Tuesday 6 March 2018

Di Negeri Arab: Cerita Tentang Manusia

Aku terus berjalan. Melewati bangunan-bangunan tinggi tempat mereka tinggal. Lengkap dengan matahari senja yang lembut, dan nuansa sibuk pulang kerja.

Anak-anak kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu berteriak saling mengejar. Bermain, tawa mereka tak tertahan beban tugas dari gurunya. Memang, seberat apa beban sekolah jika dibanding hidup?

Aku berjalan di peradaban metropolitan. Ibu kota tepatnya. Di negara kecil yang terhimpit dua medan perang yang dipaksakan.



Kawasan ini terkenal dengan gaduhnya berita perang di laman-laman koran internasional. Timur Tengah mereka menyebutnya. Sepenggal kawasan Asia yang dihuni belasan negara bermasyarakatkan ras Arab. Sebuah bangsa yang cukup banyak diberi stigma dan prasangka.

Lengkap dari penampilan sampai pola pikir dan hasrat yang terdalam. Begitu terlintas kata “orang Arab”, akui saja gambaran di benakmu jelas sudah jelas. Gamis, sorban, brewokan, Islam; dan Indonesia menambahkan ‘birahi’ sedangkan Barat berkata ‘teroris’.

Dan jujur saja, ketika pertama kali menginjakkan kaki di negeri mereka, ekspektasiku searah dengan stigma diatas. Pengalaman menjadi wartawan, dan mendapati banyak kabar yang serigkali keluar dari stigma rupanya belum cukup membebaskanku dari belenggu prasangka. Dan, setitik kekecewaaan yang tak disadari itu terus bertambah setelah berbulan-bulan aku tinggal bersama mereka.

Aku masih berjalan. Menyusuri gang-gang besar kota. Dan sejauh ini, aku melihat gamis dan segala gambaran yang sudah ada sebelum datang kesini. Namun tak seberapa. Keragaman di depan mata bahkan membuatku mempertanyakan keragaman di Indonesia.

Sebab meski di Jalan Cihampelas kita bisa melihat keragaman suku, tapi secara penampilan mereka menggunakan budaya global yang dikawinkan dengan selera agama. Kim Kardashian tapi auratnya tertutup. Yang laki pakai celana cino dan jaketnya model boyband Korea. Perbedan kultular yang dibanggakan Bhinneka Tunggal Ika itu tak lagi terlihat secara kontras.

Tapi, sepanjang jalan tadi, tak terhitung aku melihat wanita berjubah hitam; sebanyak wanita yang bergaya Kardashian murni–tanpa embel-embel menutupi aurat. Tak juga terhitung perbedaan kontras ini berjalan bersama dan bercengkrama dengan akrab.

Di satu pekarangan apartemen yang baru kulewati duduk tiga orang dengan dua shisha. Dua wanita berjubah hitam dan seorang wanita dengan setelan musim panas Eropa. Mengawasi anak masing-masing yang masih belum mengikuti aliran pakaian orang tuanya. Mereka bermain dengan bebas dan mengundang tawa para ibu yang menghisap shisha. Satu wanita berjubah itu bahkan sedang menyalakan rokok ketika aku merekam mereka dengan mata.

Dengan (tentunya) bahasa Arab mereka bergosip tentang tetangga dan artis-artis–bukan ayat Injil apalagi Quran. Akupun sempat diam saat itu. Duduk di sisi lain jalan dan mendengarkan. Sudah lama tidak mendengar gosip wanita apalagi dengan bahasa Arab. Sesekali aku terkekeh mendengar betapa hebatnya mereka menyuguhkan data dan apa yang disebut fakta soal tetangga baru mereka. Klasik, benakku.

Ketika melanjutkan perjalanan seorang tua kebetulan berpapasan. Dalam sekian detik bertemu pandang aku mengucap salam. Ia pun mengangguk dengan ramah dan jawaban yang juga berbahasa Arab.

Menjelang gelap aku mulai mengambil jalur pulang.

Sebelum masuk rumah kusempatkan mampir ke warung. Mau beli rokok.

“Lucky Strike satu,” pintaku.

“Ahlan habibi, tuan Lucky Strike. Aku tak melihatmu hari ini. Habis dari kota ya?” Basa-basi yang jadi makanan sehari-hari. Sebuah keramahan bangsa Arab yang sayangnya kurang populer di media sehingga gagal jadi stigma.

“Jalan-jalan aja. Bosan diam di kamar.” Jawabku dengan senyum.

“Oh begitu, titip ini untuk Daud. Hadiah dariku.” Seplastik roti bundar dan tipis seperti papyr kuterima. Kawanku Daud memang akrab dengannya, dan hadiah tak menunggu hari spesial untuk diberikan. Persaudaraan yang kuat cukup untuk membuat seseorang dibanjiri hadiah tiap harinya.

Sampai di kamar langit sudah gelap dan aku harus menyalakan lampu. Baru saja berebah, sebuah suara keras terdengar dari luar. Semua yang mendengar tahu bahwa itu kecelakaan. Penasaran membuatku bangkit dan mendongak lewat jendela di lantai empat. Sebuah motor terkapar dihadapan mobil yang menyala. Seorang yang kuduga kuat pemilik motor berdiri tanpa tanda sakit. Berteriak marah sambil mengangkat satu tangan ke udara. Pemilik mobil setengah keluar dari pintu yang terbuka. Saling melempar perkataan marah dan salah. Satpam apartemenku sebagai saksi berusaha menengahi. Beberapa penjaga toko buah pun ikut menambahkan jumlah kerumunan. Biasanya, jika tidak ada orang dan yang terluka, pelaku kecelakaan dengan mudah menyudahi semua ini. Saling berteriak menyalahkan memang harus dilakukan. Setidaknya aksi ini membebaskan emosi agar tak saling melukai. Begitu asik saling maki, tiba-tiba sadar mereka tak punya waktu, dan pergi begitu saja sambil menggeram. Tapi, ketika ada saksi dan yang berusaha menengahi, setitik ego untuk merasa benar mendapatkan pembelaan, dan siapapun bisa memperpanjang ini demi sebuah harga diri dan gengsi.

Yah, tipikal manusia dimanapun mereka berada. Kebijaksanaan memang tertinggal di akting aktor dalam film layar lebar, bukan?

Sudah tahu aku apa yang terjadi dan tak lagi tertarik. Kulanjutkan rebahan dengan sautan marah yang masih terdengar dari jendela.

Semua ingatan itu membuatku menghakimi stigma yang selama ini menguasai pikiran. Berita soal perang dan pemerkosaan memang sering terdengar dari sini. Tapi, setidaknya disudut negeri Arab yang kutinggali, belum kusaksikan satupun apa yang akan jadi penghias laman depan berita dari negeri Arab.

Ditambah beragam memori dan pengalaman yang kualami di luar semua ini. Tawar menawar di pasar yang terkenal suka menaikkan harga pada orang asing. Penjaga perpustakaan yang antusias melayaniku sebab ingin berbicara dengan bahasa Inggris. Supir taksi yang memberikan nomor hp-nya agar aku selalu menggunakan jasanya. Nenek yang marah melihatku merokok di pojok belakang mobil dengan jendela terbuka. Tukang cukur yang asik diajak ngobrol sebab ia jarang bertemu orang non-Arab. Peserta seminar dari Suriah yang bercerita tentang negaranya sebelum perang. Anak kecil yang fasih berbahasa Inggris dan Prancis. Gelak tawa yang menggema di tengah malam dari sekumpulan nokturnal muda di trotoar.

Semua ini membuatku menjatuhkan hukuman mati pada stigma pasar bernama media. Memang penting melihat manusia sebagai sebuah fakta, bukan opini media. Terutama ketika demokrasi masyarakat suatu negara mulai terlibat di kancah internasional. Kita harus bisa memahami, bahwa siapapun yang diberitakan sebuah berita, juga manusia seperti kita. Tak kurang berbudaya dan berpengalaman. Tak kurang berpola pikir dan emosional dengan kita.

Malam itu, lepas merenungi keberadaanku di tengah manusia, aku memandang bulan dari jendela dan bertanya, “Seperti apa cerita di sisi lain dunia yang baru kau saksikan, wahai bulan?”




Pertama diterbitkan colours.id

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...