Wednesday 28 March 2018

Catatan Hutang Ketua Panitia



“Gaes, ada berita nih. Dengerin...” kalimat ini pasti pembuka kabar yang bikin pusing. Kalau tongkrongan sudah diintervensi urusan organisasi dan dipilomasi dengan lembaga negara.

Kami disini, kaum diaspora Indonesia di Lebanon. Alasannya beragam. Ada yang bekerja, belajar, atau bahkan sekedar pingin jalan-jalan tapi tak punya duit, jadi manfaatin beasiswa. Jumlah kami sedikit. Jadi, mau-tak-mau kami berteman; lucu-tak-lucu kami tertawa. Kapan lagi nongkrong sambil bicara lepas pakai bahasa ibu. Duh, bu, kami rindu.

Lebanon bukan negara sepuluh besar dalam daftar tempat yang Instagramable. Cuma ya daripada tidak ada, ya kan? Setidaknya masih terlihat sisa-sisa “Swiss of Middle East” di pusat-pusat kota. Kawasan bernuansa Eropa abad pertengahan seperti kota kecil Byblos masih pantas untuk latar selfie.

Hidup bersama orang asing dalam kultur baru bisa dipandang sebuah tantangan yang mengasyikkan. Tapi percaya atau tidak, energinya luar biasa. Paling tidak, berusaha untuk ngobrol satu jam dengan bahasa asing, mendorong otak bekerja lebih untuk merubah tatanan bahasa ibu yang biasa dipakai tanpa perlu konsentrasi. Orang asing kalau mabuk di sini, celotehnya pasti pakai bahasa ibunya. Tak perlu berpkir dia. Pemandangan biasa itu.

Berita Acara: Seminar Gibran From The Other Side of The World

[caption id="attachment_336" width="350" align="alignleft"] Mahasiswi Lebanese University memainkan oud.[/caption]

Barisan kolintang itu bermain dengan serasi. Mengiringi penyanyi pirang dari Beirut mendendangkan tembang Fairuz, “A’tiny Al-Nay”. Sebuah puisi mistis karangan maestro sastra asal Lebanon, Gibran Khalil Gibran.

Penampilan itu menandakan dibukanya kolaborasi acara Mahasiswa Indonesia dan Lebanon—Seminar International: Gibran From The Other Side of The World, Selasa, 27 Maret. Membahas sastra dan pengaruh Gibran di Indonesia, turut hadir pula seorang penulis muda asal Bandung, Asrie Tresnady.

Duduk di tengah panggung, Asrie menceritakan sepak terjang penerjemahan Gibran sampai efek tulisannya, pada karya-karya seniman di Indonesia.

“Dulu, nama penulis yang menerjemahkan Gibran meski karyanya sedikit tetap lebih punya nama ketimbang mereka yang banyak karya independennya. Tak peduli seberapa besar kesuksesan karya-karyanya.” Kata Asrie.

Monday 26 March 2018

Muka Satu

Mari menertawakan kemunafikan kita, kawan

Wajah ketemu wajah

Telanjang tanpa bayangan

Biaran setiap jengkal tubuh dan diri memancar

Sinar kebenarannya masing-masing

Mulut itu bisa wangi

Jangan kau muntahkan oli

Yang tidak melumaskan

Tapi membuat karatan

Bibir itu bisa dibuka dan ditutup

Bisa mengeluarkan suara dan rasa

Bisa dicium dan tercium

Belerang pun bisa dicium dan tercium

Namun tak terkontrol

Karena terbuka namun tak bisa ditutup

Kau yang marah dan dendam

Membendung air bah agar tak tumpah

Pelawan alam

Akan hancur juga kau pada waktunya

Terpujilah ledakan bintang yang tak abadi

Ia akan muncul dan hilang di malam lain

Tak menahan diri demi pujian

Tak tergesa ingin menghancurkan

Kita sering lupa

Memuji dan bersyukur pada pencipta

Yang menjadikan kematian atau kehancuran

Sebuah akhir

Juga awal

Di saat yang bersamaan.


Untuk mereka yang asing-asing bau tai kucing


Dini hari Senin, 26 Maret 2018

Thursday 22 March 2018

Kamu tidak tahu apa yang kamu baca

Aku pernah dimarahi seorang kawan karena hidup terlalu dibuat seperti mimpi. “Realistis dong!” katanya. Aku terlalu asik merangkai ide yang tak pernah jelas langkah dan arahnya. Buat ini buat itu.

Dalam kisah lain, kawanku menasehati yang lagi-lagi kukutip disini, “Kita ini budak keinginan mat,” bijaksana sekali.

///

Tadi sore di kelas, teman asal Somalia mengernyitkan matanya—seperti ada yang mengganjal, akalnya sedang mendidih.

Saat itu, kelas hukum Islam. Dosen menjelaskan persoalan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan apa yang diperintahkan agama—dari satu prespektif ulama tentunya. Kita sedang membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan solat.

Menurut mazhab ini, sujud harus di atas tanah, jika tidak mungkin, baru keluar pengecualin-pengecualian sampai yang terakhir adalah sujud di atas punggung tangan. Seorang bertanya, “Gimana kalau kita punya anak, dan batu yang dibuat sujud itu diambilnya ketika kita sedang solat?”. Dosen menjawab, “Batalkan solatnya dan ambil batunya. Jika anak kita mungkin akan mengambilnya lagi, pegang di tangan selama solat dan letakkan ketika hendak sujud, lalu begitu sampai selesai.”

Kawan Somalia ini heran mendengarnya. Kenapa Tuhan sebegitu kekeuh dalam menekankan keinginannya pada manusia. Baginya, ini hanya masalah sujud yang simbolik. Menyembah-Nya pastilah perkara yang lebih dari sekedar syarat-syarat simbolik. Kenapa tidak dibiarkan saja dan lanjutkan solat? Lalu kenapa begitu banyak syarat yang begitu paten sehingga tidak mengikutinya adalah tidak sahnya sebuah solat? Tuhan, apakah hatiku tidak lebih berarti bagi-Mu dari tubuh lemah ini? Begitulah yang dia curhatkan padaku.

Aku berpikir sejenak.

Kemarin, aku terbang ke alam ide bermain roman dengan para penulis kiri dari Amerika Latin. Aku mendapatkan satu hal: menulis adalah cara hidup bercinta dengan ruang dan waktu. Ada penulis yang bahkan mengatakan, “Menulis adalah bagian dari kehidupan, bahkan bagiku, bagian terpenting dari kehidupan.”

Menulis adalah romansa kehidupan dengan ruang dan waktu. Mereka yang menuliskan kisahnya, kisah orang lain, kisah fiktif, semuanya tak lepas dari pemandangan saat ini. Waktu sekarang—kehidupan, aku menyebutnya, adalah inspirasi atau faktor yang membuat penulis menulis. Mereka hidup di zamannya dan menyaksikan sesuatu, baik di dalam maupun luar dirinya. Lalu memutuskan untuk mengabadikannya lewat harapan yang belum terjadi, atau memori sebagai pengingat, atau sekedar membingkan waktu-nya saat itu agar mereka yang se-waktu dapat melihat dalam prespektif yang diharapkan sang penulis. Ia membuat batas-batas ruang dan waktunya sendiri ketika di saat bersamaan memuja ruang dan waktu-nya ketika menulis—lewat kata-kata.

The Creation of Adam by Michelangelo sebagai represntasi visual paling jos yang ada dibenak gue


Apa yang disaksikan dan dirasakan seakan  sayang sekali jika dilewatkan. Siapapun, harus melihatnya juga, kapanpun, dimanapun. Baik itu pengalaman waktu dan tempat yang buruk apalagi menggembirakan, penulis tak rela jika manusia tak juga menyadari pengalamannya. Ia akan membagikannya dengan gairah dan tulus dalam bentuk lembaran yang diperjual-belikan agar momen, tetap abadi.

Kata-kata bagaikan sang kekasih yang dipuja.

Penulis dan kata-nya adalah dua wujud yang terpisah dan berbeda. Namun kebersandingan keduanya adalah mutlak. Mereka tak bisa dipahami tanpa satu sama lain. Dan menulis sebagai pekerjaan, aksi, adalah rahim bagi keduanya.

Jika ada hipotesis sains yang mengatakan bahwa energi itu bisa disebut Tuhan yang menggerakkan dan menjadi satu-satunya alasan unsur di jagat ini berkontemplasi menjadi sesuatu yang beragam, maka menulis, yang menjadikan manusia penulis, dan kekosongan menjadi kata, maka menulis juga Tuhan itu sendiri.

///

Kufu. Dalam bahasa Arab, artinya perbandingan. Istilah ini aku kenal ketika kawan yang marah di awal tulisan, mengigngat betapa tidak tahu dirinya kita berharap jadi pacar selebgram.

Katanya, agama menyarankan kita mencari pasangan yang satu kufu, sebanding. Dalam artian satu kasta, satu lingkungan, satu digit rekening bank. Tepat sasaran sekali ini saran.

Kecocokan latar belakang memang kalau dipikir-pikir itu jadi pemoles lancarnya suatu hubungan. Karena jika yang dicari perbedaan pun, satu rumah saja sudah pasti beda manusianya. Jadi yang penting wadahnya sama dulu, isinya apa, tak masalah. Biar kali disejajarkan, terlihat serasi dan cocok. Dan perbedaan warna isi justru jadi penghias yang cantik. Walau tentu saja, kembali ke hukum alam, tidak ada yang tidak mungkin. Ini tidak mutlak, tapi, ya begitulah kura-kura.

Jatuh cinta yang absurd itu, yang tak kita pahami apa maksudnya dan kemana jalannya, memang menyulitkan. Apalagi ketika kita hati terlanjur dipinang oleh orang yang beda kufu. Entah apapun sisi apa dari diri sang kekasih yang bikin kita gegap-gempita.

Sebab kita ingin, namun tak bisa—atau setidaknya sangat sulit. Bisa jadi ini karena kebanyakan noonton film, khususnya India. Yang perjuangan melawan batas adalah bukti kecintaan. Padahal, berjuang pun tak sesempit melawan komunitas, kan?

Pokoknya ya begitulah. Aku mau berpuisi saja.

Alfabet-ku hanya memiliki dua enam huruf
Aku selalu menggambar dunia dengannya
Berlagk seperti Tuhan
Sekarang, kutahu Ia cemburu
Sebab dua enam jumlah itu
Tak lagi berguna
Tangan kini dipasung hati
Hanya lima huruf yang terlihat mataku
Nama-mu yang terus mengejar nadiku

///

Aku tak biasa dengan sistem. Jadi biarkan setiap kata ini bercerita semaunya. Sahut-menyahut dengan kata sebelum, dan setelahnya. Sesuka hati. Bagai hidup ini yang tak pasti.

Saturday 17 March 2018

Meminta Manja

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Agar tak sempat waktu
Mengenalkan kebencian

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Kata-Mu hidup ini fana
Sayang sekali jika tidak bahagia

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Agar akal dapat belajar
Dengan jujur adil dan tenang

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Karena nyatanya perkara hati belum bisa kita taklukkan
Dan pembolak-balik hati, katanya itu Kamu, Tuhan

Tuhan, sibukkan hatiku dengan cinta
Bersihkan rumah-Mu
Dari kami manusia, yang tak tahu diri ketika bertamu

Musyarofie, malam minggu

Monday 12 March 2018

Harmoncuk

Malam ini mendengkur. Tidak sendu, apalagi menangis. Tidak tersenyum, sebab aku berada dalam rumah. Kemilau bintang tak tertangkap retinaku.

Malam ini mendengkur. Kawan-kawanku tertidur. Dan aku tertimpa kerinduan. Karya-karya para maestro kata dan cerita, mengaduk malamku yang membuat kantuk tak tenang dan pergi.

Rindu ini, bukan atas sesuatu yang hilang, tapi hal yang justru belum pernah datang.

Apa yang pernah temanku bilang, masih terus terngiang sampai detik ini. "Mat, kita adalah tawanan keinginan".

Tuesday 6 March 2018

Di Negeri Arab: Cerita Tentang Manusia

Aku terus berjalan. Melewati bangunan-bangunan tinggi tempat mereka tinggal. Lengkap dengan matahari senja yang lembut, dan nuansa sibuk pulang kerja.

Anak-anak kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu berteriak saling mengejar. Bermain, tawa mereka tak tertahan beban tugas dari gurunya. Memang, seberat apa beban sekolah jika dibanding hidup?

Aku berjalan di peradaban metropolitan. Ibu kota tepatnya. Di negara kecil yang terhimpit dua medan perang yang dipaksakan.

Bungkus Gorengan

Aku bertemu dengannya terakhir kali bulan lalu. Di peresmian bantuan kemanusiaan untuk korban banjir. Acara itu ramai sekali.

Orang-orang penting hadir. Mereka pakai rompi -- pelampung sih sebenarnya. Sebagai tanda atau pesan. Bahwa mereka bersama korban banjir -- bahwa satu derita untuk semua.

Ia tampil gagah sekali di antara para pejabat. Tanpanya, bantuan itu takkan turun. Hebat kan?

Friday 2 March 2018

Keluh Jiwa yang Kecil

Getar kertas di tangan pujangga
Gugup dan geram penyebabnya
Karya adalah anak tanpa malam pertama
Ungkapan rasa yang berbahaya
Hak cipta memasung sastra
Mengikis ruang gerak pesan yang bercita-cita
Apa masalahnya?
Peradaban mendukung perubahan lewat rekening BCA
Tak lagi ada gelora
Sebab semangat dan rasa
Kini terhitung dalam lembaran uang semata
Kita tak lagi mengenal ketulusan yang menghina
Menghina perendahan, pemerkosaan, dan ke-congkak-an penjajah budaya
Puisi kita tak lagi sanggup untuk dibaca
Buku hanyalah nama x harga pasar di Gramedia.

__________

Entah kapan

Tentang Dia

Di scene-scene film Bollywood, kita bisa melihat seorang pria tanpa payung. Berjalan tenang dengan satu pandangan yang menentukan arahnya. Tentu para piguran, entah bisa jadi ayah, ibu, saudara, teman, paman, bibi, sepupu yang patah hati; semuanya dari keluarga wanita. Mereka kaget melihat kehadiran pria yang di kenal. Di kenal memiliki kisahnya bersama sang wanita. Yang saat itu menangis di bawah naungan payung, merangkul anaknya, di hadapan pemakaman suaminya.

Kisah ini tidak sedramatis itu. Kalau pun hujan, si pria pasti bawa payung. Dan meskipun ia memilih waktu kemunculannya di saat pemakaman sang suami, tak mungkin ia menghampiri kekasihnya yang sedang berduka.

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...