Menurut Karen Armstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan, Ia adalah fenomena atau konsep atau keyakinan yang diciptakan (atau ditemukan?) manusia sejak jaman pra sejarah untuk memahami kejadian-kejadian disekitarnya. Tuhan dalam berbagai bentuk dan namanya sudah diciptakan (atau dikenal?) oleh manusia meski Ia hadir sebagai kesimpulan semata; dalam arti, buah pikiran, bukan Ia yang secara eksistensi sudah ada dan dirasakan dalam bentuk aslinya sebelum diketahui namanya dan bentuknya atau sifa-sifatnya. Dan terlepas perbedaan prasangka nama dan bentuk Tuhan, semuanya menyatu dalam keyakinan (atau kesepakatan) yang sama: bahwa Ia lah awal, atau sebab (dari apapun itu yang sedang kita berusaha pahami).
Hal paling dasar yang membuat munculnya hipotesa-hipotesa berbeda, berkembang, saling tikam dan membunuh satu sama lain soal Tuhan adalah: keber-ada-annya yang tak dapat ditangkap lima indera kita. Sebab semua hal dalam alam materi atau fisik ini sudah atau bisa dinamai dan didefinisi berdasarkan kadarnya atau realitasnya sendiri. Batu adalah sekumpul tanah yang mengeras, air adalah benda cair bening dan membuat basah, angin adalah dorongan di ruang kosong dan cenderung dingin, kuda adalah sesuatu yang hidup berkaki empat terlihat ringan berlari dan bisa ditunggangi, manusia adalah hewan berakal atau kita, dst. Tak satupun komponen yang bisa ditangkap lima indera kita mungkin untuk disebut Tuhan. Sebab mereka sudah ada atau bisa didefinisikan sendiri berdasarkan kapasitasnya, yang ujung-ujungnya ketawan dan bisa disepakati, sama sekali tidak cocok dengan bayang-bayang Tuhan dalam benak manusia.
Namun kepastian yang diberikan Indera bahwa tak satupun di alam materi ini adalah Tuhan tidak membuat satupun peradaban manusia berhenti mengatakan Tuhan itu ada. Seperti yang gue katakan di atas, ide-ide tentang Tuhan terus bergerak, berkembang bahkan sampai tahap membunuh satu sama lain. Hei, perang “Atas Nama Tuhan” tak hanya terjadi di atas tanah dan berjilid-jilid menumpahkan darah. Perang yang sedang kita (termasuk saya) lakukan sekarang adalah yang paling sadis, tak tahu diri, tak kenal lelah, belum selesai, dan tak akan pernah selesai. Kita sedang bertempur di alam ide. Pertumpahan darah itu hanya pernak-pernik sejarah. Kita lah yang palling punya andil dalam terjadinya perang-perang fisik serupa sekarang atau di masa depan (kalau itu masih jadi trend. Semoga tidak).
///
Dalam membicarakan Tuhan, tidak adil jika gue langsung membahasnya begitu saja. Karena tak peduli sebanyak apapun referensi dan pembanding yang saya gunakan, ujung-ujungnya pasti jadi opini, atau, subjektif. Karena ya tadi itu, Tuhan tak dapat ditemukan Indera (atau tak memiliki keistimewaan material yang dapat didefinisikan, sebagaimana yang jadi objek penelitian sains). Jadi tak ada batas pastinya sehingga tak pernah bisa dibilang objektif. Dan menurut sudut pandang sains, tak bisa dibuktikan, atau hipotesa semata (opini yang terstruktur).
///
Dalam membicarakan Tuhan, baik untuk memahaminya atau membedah kepastian nasibnya, baik ingin membuka wacana baru apalagi membahas wacana yang sudah ada, tak bisa kita lewatkan begitu saja ide-ide yang sudah lahir tentang Tuhan.
Oke, kata Nietzsche Tuhan telah mati, atau yang kini lebih populer, “Tuhan sudah dibunuh”. Tapi ide tentangnya masih ada dan akan terus ada. Karena jika menulis itu untuk abadi (kata Pram), dengan cara menjadikan eksistensi kita nir-ruang dan waktu, maka selama Tuhan masih disebut dalam tesis-tesis dan thread kaskus, ia pun masih ada.
Tidak mengabaikan ide-ide soal Tuhan yang ada. Maksudnya begini, tak ada yang bisa membuktikan keberadaan Tuhan, sama juga tak ada yang bisa membuktikan ketidak beradaannya. Semua masih ngawang di tahap duga-duga, hipotesa. Dengan kata lain, keberadaan atau ketiadaan Tuhan masih pada tahap kemungkinan. Dan membahasnya dari segi apapun tak akan mengurangi atau menambahkan kadar kemungkinan itu sendiri.
Argumen di atas, dengan Cuma-Cuma akan dibantah oleh teolog Islam. Sebab bersandar pada logika sederhana (sebab-akibat), semesta yang super menawan dan teratur ini tak mungkin rasanya muncul begitu saja. Sebab itu harus ada pemulainya. Ia yang berdiri paling awal dan punya kemampuan setara untuk menciptakan dunia yang belum dipahami sains secara keseluruhan ini. Ia yang memulai tapi tak dimulai sebab jika ia dimulai maka akan terjadi rantai penciptaan yang tak berujung—hal yang sukar diterima akal. Logika sederhana ini menamakan Tuhan sebagai keberadaan yang wajib (ada). Tuhan dengan segala kedigdayaan, kesempurnaan, kemampuan, kecerdasan, dan keabsolutannya bisa dikatakan adalah konsekuensi logis atas keberadaan kita. Namun, bagaimanapun, seperti yang penulis katakan, logika ini masih tetap sebuah pemikiran. Yang pembuktiannya adalah susunan logika itu sendiri. Bukan Tuhan sebagai objek yang dapat dirujuk di luar kesimpulan pemikiran. Dengan itu, masih bisa dibilang hipotesa.
///
Seorang dengan sudut pandang materialis akan memandang kisah Muhammad yang hampir bunuh diri pada malam pertama wahyu adalah sebuah kewajaran manusiawi. Sunni pun begitu. Sebab kenyataan bahwa Muhammad adalah manusia seperti kita tak bisa dibantah. Dan berpegang pada fakta ini semata cukup bagi mereka memegang teguh kemungkinan benar kisah itu—selain karena termaktub dalam kitab-kitab terpenting dan terpercaya kepercayaannya.
Seorang yang mengamini Tuhan sampai Islam dan punya sudut pandang seperti syiah, akan melihat kisah itu sebagai sebuah propaganda sejarah. Sebab dalam tradisi Islam sejarah kenabian diwariskan secara turun temurun, dan dikumpulkan lalu diuji oleh para perawi perihal kebenarannya. Sebab dalam sejarah perpisahan pola pikir syiah dan sunni memang sarat dengan politik. Sehingga kabar tentang pemalsuan riwayat (sebagai bibit sejarah) adalah wajar. Sebagai syiah, secara umum, tidak mempercayai Muhammad yang kebingungan menerima wahyu. Muhammad adalah manusia, namun istimewa—khusus. Perbedaan fundamental dalam meletakkan Muhammad sebagai (ke)manusia(an) di antara manusia lainnya adalah salah satu ciri syiah dalam teologinya. Kesempurnaan Muhammad sebagai manusia termasuk bebas dari kesalahan-kesalahan manusiawi. Itu kata mereka.
Seorang yang tidak mempercayai Tuhan dengan sudut pandang materialis, menerima kabar itu tentu tidak berarti apa-apa. Bahkan bisa jadi akan menjadi dalil penguat akan ketidak percayaannya pada Tuhan. Sebab hal yang disebut bisikan Tuhan kepada Muhammad, tak lebih dari ucapan Muhammad ketika “gilanya” sedang kambuh. Islamofobia pun begitu. Juga para muslim yang punya agenda khusus akan mengamini kisah ini sebagai nyata dengan tujuan merendahakn Nabi umat Islam—golongan ini yang disebut propagandis oleh syiah.
Penulis bergelut dengan kegalauan dalam hal ini: sebab kisahnya sama, namun bisa diinterpretasikan berbeda dengan argumen-argumennya masing-masing yang tak kalah kuat, baik dengan tujuan negatif maupun positif.
Bagi saya, yang fakta adalah Muhammad di atas gunung, dalam gua itu. Apa yang dirasakan dan bagaimana Muhammad merespon pengalamannya memiliki banyak versi. Yang, meski kelihatannya hanya permasalahan kecil, namun setiap versi yang bertentangan ini menjadi sangat fundamen pada gilirannya.
Melihat fenomena penginterpretasian sejarah ini, saya melihat satu hal yang pasti di luar eksistensi Muhammad dalam sejarah: keyakinan menentukan sudut pandang.
Setiap sudut pandang punya klaim kebenarannya masing-masing yang tak bisa dibantah—kecuali ketika hasil dari sudut pandang itu diklaim sebagai gambaran keseluruhan. Rumi sudah menjelaskan ini dengan apik lewat analogi gajahnya.
Dilema ini menguat sampai pada tahap keraguan dalam membaca sejarah. Sebab versi yang hanya segitu-segitu saja sekarang sudah diwarnai oleh pembedahan-pembedahan akademis seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Argumen-argumen setiap sudut pandang dalam mengklaim kebenaran kejadiannya makin keren dan sulit untuk dibantah begitu saja. Jika dulu satu-satunya sumber sejarah adalah riwayat, kini analisis sejarah yang sudah tertulis dan tercetak beribu-ribu judul itu seakan membuat perujukan ke sumber asli (setiap versi) adalah ketidak-dewasaan pembaca. Kenapa seakan? Karena sebenarnya metode konservatif itu adalah logis. Namun analisa sejarah yang membantu memahami kejadian lewat beragam aspek pendekatan berdasarkan kemampuan peradaban kekinian pun bertumpu pada logika-logika yang masuk akal.
Dalam menyikapinya sulit untuk menemukan jalan tengah apalagi mengambil satu jalan saja. Sebab itu adalah ketidak adilan sejak dalam berpikir.
Lesley Hazelton berkata “Doubt is essential to faith”, penulis ingin merubahnya sedikit dalam konteks ini: faith is essential to read. Keyakinan/kepercayaan (baca: sudut pandang) sangat penting dalam membaca.
Memahami ini pun belum membantu kita untuk membaca dan menemukan kebenaran. Karena meskipun kita memutuskan untuk membaca semuanya yang ada—semua dengan segala sudut pandang yang ditawarkan dan argumen-argumennya—bagaimanapun, versi-versi berbeda tak akan muncul jika apa yang ingin diceritakan adalah kejadian dan pengalaman yang sama. Mereka sudah berbeda sejak kandungan.
Dalam pembahasan sunni dan syiah pun menjadi sangat rancu untuk mengatakan bahwa satu benar dan yang kedua hasil manipulasi. Sebab penghukuman itu lahir dari satu sudut pandang untuk melihat sudut pandang yang lainnya.
Beginilah jadinya jika ingin memahami Manusia—yang kompleks. Bahkan untuk sekedar membaca satu kejadiannya saja.
///
Mungkin, alternatif mendatangi Tuhan sebagai objek untuk membuktikannya adalah dengan ‘mengalami-Nya’. Mengalaminya dalam artian merasakan efek langsung dari keberadaan sebuah kesadaran dan keinginan diluar alam materi. Divine conciousness.
Sebagai contoh, sebuah interaksi non-verbal yang tak kita sangka-sangka akan mendapat respon entah dari mana, yang juga non-verbal.
Sebuah kisah sederhana dari teman saya, yang menderita insomnia selama setahun penuh tanpa ia berhasil ketahui sebabnya. Awalnya ia merasa pada puncak keimanannya sampai satu saat merasa sombong dengan membatin: cobaan seperti apapun, aku pasti kuat.
Bagai ketimpa durian montok langsung tidak berselang cukup lama cobaan itu datang. Ia tak bisa tidur sama sekali. Harus nunggu tubuh sangat lelah bukan pada waktunya yang membuat tidur jadi terpaksa dan setengah hati. Semua itu membuatnya frustasi sebab segala cara yang mungkin ditempuh untuk melawan insomnia ini sudah ditempuh, dan tak menghasilkan apa-apa. Akihrnya, ia menyerah untuk berusaha dan meredam emosinya yang sudah memuncak dan tak terkontrol akibat usaha yang tak membuahkan hasil, lalu berpaling pada Tuhan dan memohon bantuan dengan kesadarannya yang pasrah. Tak lama, jadwal tidurnya kembali normal—juga tanpa sebab yang ia usahakan sendiri.
Mungkin dengan asumsi bahwa Tuhan sering hadir dengan kondisi-kondisi serupa, untuk menyadarinya itu bukan perkara yang cukup remeh. Perlu sebuah kerendahan hati bahwa kita berada di bawah entitas yang jauh lebih tinggi dan pada hakikatnya, tak punya kuasa apapun. Baru saat itu, campur tangan Tuhan dalam sejarah kita bisa terlihat dengan jelas dan diingat sebagai pengalaman langsung berinteraksi dengan Tuhan.
Kerelaan. Di situ kata kuncinya.
Pdf Sejarah Tuhan di internet cuma setengah
April 2018
No comments:
Post a Comment