Wednesday, 1 May 2019

Pejalan kaki dan pejalan mimpi

Ada dua tipe manusia di dunia ini: mereka yang ingin mendengar cerita sebanyak-banyaknya, berinteraksi dengan sebanyak-banyaknya manusia, ingin melihat perbedaan dan perubahan tiada henti, terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seakan mati adalah diam di satu tempat, dan ingin melihat dunia dari luar dirinya. Dan mereka yang ingin memiliki dan dimiliki oleh sebuah cerita, yang kesederhanaan dan kebiasaan adalah rumahnya, ketenangan adalah adrenalinnya, kegelisahan adalah kematiannya, dan ingin melihat dunia dari dalam dirinya, dari ceritanya sendiri.

Kebebasan? Bebas hanyalah kata sederhana yang tak punya makna tunggal. Setiap pengalaman dan perasaan manusia punya definisinya sendiri akan kebebasan. Orang pertama di atas akan menemukan kebebasan dalam perjalanannya di sebuah van menuju Suriah. Orang kedua justru menemukan kebebasannya dalam keamanan dan kenyamanan pelukan keluarga di rumahnya.

Ini yang sedang dipikirkan Albert di atap apartemen asramanya malam ini. Ia sedang merasakan kegelisahan yang mungkin sama dengan setiap manusia yang sudah mengenali posisinya saat ini—satu di antara dua tipe manusia.

Ia sudah hidup selama 22 tahun menjadi manusia tipe kedua. Hidupnya mudah, begitu kata temannya. Meski ia lebih suka menggunakan kata beruntung. Dari satu pijakan ke pijakan lain, dari nasib ke nasib yang lain, semua datang tak diduga. Tentu, semua kesempatan yang datang tak diundang itu tak jauh ia dapat dari jerih payah orang tuanya yang tak kaya—namun punya nama. Ayahnya yang terpandang dalam komunitasnya yang cukup besar memudahkan Albert untuk mendapat jaringan luas, yang pada gilirannya berubah menjadi tawaran-tawaran pengalaman yang kebanyakan orang perlu usaha lebih keras untuk mendapatkannya. Bahkan kini, ia hidup ratusan ribu kilometer dari rumahnya, dengan beasiswa penuh dan tanpa perlu melewati tes, pun karena jaringan orang tuanya di negeri ini.

Albert melihat dirinya sebagai petualang. Itu sebabnya ia merasa tersiksa dengan realitas yang dihadapinya kini. Sebab seorang pengemban beasiswa tentu tak bisa dengan leluasa begitu saja cabut dari kelas untuk menginap di satu kota asing beberapa hari dan kembali belajar tanpa dapat ancaman akan dikeluarkan atau dikirim pulang ke rumahnya. Gambaran yang ia bangun soal dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu justru adalah sosok yang paling asing bagi dunianya saat ini—sekolahnya. Ini, yang membuat Albert pergi ke atap di tengah malam akhir bulan Mei, menikmati sepoi angin malam musim panas dan diam menatap gemerlap kota. Ia sedang berdebat dengan moralnya sendiri, untuk memutuskan langkah apa yang akan dia ambil nanti pagi, ketika pintu asrama mulai dibuka. Apakah ia akan membawa tas dan berjalan lurus langsung menuju kampus seperti tadi pagi, atau dengan tas yang lebih berisi dari biasanya langsung belok ke kiri, menuju jalan raya tempat supir taksi menawarkan jasanya pada ia yang tak tahu mau kemana? Malam ini, bulan sabit yang ia pandangi akan menjadi saksi atas keputusannya.

//

Kadang aku berpikir kenapa harus memikirkan hal-hal magis seperti itu? Kenapa tidak memikirkan yang realistis saja seperti anak seusiaku kebanyakan. Misal bagaimana caranya aku bisa menggerakkan otot alis secara terpisah. Seperti Emilia Clarke yang dijuluki Eyebrows Queen. Dimana titik gerak otot alisnya ada tiga. Kanan, tengah, dan kiri. Sehingga ekspresi yang bisa ditunjukkan wajahnya akan jauh lebih berwarna dan kuat setiap warnanya.

Atau produk mana yang lebih menjanjikan dalam menumbuhkan bulu-bulu halus dari pipi sampai daguku ini? Minoxidil atau Wak Doyok? Testimoni online makin banyak makin rancu sebab tak pernah jelas mana yang lebih baik dari kedua produk itu untuk membuatku seperti Adam Levine.

Atau bagaimana caranya aku bisa mengontrol asap hasil hisapan vape—rokok elektronik itu. Lihat saja kawan-kawanku yang sangat profesional dalam seni menciptakan bentuk-bentuk asap itu. Sementara aku sudah bangga bisa membuat O dari kretek bangsa saja. Padahal waktuku banyak sekali terbuang memikirkan masalah sikologis adikku dan membangun pondasi filosofis dalam karya-karya tulisku yang bisa aku lakukan berlatih lebih keratif daripada sekadar menghembuskan asap tak berbentuk dari rokok.

Atau postingan instagram. Kenapa aku tidak pernah menyibukkan diri mencari tempat-tempat bersejarah atau bermakna dan mencari sudut pandangnya yang bagus agar akunku lebih banyak dikunjungi orang dan bisa cepat-cepat buka jasa endorse.

Sial, terlalu banyak waktuku terbuang memikirkan yang tidak-tidak.

Mei 2018

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...