Thursday 21 December 2017

Pelajaran dari Pengalaman Magang di DPR: Kembali kepada Diri Sendiri

Dalam sebuah pertemuan dengan orang-orang baru, dapat dipastikan setiap orang memiliki stigma tertentu yang dilekatkan kepada orang tersebut. Adapun faktor-faktor yang melandasi adanya stigma itu ialah mulai dari gaya berpakaian dan berbicara, pola pikir, posisi dalam jabatan tertentu, dan sebagainya. Rentetan pengalaman kehidupan setiap individu melahirkan berbagai macam tafsir mengenai yang lain darinya (orang baru), sehingga mau tak mau secara sadar atau tak sadar sebuah persepsi mulai terbentuk ketika menemukan beberapa kesamaan orang satu dengan yang lainnya. Seperti pernyataan Levinas: “Relasi saya dengan orang lain sebagai sesama (manusia) memberikan makna pada relasi saya dengan semua orang lain lagi” (Being for the Other, Is It Righteous to Be?, hal 116). Hal inilah yang penulis rasakan –dengan situasi serta nuansa baru- ketika pertama kali mengikuti kegiatan magang perkuliahan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Thursday 30 November 2017

Melihat tanpa objek

Terbesit dalam sebuah diskusi lintas sekte tentang betapa kompleksnya manusia. Ini semua di sebabkan keterbatasan kita. Jika para ahli, yang mengecap pendidikan sedemikian panjang dan dalam saja masih berbeda pendapat satu sama lain, kita yang masih otw S1 dan masih bertaqlid dan mengambil pendapat ulama sana-sini bisa apa? Keterbatasan kita dalam mengambil pendapat yang ada dicampur keterbatasan memahami pendapat yang kita pilih ditambah keterbatasan pembuat atau pendapat itu sendiri. Keterbatasan x keterbatasan x keterbatasan = unlimited limitation.

Seringkali dalam sebuah perbincangan, gue berusaha menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan keyakinan dan konsep-konsepnya. 

Itu hal yang lazim sebenernya, dan menurut gue perlu. Setiap orang harus punya landasan (logis) dalam keyakinannya. Maka dari itu keyakinan harus dihajar pertanyaan, untuk kemudian dilakukan pencarian jawaban dari keyakinan tsb. Tapi, jika tanpa pencarian, kita berusaha menjawab, itu jawaban datang dari mana? 

Pun seandainya akhirnya jawaban (hasil perenungan) yang keluar cukup memuaskan, dan masuk akal, pada akhirnya tanpa melakukan pencarian kembali pada sumber-sumber dasar keyakinan tsb, nilai jawaban itu terbatas pada interpretasi pribadi, sebuah pembenaran (yang sebenar dan klik apapun itu, tetap) subjektif. Kemungkinan bahwa jawaban tsb berbeda dengan jawaban keyakinan itu sebenernya tetep ada. Dan bisa jadi bertolak belakang. Dan ketika hal ini terjadi, atau ditemukan, keyakinan kita pastinya melenceng dari label yang kita bawa. Dan jatuhnya, kita adalah plagiator, atau pembajak hak cipta sang pencipta keyakinan. 

Jadi yang mau diutarakan itu opini tentang ideologi atau opini ideologi itu sendiri?

Yang mungkin tentang pendidikan; tanpa riset

Bayangkan jika seorang guru tak diwajibkan menulis angka di lembar ujian murid-muridnya. Jika ia tak diminta menyerahkan daftar angka untuk disematkan dalam rapot atau pengumuman hasil ujian yang akan ditempel di mading sekolah. Mereka hanya diminta menyerahkan laporan dan catatan akan pehamaman atau kelayakan lulus siswanya, yang itu pun takkan diserahkan pada orang tua. Tak ada banding-membandingkan.

Pastinya, setiap guru akan membuka mata dan telinga lebih lebar terhadap muridnya. Pastinya ia akan lebih perhatian pada apa yang didengar dan dilihat muridnya. Ia harus paham betul jalur keluar masuk ilmu ke setiap otak muridnya. Sebab untuk setiap anak, ia bertanggung jawab pada eskalasi intelejensia dan pengetahuan otak mereka. Seorang guru, pasti akan berperilaku lebih seperti orang tua dari pada sekedar kasir minimarket. Tukang hitung yang melihat angka sebagai nilai barang waktu dan informasi yang diserahkannya pada murid a.k.a pembeli.

Anak-anak akan lebih perhatian pada guru sebab guru memberi perhatian yang khusus bagi setiap mereka. Mereka tak malu, tak ada persaingan, tak perlu saling berbohong. Tak ada social sin yang memaksa mereka menghalalkan berbagai cara untuk merasa selamat atau sukses. Mereka akan hadir di kelas dan mendengarkan, menjawab segala pertanyaan yang diberikan dengan sepahamnya. Sebab beda pemahaman tak membuat mereka berada di bawah yang lainnya secara hirarki. Kalo pun ada daftar demikian, berdasarkan kadar pemahaman, mereka tak melihatnya di dinding sekolah dengan daftar berurut dari 1-20. Tak ada alasan untuk malu, bodoh-tak bodoh, tak ada alat ukurnya.

Mereka akan benyak bertanya sebab mereka tak merasakan rasa malu atas ketidak-tahuan. Memangnya datang dari mana rasa malu ketika tidak tahu? Ketika orang tua tak merasa bangga bahkan kecewa ketika melihat anaknya berada di peringkat bawah. Yang diartikan bahwa dia tidak tahu atau tak paham atas apa yang diajarkan gurunya. 

Sistem kecil ini; soal penilaian, berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, kecerdasan, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sebab pendidikan, membentuk setiap orang yang hidup disana. Dan masyarakat, atau negara, ditentukan manusia di dalamnya. Dan sistem yang mengatur jalannya hari, memberi batas fokus pikiran dan gerakan; yang pada gilirannya, menentukan tingkat tekanan pada pikiran.

Tuesday 5 September 2017

Ingin Jadi Teroris

Seorang guru berkata: anak itu tak mungkin jadi teroris.

Lucu. Bahkan teroris tak mau jadi sepertinya.

Setiap berita menunjukkan hasrat yang berbeda. Bahkan untuk penjagal berbaju hitam, hasrat mereka ada. Hanya berbeda.

Adakah teroris yang bernyanyi dengan senyap setiap malamnya? Berusaha menangis namun tak pernah bisa.

Mungkin ia terlalu sibuk membunuh dirinya. Hingga tak cukup waktu membunuh manusia tak berdosa.

Anak itu sehari becerita lewat pena-pena. Bahwa ia tak yakin, mana benar mana salah.

Berita-berita hanyalah mengabarkan hal-hal pasti. Pasti benar pasti salah. Dan dia diantaranya.

Baginya itu bukan pujian maupun kutukan. Hanya semilir angin yang tak berbobot sama seperti hari lainnya.

Satu hari ia pernah memuji para teroris bengis. Bahkan iri, akunya.

Hidup yang berwaktu setidaknya punya makna untuk dikejar. Namun hari-harinya hanya duduk diam depan meja belajar.

Tak pernah ada meja kantor yang terisi meski tak satupun absen walau sehari.

Sebab duduk orang-orang adalah terbang. Dan tidur para pekerja adalah mimpi.

Setidaknya, setiap insan punya sesuatu untuk dikejar. 

Dan anak itu, hanya diam tak mendengarkan.

Saturday 22 July 2017

Kepengen

Aku ingin

Aku ingin bangun di pagi cerah

Dengan suara ayam dan ciutan burung di pohon samping rumah

Aku ingin bangun dengan sadar

Sadar bahwa hari ini akan mengasyikkan

Aku ingin bangun

Dengan saluran berita tanpa kabar-kabar kpk

Aku ingin menikmati sarapan itu dengan tenang dan senang

Tenang tanpa berita pemulung yang dirazia

Persimpangan Ombak

Aku mau menjelaskan ini

Kamu melihat itu

Aku mau menjelaskan itu

Kamu melihat ini

Monday 5 June 2017

Nilai Selewat Percakapan

Awal Juni, ketika matahari sedang terik-teriknya. Libur musim panas memindahkan kesibukan dari jalan raya ke pojok-pojok kota.

Semilir angin berdansa 


Di tengah manusia 


Lupa asa


Anak itu berjalan menyisir pantai. Dengan tas selempang berisi buku catatan dan kelakar Zarathustra. Kalau tak salah ia mencari pohon kelapa atau apapun untuk duduk berteduh.

Menyendiri lah bersama orang-orang


Yang menyendiri


Ucap sahabat di pagi hari

Saturday 3 June 2017

Beda yang Sama

Kau menyimpan galaxi di dinginnya mata itu. Dan kurangkum panasnya sahara dalam mata ini.

Setiap tetes manusia di dunia yang datang dan pergi adalah unik. Tak ada yang sama dengan sempurna.

Mungkin itu sebabnya kita selalu berusaha jadi sempurna. Meski dengan cara sedikit lebih unggul dari yang lainnya.

Di dunia yang warasnya adalah berbeda-beda, kesempurnaan mendapat arti memiliki semua yang tersebar di lainnya. Dengan mempertahankan keunikannya sendiri.

Sunday 28 May 2017

​Mati Nikmat: Sebuah Deklarasi

Karena setiap manusia punya hak untuk mati dengan nikmat. Berangkat dari situ, aku menulis.

Banyak slogan kita dengar yang menyatakan mati dengan tenang, mati bahagia, mati sengsara, atau lainnya. Bukan dalam rangka ingin terlihat berbeda, tapi sloganku lahir justru dari sebuah duduk yang lama dan fokus tanpa pikiran tentang manusia lain. Ingin mati dengan nikmat, itu sebuah niat yang serius.

Mati dengan nikmat kulihat--dalam konteks hidup pribadi--sebagai tuntutan bagi keberadaanku. Kenikmatan yang berarti tak diusik perasaan-beban spiritual dan material. Tanpa diintervensi hubungan sosial. Untuk mati tanpa pikiran yang masih menarik kita kembali. Mati dengan perasaan kematian, bukan kehidupan yang akan dilepaskan. Mati tanpa memikirkan kehidupan sebelum kematian dan yang paling penting tanpa dihantui kehidupan setelah kematian.

Mati di saat yang bersamaan dengan kematian. Bisa diartikan juga untuk hidup di saat yang tepat untuk hidup.

Ke-Indah-an

Entah pernah terjadi atau tidak itu perdebatan soal keindahan. Tapi jutaan opini manusia tak pernah berhenti muncul berusaha menjelaskannya. Dari yang paling formal dan resmi seperti tesis para filsuf atau bahkan sekedar gambar sebait puisi di akun sosmed yang ditulis entah siapa.

Aku pun tak luput dari meramaikan ajang itu. Berkelakar seakan penjabaran, pengenalan, dan pemahamannya soal keindahan adalah yang paling paten dan final.

///

Setiap pagi, siang, sore, dan malam, balkon kamarku adalah bangku VIP untuk memandang sekotak jendela tetangga.

Antara tahu dan tidak tahu

Teringat sebuah malam di kamar berisi empat orang. Kami bertiga perokok, satu toleran sama rokok. Maksudnya bukan dari aktifis anti-rokok yang bakal bangunin teman perokoknya dengan ceramah dari mulai isu kesehatan, ekonomi, sampai agama.

Biasanya aku tegas mengambil garis perokok dan non-perokok. Penganut mazhab kondisionalis memang harus tunduk pada situasi kondisi. Bukan semau hati atau seenak akal.

Malam itu, posisi duduk, hawa, dan jiwa lagi asik menikmati satu film. Sebuah karya yang bikin mulut tak kuat pingin hisap rokok. Bagi kami para perokok, menghisap lintingan tembakau tidak melulu soal candu. Tapi sering kali soal perasaan, momen, atau bahkan penghambaan.

Tuesday 9 May 2017

Gosipin Agama sama Sains dulu, gan

“Aku tak menyembah-Mu untuk menghindari neraka, karena itu ibadah para budak. Aku tak menyembah-Mu untuk mengejar surga, sebab itu ibadah para pedagang. Aku menyembah-Mu karena Kau layak untuk disembah. Inilah ibadah orang yang bebas.”

(Ali The Commander of The Faithful)

Diatas adalah pernyataan super sombong dari seorang yang hidup ribuan tahun lalu.

Wednesday 19 April 2017

Merangkum 5 Bulan 20 Tahun

Sebagai manusia aku pernah pecah. Jatuh ke tanah dan jadi puing berantakan.

Memang Rumi pernah bilang kalau manusia adalah pecahan cermin Tuhan. Saat itu aku terpaksa melupakannya dulu. Kalau pecahan pecah, bagaimana bisa bersatu dengan yang lain jika tidak sempurna.

Dalam pencarian puing-puing diri aku pakai mesin pencari di internet. Katanya sebuah puing menusuk turis bule di pesisir pantai mediterania. Lebih tepatnya, negeri Laban.

Tuesday 18 April 2017

Bawalah Gitar ke Pemakamanku, Kata Rumi

Tentu aku tak bawa gitar ke pemakaman itu. Meski pengikut garis keras Rumi, rupanya tradisi masih lebih kuat mengikat. Pemberontakan budaya itu tersisa di pakaian saja. Aku datang dengan pakaian putih.

Sudut pandang kematianku sudah berubah. Kulihat kematian sebagai pembebas yang tak berkhianat. Jika hidup berarti harus berpihak pada perang atau damai, pada kelaparan atau kerakusan, pada pencuri ayam atau koruptor, maka lebih baik berpihak pada kematian. Ia tak dikotori pilihan suci, apalagi kotor.

Kok nuduh Takdir?

Tidak ada satupun dari kita yang memilih untuk hidup. Seandainya memilih, apakah kita akan tetap memilih hidup?

Selain itu, perkara rahim sampai nama semua bukan pilihan kita. Bahkan sampai umur satu atau dua tahun pakaian tidak kita pilih sendiri. Hanya Musa yang memilih sendiri asinya meski baru lahir.

Lambat laun kita mendewasa.

Sekolah pun dibangun demi mengisi hewan-hewan ini agar menunjukkan kemanusiaannya.

Monday 17 April 2017

Surat Tjinta

Aku tak pernah menulis surat yang diuntukkan seseorang, apalagi surat cinta. Tapi izinkan aku memulai surat ini padamu, di luar semua kaidah surat cinta, dengan: aku benci padamu.

Jika ukuran kebencian saat ini adalah 1 sampai Joffrey Baratheon, maka posisimu setelah bang Joffrey.

Aku benci padamu, apalagi ketika rasa takut mengalahkan logika. Tidak, kau bilang takut itu berlandaskan pikiran logis. Tapi kau mengabaikan begitu saja kelogisan kemungkinan yang tak ada rasa takut di dalamnya. Kau takut jatuh, iya. Takut gagal, takut tercela, takut membayangkan tatapan rendah dan remeh dari orang yang tak ada urusannya. Kau penakut, takut pada ilusi yang kau ciptakan sendiri dan belum tentu terjadi.

Aku benci padamu, yang tak pernah bisa fokus. Cita-citamu tinggi, pandanganmu cukup luas dan melewati batas waktu. Namun di balik kutukan terhadap arogansi dunia, kau menikmati arusnya. Kau menonton sesuatu, membaca sesuatu, dan memperhatikan sesuatu lalu tercerahkan. Semangatmu menggebu mengajakku merubah segala yang salah. Namun dua langkah, kau ajak aku kembali untuk cari inspirasi dari sumber-sumber lain lagi. Inspirasi baru, semangat baru, dan sebuah pekerjaan dan mimpi baru, yang kapan tercapai kita takkan pernah tahu.

Aku benci padamu. Kau munafik kecil. Kau menyadari segala kebenaran tentang dirimu. Kau tahu obat apa yang mampu mengembalikan air mata itu. Tapi kau memilih menikmati kesengsaraan itu. Kau dengar rontaan gadis kecil dalam hatimu. Kekeringan kasih sayang dan kesejukkan air mata yang buat tenang. Tapi kau duduk sendirian berfatwa bahwa kita harus punya rasa untuk menikmatinya. Kau tak suka, tapi kau terlena.

Aku benci padamu, yang membuatku tak tahan lagi menuliskan kebencianku. Tapi cinta dan benci nyatanya sama. Gradasi alasan yang menjarakinya. Mungkin kau akan bertanya, apa arti semua ini. Aku adalah sahabatmu, juga kekasihmu, begitulah pikirmu. Tapi lihatlah, sebelum kau tanya, setiap benciku beralasan dan punya sebabnya sendiri. Beginilah ketika cinta menemukan banyak alasan, ia terdegradasi ke level benci.

Aku terus melihatmu dari jauh dan dekat, dan ingin menamparmu dengan perkataan yang dapat membuatmu hidup dengan kenikmatan sesungguhnya. Sebab sakitmu adalah sakitku. Dan apa yang aku sebut cinta ini, yang membuatku dapat mengurai segala kebencian ini.

Yang tersayang, Diriku
Dari,
Aku.

Wednesday 22 March 2017

Imanku bernama Ketakutan

Kebenaran agama saat ini lebih banyak 'dibuktikan' ketakutan.

Advokasi oleh akal di hadapan pengadilan realitas mulai miskin proyek. Ketakutan menyuap realita sampai pelaku pemikiran sehingga tak berani menuntut kebebasannya.

///

Tidak ada satupun dari kita yang sanggup memilih keluarga tempat dilahirkan. Dan ketika sudah terjadi, semua sudut pandang pikiran akan ditentukan tempat kita dibesarkan. Agama, menjadi salah satu budaya doktrin turun-temurum yang sangat populer sejak berabad-abad lalu.

Saturday 11 March 2017

Baca ini, Waktu

Oo mentariku di malam hari, kuadukan padamu waktu yang tak tulus bersekutu

Aku terkagum oleh proyeksi masa depannya

Dan kebingungan atas kehampaan eksistensi saat ini

Lalu kecewa melihat kebelakang dalam kubangan kesia-siaan

Jangankan kita bicara soal dunia yang penuh tanda tanya

Juga keadilan yang terus dinantikan kedatangannya

Semua pisau waktu lengkap menusuk punggung dan dadaku

Bagaimanapun tubuh ini adalah duniaku

Yang terperangkap dalam dunia-mu

Monday 6 March 2017

Ingin tidak ingin, kita adalah Centipide

Lewat kacamata penciptaan, kita menjadi diri kita yang saat ini berdasarkan kesiapan, bukan potensi. Begitu pikirku sebagaimana doktrin yang masih kuamini, bahwa tuhan memberi potensi dan pencapaian adalah pilihan.

Keinginan-keinginan besar dalam hatiku selalu menyeret diri pada pengadilan akal. Kenapa kau belum juga merilis buku? Kenapa kau tidak memiliki pasangan? Kenapa kau tidak menjadi revolusioner meski dalam lingkaran yang terkecil?

Dalam perenungan diri yang sering terjadi--entah dengan congkak atau tidak--aku selalu mengakui bahwa kapasitasku melebihi segala keinginan yang belum tercapai.

Friday 3 February 2017

Prematur Cinta

Apa yang kita tahu soal cinta selain pengorbanan dan kelemahan?

Jatuh cinta menjadi sebuah kebodohan yang perlahan disadari korbannya. Setidaknya itulah yang kita dapatkan dari beragam pengalaman yang terdengar dan terlihat.

“Dalam cinta terdapat hasrat, sedangkan persahabatan hanya mengenal kedamaian”

Monday 23 January 2017

Ketika tak bisa beli rokok

Uang adalah kekuatan. Pemikiran ini selain bepengaruh pada dunia perpolitikan manusia sampai ranah terkecil, tapi juga dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Merasa miskin adalah mimpi buruk bagi hampir seluruh manusia. Apalagi ketika seorang perokok tidak punya sepeser pun untuk beli sebatang rokok. Itu adalah parameter bagi dirinya atas kemiskinan. Tak peduli bahwa pada realitasnya, ketiadaan uang itu takkan membuatnya mati kelaparan sebab ia tinggal di rumah orang tua, atau saudara, atau asrama, atau sedang bersama teman-temannya. Pada titik ini bisa dilihat bahwa miskin dirasakan ketika kita tak punya lagi kekuatan—dalam bentuk uang—untuk melakukan kebebasannya, baikpun kebebasan merusak diri atau melawan norma.

Saturday 21 January 2017

KW adalah Ori yang Baru

​Aku tak yakin apakah ada yang benar-benar asli di dunia ini. Maksudnya, orisinil.

Setiap zat di udara adalah kombinasi dari zat-zat lain. Air, udara, tanah, api. Plastik, besi, benang, emas. Semen, sepatu, rokok, komputer. Kertas dan tinta.

Friday 20 January 2017

Pondasi Keabadian

“Dokter, tolong simpan ini untuk kita berdua. Jangan kabarkan yang sebenarnya bahkan pada kepala sekolah. Saya bukan orang pertama yang anda vonis kan? Anda sudah melihat beragam ekspresi mendapat vonis ini. Saya yakin anda ikut merasakan sakit karenanya. Maka saya mohon, sekali ini, untuk saya, biarkan saya yang megurus semuanya. Tolong.”

Thursday 19 January 2017

Merokok adalah Berpuisi

Tulisan tentang penggusuran tak harus ditulis di tkp, bisa aja di angkot pas pulangnya. Begitu juga tulisan tentang gejolak rindu perokok, belum tentu ditulis saat merokok, belum tentu dia perokok, juga belum tentu dihujam rindu!

Sendu itu ketika perokok sendirian di pinggir jalan atau balkon asrama. Tengah malam mengolah rasa menjadi karya. Namun, ditengah tengah malam menjepit rokok di bibirnya tanpa korek yang sanggup menyala. Semua tidur, dan tak ada yang bisa digunakan mengganti api.

Panjang Umur Nasi Goreng

Seorang Kanada pernah berkata bahwa Indonesia lebih bebas daripada negara sekaliber Amerika. Eksistensi kita dipinggir jalan dengan modal dan ijasah pas-pasan cukup untuk menghidupi keluarga.

Kita bisa menyebrang dimanapun diinginkan. Merokok dimanapun. Dan olah tanah jadi apapun asal mampu.

Ini warna negara yang mau saya bilang terbaik atau tidak, nyatanya cuma soal lebih terbiasa atau tidak.

Nama Seorang Tas

Setelah dua tahun berpisah, akhirnya dua sahabat bertemu kembali.

Di satu kamar yang sesak oleh asap rokok:

“Gue kenal kayaknya tas itu”, temannya yang baru pulang merantau tak mengganti tas selama tiga tahun. Dan dia ingat itu.

“Oiya? Siapa namanya bro?”

“Asep”, becandaan itu diladeni.

“Bukan bego. Gausah sok kenal. Namanya Nuh”

Seekor Manusia

Sesekali aku ingin melihat mereka yang berjalan sebagai manusia. Ketika mereka tersenyum saat berpapasan, memalingkan pandangan seperti tak ada apa-apa, mengucap maaf tanpa memperlambat langkahnya, atau sekedar memandang penuh arti sampai tak bisa saling melihat lagi.

Mereka pasti lebih dari sekedar itu. Ada cerita, perasaan, pergulatan pikiran dalam kemarin yang mereka lalui.

Manusia Pembolak-balik Hati

Apakah kita benar-benar punya kuasa atas hati?

Satu malam seseorang tak tahan emosinya dan berniat memaki anak muda yang memecah keheningan malam dengan suara motor yang bising. Sampai di pelataran rumah, abg itu langsung teridentifikasi. Ia perhatikan, sambil mengumpulkan semua kosakata yang pantas diterimanya.

Sampai pada titik dimana abg ini tiba-tiba berhenti di sebelah mobil dan parkir begitu saja. Ia perhatikan, dan tahan makian. Waktunya gak pas. Abg itu terlihat asik dan akrab dari cipika-cipikinya dengan pemilik mobil di kursi depan. Dan ber-ulah menahan pintu mobil ketika pengemudi itu mau keluar. Tawa pun pecah menggantikan bising motor beberapa saat tadi.

Selinting Persahabatan

Untuk apa merokok?

Itu pertanyaan lucu buatku. Karena ketimbang menjawabnya, aku selalu tertawa.

Untuk apa keliling pasar ber-ac untuk memilih warna dan merk pakaian? Untuk apa bercermin lama-lama? Untuk apa menghabiskan uang banyak makan di warung ber-ac ketika ibu juga memasak? Untuk apa memasang alarm tengah malam untuk kuota malam? Untuk apa membeli waktu berlari di atas mesin ketika bisa berlari di lapangan atau komplek sekitar? Untuk apa bermain game ketika berbincang dengan sesama lebih berkesan?

Kelebihan Tuhan

Sebuah pemandangan yang lebih indah dari Raja Ampat baru saja terbesit dalam pengalamanku.

Seorang pria menarik tubuh wanita yang hampir tertabrak taksi saat hendak menyebrang. Wanita ini menggunakan headset dan menatap ponsel. Dan setelah menyadari posisinya yang terselamatkan dari maut, satu yang ia ucapkan meski tampilannya cukup relijius: terima kasih, tuan!

Bayi Dewasa



Aku akan berpura-pura menjadi bayi.

Untuk memberi gambaran sesuatu yang murni. Tanpa prasangka hanya rasa penasaran dan ketertarikan yang luar biasa. Untuk mengenal, baru belajar sesuatu darinya.

Untuk mengajari kita menjadi diri sendiri. Sebagai cermin yang menunjukkan betapa kita pernah menjadi calon ilmuwan segala bidang. 

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...