita berusaha pahami).

Hal paling dasar yang membuat munculnya hipotesa-hipotesa berbeda, berkembang, saling tikam dan membunuh satu sama lain soal Tuhan adalah: keber-ada-annya yang tak dapat ditangkap lima indera kita. Sebab semua hal dalam alam materi atau fisik ini sudah atau bisa dinamai dan didefinisi berdasarkan kadarnya atau realitasnya sendiri. Batu adalah sekumpul tanah yang mengeras, air adalah benda cair bening dan membuat basah, angin adalah dorongan di ruang kosong dan cenderung dingin, kuda adalah sesuatu yang hidup berkaki empat terlihat ringan berlari dan bisa ditunggangi, manusia adalah hewan berakal atau kita, dst. Tak satupun komponen yang bisa ditangkap lima indera kita mungkin untuk disebut Tuhan. Sebab mereka sudah ada atau bisa didefinisikan sendiri berdasarkan kapasitasnya, yang ujung-ujungnya ketawan dan bisa disepakati, sama sekali tidak cocok dengan bayang-bayang Tuhan dalam benak manusia.

Namun kepastian yang diberikan Indera bahwa tak satupun di alam materi ini adalah Tuhan tidak membuat satupun peradaban manusia berhenti mengatakan Tuhan itu ada. Seperti yang gue katakan di atas, ide-ide tentang Tuhan terus bergerak, berkembang bahkan sampai tahap membunuh satu sama lain. Hei, perang “Atas Nama Tuhan” tak hanya terjadi di atas tanah dan berjilid-jilid menumpahkan darah. Perang yang sedang kita (termasuk saya) lakukan sekarang adalah yang paling sadis, tak tahu diri, tak kenal lelah, belum selesai, dan tak akan pernah selesai. Kita sedang bertempur di alam ide. Pertumpahan darah itu hanya pernak-pernik sejarah. Kita lah yang palling punya andil dalam terjadinya perang-perang fisik serupa sekarang atau di masa depan (kalau itu masih jadi trend. Semoga tidak).

///

Dalam membicarakan Tuhan, tidak adil jika gue langsung membahasnya begitu saja. Karena tak peduli sebanyak apapun referensi dan pembanding yang saya gunakan, ujung-ujungnya pasti jadi opini, atau, subjektif. Karena ya tadi itu, Tuhan tak dapat ditemukan Indera (atau tak memiliki keistimewaan material yang dapat didefinisikan, sebagaimana yang jadi objek penelitian sains). Jadi tak ada batas pastinya sehingga tak pernah bisa dibilang objektif. Dan menurut sudut pandang sains, tak bisa dibuktikan, atau hipotesa semata (opini yang terstruktur).

///

Dalam membicarakan Tuhan, baik untuk memahaminya atau membedah kepastian nasibnya, baik ingin membuka wacana baru apalagi membahas wacana yang sudah ada, tak bisa kita lewatkan begitu saja ide-ide yang sudah lahir tentang Tuhan.

Oke, kata Nietzsche Tuhan telah mati, atau yang kini lebih populer, “Tuhan sudah dibunuh”. Tapi ide tentangnya masih ada dan akan terus ada. Karena jika menulis itu untuk abadi (kata Pram), dengan cara menjadikan eksistensi kita nir-ruang dan waktu, maka selama Tuhan masih disebut dalam tesis-tesis dan thread kaskus, ia pun masih ada.

Tidak mengabaikan ide-ide soal Tuhan yang ada. Maksudnya begini, tak ada yang bisa membuktikan keberadaan Tuhan, sama juga tak ada yang bisa membuktikan ketidak beradaannya. Semua masih ngawang di tahap duga-duga, hipotesa. Dengan kata lain, keberadaan atau ketiadaan Tuhan masih pada tahap kemungkinan. Dan membahasnya dari segi apapun tak akan mengurangi atau menambahkan kadar kemungkinan itu sendiri.

Argumen di atas, dengan Cuma-Cuma akan dibantah oleh teolog Islam. Sebab bersandar pada logika sederhana (sebab-akibat), semesta yang super menawan dan teratur ini tak mungkin rasanya muncul begitu saja. Sebab itu harus ada pemulainya. Ia yang berdiri paling awal dan punya kemampuan setara untuk menciptakan dunia yang belum dipahami sains secara keseluruhan ini. Ia yang memulai tapi tak dimulai sebab jika ia dimulai maka akan terjadi rantai penciptaan yang tak berujung—hal yang sukar diterima akal. Logika sederhana ini menamakan Tuhan sebagai keberadaan yang wajib (ada). Tuhan dengan segala kedigdayaan, kesempurnaan, kemampuan, kecerdasan, dan keabsolutannya bisa dikatakan adalah konsekuensi logis atas keberadaan kita. Namun, bagaimanapun, seperti yang penulis katakan, logika ini masih tetap sebuah pemikiran. Yang pembuktiannya adalah susunan logika itu sendiri. Bukan Tuhan sebagai objek yang dapat dirujuk di luar kesimpulan pemikiran. Dengan itu, masih bisa dibilang hipotesa.

///

Seorang dengan sudut pandang materialis akan memandang kisah Muhammad yang hampir bunuh diri pada malam pertama wahyu adalah sebuah kewajaran manusiawi. Sunni pun begitu. Sebab kenyataan bahwa Muhammad adalah manusia seperti kita tak bisa dibantah. Dan berpegang pada fakta ini semata cukup bagi mereka memegang teguh kemungkinan benar kisah itu—selain karena termaktub dalam kitab-kitab terpenting dan terpercaya kepercayaannya.

Seorang yang mengamini Tuhan sampai Islam dan punya sudut pandang seperti syiah, akan melihat kisah itu sebagai sebuah propaganda sejarah. Sebab dalam tradisi Islam sejarah kenabian diwariskan secara turun temurun, dan dikumpulkan lalu diuji oleh para perawi perihal kebenarannya. Sebab dalam sejarah perpisahan pola pikir syiah dan sunni memang sarat dengan politik. Sehingga kabar tentang pemalsuan riwayat (sebagai bibit sejarah) adalah wajar. Sebagai syiah, secara umum, tidak mempercayai Muhammad yang kebingungan menerima wahyu. Muhammad adalah manusia, namun istimewa—khusus. Perbedaan fundamental dalam meletakkan Muhammad sebagai (ke)manusia(an) di antara manusia lainnya adalah salah satu ciri syiah dalam teologinya. Kesempurnaan Muhammad sebagai manusia termasuk bebas dari kesalahan-kesalahan manusiawi. Itu kata mereka.

Seorang yang tidak mempercayai Tuhan dengan sudut pandang materialis, menerima kabar itu tentu tidak berarti apa-apa. Bahkan bisa jadi akan menjadi dalil penguat akan ketidak percayaannya pada Tuhan. Sebab hal yang disebut bisikan Tuhan kepada Muhammad, tak lebih dari ucapan Muhammad ketika “gilanya” sedang kambuh. Islamofobia pun begitu. Juga para muslim yang punya agenda khusus akan mengamini kisah ini sebagai nyata dengan tujuan merendahakn Nabi umat Islam—golongan ini yang disebut propagandis oleh syiah.

Penulis bergelut dengan kegalauan dalam hal ini: sebab kisahnya sama, namun bisa diinterpretasikan berbeda dengan argumen-argumennya masing-masing yang tak kalah kuat, baik dengan tujuan negatif maupun positif.

Bagi saya, yang fakta adalah Muhammad di atas gunung, dalam gua itu. Apa yang dirasakan dan bagaimana Muhammad merespon pengalamannya memiliki banyak versi. Yang, meski kelihatannya hanya permasalahan kecil, namun setiap versi yang bertentangan ini menjadi sangat fundamen pada gilirannya.

Melihat fenomena penginterpretasian sejarah ini, saya melihat satu hal yang pasti di luar eksistensi Muhammad dalam sejarah: keyakinan menentukan sudut pandang.

Setiap sudut pandang punya klaim kebenarannya masing-masing yang tak bisa dibantah—kecuali ketika hasil dari sudut pandang itu diklaim sebagai gambaran keseluruhan. Rumi sudah menjelaskan ini dengan apik lewat analogi gajahnya.

Dilema ini menguat sampai pada tahap keraguan dalam membaca sejarah. Sebab versi yang hanya segitu-segitu saja sekarang sudah diwarnai oleh pembedahan-pembedahan akademis seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Argumen-argumen setiap sudut pandang dalam mengklaim kebenaran kejadiannya makin keren dan sulit untuk dibantah begitu saja. Jika dulu satu-satunya sumber sejarah adalah riwayat, kini analisis sejarah yang sudah tertulis dan tercetak beribu-ribu judul itu seakan membuat perujukan ke sumber asli (setiap versi) adalah ketidak-dewasaan pembaca. Kenapa seakan? Karena sebenarnya metode konservatif itu adalah logis. Namun analisa sejarah yang membantu memahami kejadian lewat beragam aspek pendekatan berdasarkan kemampuan peradaban kekinian pun bertumpu pada logika-logika yang masuk akal.

Dalam menyikapinya sulit untuk menemukan jalan tengah apalagi mengambil satu jalan saja. Sebab itu adalah ketidak adilan sejak dalam berpikir.

Lesley Hazelton berkata “Doubt is essential to faith”, penulis ingin merubahnya sedikit dalam konteks ini: faith is essential to read. Keyakinan/kepercayaan (baca: sudut pandang) sangat penting dalam membaca.

Memahami ini pun belum membantu kita untuk membaca dan menemukan kebenaran. Karena meskipun kita memutuskan untuk membaca semuanya yang ada—semua dengan segala sudut pandang yang ditawarkan dan argumen-argumennya—bagaimanapun, versi-versi berbeda tak akan muncul jika apa yang ingin diceritakan adalah kejadian dan pengalaman yang sama. Mereka sudah berbeda sejak kandungan.

Dalam pembahasan sunni dan syiah pun menjadi sangat rancu untuk mengatakan bahwa satu benar dan yang kedua hasil manipulasi. Sebab penghukuman itu lahir dari satu sudut pandang untuk melihat sudut pandang yang lainnya.

Beginilah jadinya jika ingin memahami Manusia—yang kompleks. Bahkan untuk sekedar membaca satu kejadiannya saja.

///

Mungkin, alternatif mendatangi Tuhan sebagai objek untuk membuktikannya adalah dengan ‘mengalami-Nya’. Mengalaminya dalam artian merasakan efek langsung dari keberadaan sebuah kesadaran dan keinginan diluar alam materi. Divine conciousness.

Sebagai contoh, sebuah interaksi non-verbal yang tak kita sangka-sangka akan mendapat respon entah dari mana, yang juga non-verbal.

Sebuah kisah sederhana dari teman saya, yang menderita insomnia selama setahun penuh tanpa ia berhasil ketahui sebabnya. Awalnya ia merasa pada puncak keimanannya sampai satu saat merasa sombong dengan membatin: cobaan seperti apapun, aku pasti kuat.

Bagai ketimpa durian montok langsung tidak berselang cukup lama cobaan itu datang. Ia tak bisa tidur sama sekali. Harus nunggu tubuh sangat lelah bukan pada waktunya yang membuat tidur jadi terpaksa dan setengah hati. Semua itu membuatnya frustasi sebab segala cara yang mungkin ditempuh untuk melawan insomnia ini sudah ditempuh, dan tak menghasilkan apa-apa. Akihrnya, ia menyerah untuk berusaha dan meredam emosinya yang sudah memuncak dan tak terkontrol akibat usaha yang tak membuahkan hasil, lalu berpaling pada Tuhan dan memohon bantuan dengan kesadarannya yang pasrah. Tak lama, jadwal tidurnya kembali normal—juga tanpa sebab yang ia usahakan sendiri.

Mungkin dengan asumsi bahwa Tuhan sering hadir dengan kondisi-kondisi serupa, untuk menyadarinya itu bukan perkara yang cukup remeh. Perlu sebuah kerendahan hati bahwa kita berada di bawah entitas yang jauh lebih tinggi dan pada hakikatnya, tak punya kuasa apapun. Baru saat itu, campur tangan Tuhan dalam sejarah kita bisa terlihat dengan jelas dan diingat sebagai pengalaman langsung berinteraksi dengan Tuhan.

Kerelaan. Di situ kata kuncinya.

 

Pdf Sejarah Tuhan di internet cuma setengah


April 2018

Betah Terjepit

“Apa ada yang punya kata bijak buat orang yang lagi kejepit di antara dua tebing besar?”

Itu adalah pertanyaannya. Teman-teman di sekitar tertawa. Apa maksudnya? Benak mereka.

“Pertanyaanmu aneh seperti biasanya. Kita tak punya jawaban, juga seperti biasanya.”

Tongkrongan langsung mengalir ke arah pembicaraan lain. Seperti biasanya.

///

Pandanganku berubah. Aku tak lagi melihat banyak hal asik seperti biasanya. Sejak awal keputusan terbang ke Lebanon diambil tiba-tiba, aku mengenal perasaan itu. Sama seperti ketika aku tiba-tiba disuruh pergi ke Jogja oleh ayah. Untuk mengamati dan mengambil pelajaran dari kawannya yang membangun kampung filsafat. Tanpa tuntutan pencapaian yang jelas, ayahku menyuruhku pergi kesana membawa beberapa kawan. Aku bergetar, dan serasa ringan untuk bergerak. Seperti ketika kita bangun hari Sabtu setelah Senin sampai Jumat rutin olah raga di gym. Ya, seperti itu.

Ayahku tiba-tiba datang ke kamar di satu sore minggu tenang sebelum UAS semester empat. “Bagaimana kalau kau ke Lebanon tahun ini?”

“Bagaimana dengan kuliah?”

“Ya, di skip dulu. Kalo bisa cuti ya ambil cuti. Kalau tidak, ya tinggal saja, tak apa kan?” ia benar-benar tahu anaknya. Aku benci sekolah.

“Hahaha,” aku tahu mengapa aku tertawa saat itu. Tapi kalau kau tanya, aku tak tahu jawabannya. “Yah, tanya ibu dulu.” Kubilang. Aku tak ingin mengambil keputusan besar tanpa pertimbangannya.

Tak terbayang ibuku langsung sepakat. Ia lebih senang aku pergi jauh bertahun-tahun mempelajari ilmu yang ia percaya bermanfaat bagiku di masa depan—sampai hari pertemuan dengan Tuhan. Karena sejak SMA, aku sudah meminta agar diberi jalan merantau ke Timur Tengah untuk mengambil jurusan Islamic Science. Bukan karena aku punya minat di sana. Sebenarnya, karena aku butuh ruang untuk berpikir, dan hidup. Hidup yang aku tak tahu untuk apa. Makanya aku memikirkannya. Dan lari ribuan kilometer dari lingkungan sosial yang sudah mengenal apa kesukaanku, jadi sangat esensial. Sebab jika tidak, waktuku akan habis dimintai tolong menulis ini-itu atau membantu mengerjakan proyek-proyek media.

Dengan tawaranku untuk merantau mengambil Islamic Science ke Lebanon, orang tuaku senang. Sebab itulah dunia mereka. Maka ibuku langsung setuju tanpa pikir panjang. Bayangan airport sudah muncul di kepalaku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi disana. Seperti apa sekolahku sebenarnya. Apa saja potensi yang bisa aku gali disana. Siapa temanku nanti. Sore itu, aku sudah lupa dengan masa lalu dan masa itu. Pikiranku terbang jauh ke masa depan dengan segala kemungkinan yang muncul di pikiran. Benar-benar asik.

///

Sekarang sudah dua tahun aku di Lebanon. Tahun pertama habis untuk observasi. Uang beasiswaku selalu habis sebelum waktunya karena kupakai jalan-jalan. Ku jamah Lebanon dari selatan sampai utara. Memanfaatkan mahasiswa-mahasiwa yang berceceran di berbagai kampus, dan juga tentu saja, Google dan Maps.

Tahun pertama itu juga banyak terjadi perubahan dalam pikiranku. Karena sebagaimana tujuan awal, yang aku kejar di sini adalah ruang untuk berpikir. Di mana aku bisa berbicara seenaknya tanpa orang pahami, membaca apapun tanpa dituduh PKI, minum kopi sebanyak apapun karena aktifitas hanya ke kampus dan ke asrama. Tak ada kewajiban-kewajiban harian lain seperti mengantar ibu ke pasar, menjemput adik di sekolah, atau kewajiban luhur sebagai bagian dari sebuah lingkungan sosial semacam dakwah digital sampai gotong royong membersihkan masjid. Di Lebanon ini, terasing dari orag-orang yang mengenalku sejak lahir, benar-benar hanya ada aku, dan diriku. Mereka yang tak paham anjing atau jancuk berlalu-lalang di hadapanku bagai melihat orang gila. Hanya lewat sambil geleng-geleng kepala. Tak apa, keterasingan ini membuatku bebas mencari tahu apapun itu.

///

Tahun kedua fokusku sudah mulai mengerucut. Dulu, hal-hal baru selalu membuatku merinding dan tak kuat diam duduk. Aku harus langsung berdiri dan tak sabar merasakan pengalaman baru itu. Biasanya, saking senangnya, aku akan tidur dan berharap bangung di saat pengalaman baru itu akan dimulai. Walau lebih sering gairah itu malah membuat jantung berdetak lebih cepat, dan akhirnya tak bisa tidur.

Fokusku mengerucut. Ya, meski setahun aku sibuk menambah file foto di berbagai tempat-tempat baru, tahun ini, tak sebanyak tahun lalu. Seiring berjalannya petualanganku kesana kemari, dua hal terjadi yang tak aku sadari—dan merubah segalanya di tahun ini. Hal itu adalah: satu, hubunganku dengan kampus yang mulai retak. Aku rupanya terlalu sombong dengan keahlianku di bidang agama. Sudah dua puluh tahun aku mendapat pelajaran agama yang sama dan terus meningkat dari ayahku yang seorang ustad. Sebab itu aku tak terlalu memusingkan sekolah dan cenderung meremehkannya. Sialnya, aku tak menyangka bahwa belenggu bea siswa itu rupanya sangat mengerikan. Nanti kuceritakan.

Yang kedua, adalah terbentuknya sebuah lingkungan  sosial baru, yang mulai mengenalku berdasarkan interaksi kami. Baik di kafe-kafe ketika diskusi, di majlis doa KBRI ketika acara bulanan, bahkan di grup whatsapp perhimpunan yang formal. Aku, yang ingin menyembunyikan diri dari pandangan orang lain dan hidup dalam bayangan rutinitas, akhirnya terciduk. Dan mulailah datang beragam kewajiban-kewajiban sosial yang dijatuhkan oleh ikatan pertemanan sampai hutang moral. Sungguh tak terbayang ini akan terjadi.

///

Saat ini aku dipaksa untuk memilih diantara dua pilihan, karena keduanya bertentangan. Hal yang selama ini kulakukan bersamaan, rupanya makin jauh makin beda arah. Apakah aku harus mengikuti keinginanku dan meyelamatkan sekolah dengan rutinitas padat yang menggilas, ataukah kubiarkan sekolah ini hancur dan berjalan dengan diriku sendiri yang selalu bebas tanpa rencana?

Dua pilihan ini membuat pikiranku sibuk sedemikian rupa sampai dada besar wanita Lebanon gagal megalihkan pikiranku seperti dulu. Meski tetap, sampai sekarang pun, tak kusangkal, demi Tuhan, mereka indah. Nuansa bangunan kuning dan jalanan dari susuan batu bata, dipadu romantisme Timur Tengah yang sangat sayu dalam hubungan sosial biasanya membuatku tak ingin pulang. Tapi kini, setiap panggilan habibi dan pesona para lentik bulu mata dan mancung yang hidup itu seperti angin lewat saja. Tak lagi menarik. Orang bilang aku sudah terbiasa. Oh tidak, cobalah datang sendiri.

Aku tak lagi sebergairah dulu. Tulisanku tak lagi berbicara padaku sebab aku sibuk mendikte setiap kata agar tulisan itu dapat diterima media dan menghasilkan uang, untuk membayar hutang. Buku-buku itu tak lagi bercerita padaku sebab aku sibuk menghabiskannya agar buku baru dapat kumulai untuk mengejar ketertinggalan pelajaran di kelas. Klasik.

Apapun pilihan jalan yanng kuambil, akan menjadi akhir dari perjalanan lainnya. Itu, adalah ketegangan yang nyata dalam setiap pilihan dalam hidup kita.

///

“Tadi pertanyaanmu apa? Kata bijak untuk orang yang terjepit?” Ali memecah lamunanku. Entah apa yang mereka bicarakan untuk kembali ke pertanyaanku barusan.

“Ya. Ada?” aku masih terperangkap dalam renunganku barusan.

“Gak ada, bung.” Kata Ali langsung. “Keluar kau dari jepitan itu.”

“Bagaimana? Aku tak tahu. Makanya cari kata bijak.”

“Kata bijak itu tak membantumu. Kau hanya akan terdiam lama di sana asik memikirkannya.”

Aku diam.

“Kalau terjepit, jangan berpikir, tapi melawan. Hancurkan tebing itu, atau bergerak sekuat tenaga untuk keluar.”

Yah, setidaknya, itupun bisa disebut kata bijak.

 

April, 2018

Tepat Sekali

Tepat sekali
Ya
Terima kasih
Di masa penuh amarah dan susah
Ini
Saat aku terjepit
Di antara dua tebing
Terima kasih
Telah memberikan pepatah bijak
Telah menyuruhku untuk bersabar!

Ketika bom itu tinggal dua detik
Terima kasih
Menyarankanku rehat
Sejenak
Ya
Terimakasih
Memang benar-benar saat yang tepat
Untuk tidak meledak!

Malam Minggu, H-3 Seminar Gibran


KBRI, Lebanon

Ledakan

Aku sedang di lantai dua ketika terdengar gemuruh dan rusuh ratusan kilometer jauhnya. Dari balkon, setelah lapangan luas yang biasa dipakai sepak bola terlihat orang-orang berlarian di sela-sela bangunan. Kadang-kadang muncul api seperti ledakan dari balik bangunan-bangunan tersebut. Makin lama ledakan-ledakan api itu terlihat makin besar. Rupanya ia mendekat. Aku sudah ingin keluar ketika menyadarinya. Namun kawanku menahan, “Jangan! Ledakan itu dari bom waktu kecil yang ditanamkan musuh di bawah tanah. Bangunan ini tak akan runtuh hanya karenanya. Lebih baik jangan ada yang keluar karena potensi korban akan makin banyak.” Akhirnya aku menahan diri. Dari balkon itu aku menyaksikan ledakan beruntun yang makin mendekat. Lapangan bola yang kosong, tiba-tiba hancur lebur. Dan sampai gilirannya bangunanku yanng bergetar hebat. Benar rupanya, ledakan itu tak cukup kuat mengahancurkan bangunan ini. Ketegangan mereda. Tapi tidak untukku. Sampai kabar bahwa keluargaku ada di lantai satu, di bawah. Aku langsung kebawah dan menemukan ibu dan adik-adikku yang tak terluka, hanya ketakutan. Namun ayahku berdiri gemetar di depan pintu. Ia berdiri tepat diatas bom dan ledakan di bawahnya mengguncang seluruh tubuhnya. Saat aku berusaha menuntunnya untuk duduk, ia meringis kesakitan. “Tak apa,” katanya. Ia masih meringis ketika bergerak. Organ dalamnya terluka parah. Aku menangis mendengar rintihannya. Namun ia berhasil menyanndarkan diri sambil duduk. Desahan di sela setiap nafas itu menggambarkan seberapa besar sakit yang dirasakan.

Tengah April 2018, ngambil casan laptop di Musyarofie

Empati

Menonton ayah dan anak duel basket di tonton seluruh tetangga. Ayahnya bodoh dalam bermain dan semua tahu betapa hebatnya adik-kakak ini. Sampai ketika si putra bungsu mencetak tiga angka dalam satu lemparan bola, sang ayah bertanya di tengah gemuruh tepuk tangan, “Bagaimana kau bisa sehebat ini?”

Sang anak yang masih seumuran enam tahun menjawab getir, “Seperti yang ayah tahu dulu aku tak bisa apa-apa. Namun aku ditekan oleh dukungan dan tuntutanmu dan orang-orang disekitarmu. Aku bukan orang yang bisa, sampai aku harus bisa agar dukunganmu tak sia-sia.” Ia mengeluarkan jawaban yang membuat semua orang terdiam. Membuat ayahnya memandang penuh cemas dan bersalah. Dan kakak perempuannya yang sama jagonya pun hanya menunduk sesal.

//

Adik kakak sudah dewasa. Yang tua perempuan. Datang dan dengan beberapa luka membuat kami penasaran sebab mereka baru saja dikabarkan melewati daerah yang berbahaya. “Bagaimana kau lolos dari sana?”

Kami dibawa ke kejadian itu. “Kami tak menyerah dan memohon ampun, hanya minta pertandingan yang adil. Dan yang mereka tawarkan adalah basket. Ketika mereka menantang basket, aku bertanya, ‘seriously?’ Adikku tak kuijinkan bermain. Kalian tahu lah seperti apa permainanku. Para gerombolan bandit koboi ini tak sedikitpun punya bayangan bahwa mereka akan kalah.”

“Yang mereka mau dari kalian apa?”

“Tentu saja vaginaku.”

Permainan dilanjutkan. Dan bandit-bandit itu kalah telak oleh seorang wanita. Meski ketika mereka kalah, ada satu orang yang berusaha merobek persetujuan. Ia tetap memaksa ingin menikmati wanita beramput coklat panjang gelombang ini. Namun kawan-kawannya yang lain menghargai kekalahan mereka dan menahan kawannya. Lalu membiarkan kakak beradik kembali ke tempat kami.

//

Aku lapar. Umar beli kebab iran. Nawarin gue, gue terima. Katanya, “Nanti aja gue lagi masak nasi Iran. Makannya pake itu.”

Sebelumya, begitu bangun tidur, gue di dapur liat air panas ingin buat minuman. Ada susu kental manis putih. Aku buat susu itu tapi pas di dapur cangkir itu keliatan normal, pas dibawa ke tempat duduk anak-anak, cangkirnya jadi bentuk balon panjang dan aku biasa saja. Malah sibuk ke susunya yang kelihatan seperti diseduh pakai air yanng kurang panas.

Beberapa hari sebelum puasa, di Musyarofieh menunggu acara munggahan di KBRI
Mei 2018

Pejalan kaki dan pejalan mimpi

Ada dua tipe manusia di dunia ini: mereka yang ingin mendengar cerita sebanyak-banyaknya, berinteraksi dengan sebanyak-banyaknya manusia, ingin melihat perbedaan dan perubahan tiada henti, terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seakan mati adalah diam di satu tempat, dan ingin melihat dunia dari luar dirinya. Dan mereka yang ingin memiliki dan dimiliki oleh sebuah cerita, yang kesederhanaan dan kebiasaan adalah rumahnya, ketenangan adalah adrenalinnya, kegelisahan adalah kematiannya, dan ingin melihat dunia dari dalam dirinya, dari ceritanya sendiri.

Kebebasan? Bebas hanyalah kata sederhana yang tak punya makna tunggal. Setiap pengalaman dan perasaan manusia punya definisinya sendiri akan kebebasan. Orang pertama di atas akan menemukan kebebasan dalam perjalanannya di sebuah van menuju Suriah. Orang kedua justru menemukan kebebasannya dalam keamanan dan kenyamanan pelukan keluarga di rumahnya.

Ini yang sedang dipikirkan Albert di atap apartemen asramanya malam ini. Ia sedang merasakan kegelisahan yang mungkin sama dengan setiap manusia yang sudah mengenali posisinya saat ini—satu di antara dua tipe manusia.

Ia sudah hidup selama 22 tahun menjadi manusia tipe kedua. Hidupnya mudah, begitu kata temannya. Meski ia lebih suka menggunakan kata beruntung. Dari satu pijakan ke pijakan lain, dari nasib ke nasib yang lain, semua datang tak diduga. Tentu, semua kesempatan yang datang tak diundang itu tak jauh ia dapat dari jerih payah orang tuanya yang tak kaya—namun punya nama. Ayahnya yang terpandang dalam komunitasnya yang cukup besar memudahkan Albert untuk mendapat jaringan luas, yang pada gilirannya berubah menjadi tawaran-tawaran pengalaman yang kebanyakan orang perlu usaha lebih keras untuk mendapatkannya. Bahkan kini, ia hidup ratusan ribu kilometer dari rumahnya, dengan beasiswa penuh dan tanpa perlu melewati tes, pun karena jaringan orang tuanya di negeri ini.

Albert melihat dirinya sebagai petualang. Itu sebabnya ia merasa tersiksa dengan realitas yang dihadapinya kini. Sebab seorang pengemban beasiswa tentu tak bisa dengan leluasa begitu saja cabut dari kelas untuk menginap di satu kota asing beberapa hari dan kembali belajar tanpa dapat ancaman akan dikeluarkan atau dikirim pulang ke rumahnya. Gambaran yang ia bangun soal dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu justru adalah sosok yang paling asing bagi dunianya saat ini—sekolahnya. Ini, yang membuat Albert pergi ke atap di tengah malam akhir bulan Mei, menikmati sepoi angin malam musim panas dan diam menatap gemerlap kota. Ia sedang berdebat dengan moralnya sendiri, untuk memutuskan langkah apa yang akan dia ambil nanti pagi, ketika pintu asrama mulai dibuka. Apakah ia akan membawa tas dan berjalan lurus langsung menuju kampus seperti tadi pagi, atau dengan tas yang lebih berisi dari biasanya langsung belok ke kiri, menuju jalan raya tempat supir taksi menawarkan jasanya pada ia yang tak tahu mau kemana? Malam ini, bulan sabit yang ia pandangi akan menjadi saksi atas keputusannya.

//

Kadang aku berpikir kenapa harus memikirkan hal-hal magis seperti itu? Kenapa tidak memikirkan yang realistis saja seperti anak seusiaku kebanyakan. Misal bagaimana caranya aku bisa menggerakkan otot alis secara terpisah. Seperti Emilia Clarke yang dijuluki Eyebrows Queen. Dimana titik gerak otot alisnya ada tiga. Kanan, tengah, dan kiri. Sehingga ekspresi yang bisa ditunjukkan wajahnya akan jauh lebih berwarna dan kuat setiap warnanya.

Atau produk mana yang lebih menjanjikan dalam menumbuhkan bulu-bulu halus dari pipi sampai daguku ini? Minoxidil atau Wak Doyok? Testimoni online makin banyak makin rancu sebab tak pernah jelas mana yang lebih baik dari kedua produk itu untuk membuatku seperti Adam Levine.

Atau bagaimana caranya aku bisa mengontrol asap hasil hisapan vape—rokok elektronik itu. Lihat saja kawan-kawanku yang sangat profesional dalam seni menciptakan bentuk-bentuk asap itu. Sementara aku sudah bangga bisa membuat O dari kretek bangsa saja. Padahal waktuku banyak sekali terbuang memikirkan masalah sikologis adikku dan membangun pondasi filosofis dalam karya-karya tulisku yang bisa aku lakukan berlatih lebih keratif daripada sekadar menghembuskan asap tak berbentuk dari rokok.

Atau postingan instagram. Kenapa aku tidak pernah menyibukkan diri mencari tempat-tempat bersejarah atau bermakna dan mencari sudut pandangnya yang bagus agar akunku lebih banyak dikunjungi orang dan bisa cepat-cepat buka jasa endorse.

Sial, terlalu banyak waktuku terbuang memikirkan yang tidak-tidak.

Mei 2018

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...