Thursday, 19 January 2017

Seekor Manusia

Sesekali aku ingin melihat mereka yang berjalan sebagai manusia. Ketika mereka tersenyum saat berpapasan, memalingkan pandangan seperti tak ada apa-apa, mengucap maaf tanpa memperlambat langkahnya, atau sekedar memandang penuh arti sampai tak bisa saling melihat lagi.

Mereka pasti lebih dari sekedar itu. Ada cerita, perasaan, pergulatan pikiran dalam kemarin yang mereka lalui.

Setiap kita seperti pusat dari segala yang terjadi di dunia. Kita telah menjadi pusat hanya dengan bisa melihat 360 derajat.

Belum lagi pengaruh yang kita berikan pada ruang yang kita tempati. Alam pun tak bisa melawan pengaruh karakter utama ini: manusia.

Kita masuk ruangan dan akan mempengaruhi suhu yang ada dengan panas dalam tubuh kita. Kita bergerak akan jadi sebab kembang-kempisnya tekanan udara sebuah ruangan. Dan ketika kita muncul dihadapan sahabat atau kerabat dekat, perubahan suasana akan terjadi.

Kita adalah pusat dunia. Sukses gagal hidup yang kita lalui tidak ditentukan sutradara apapun. Tapi kalau kita menyerahkan hidup kita pada seseorang, saat itu kita kehilangan esensi dari menjadi pusat dunia. Seseorang atau sesuatu tidak akan bisa menentukan laju hidup kita sampai kita sendiri yang menyerahkan kemudi.

///

Aku ingin melihat mereka dan kalian sebagai manusia.

Seorang nenek tua dengan selinting tembakau di tangannya duduk sendirian di pekarangan apartemen. Berteriak tanpa kemarahan pada layar telpon genggam. Mungkin sinyalnya jelek. Tapi kebetulan sekali yang berbicara adalah anak tunggalnya—mungkin. Maka ketimpangan umur dan peradaban kekinian tak membuatnya berkecil hati untuk berusaha berkomunikasi dengan cara paling canggih saat ini. Ingin rasanya bertanya pada keriput di keningnya, apa saja yang sudah disaksikannya.

Seorang wanita setengah baya berdandan menor di penghujung bulan pertama. Memarkir mobil di depan minimarket dengan posisi yang membingungkan—mengambil setengah jalan. Mobil itu jadi terlihat sedang galau berpikir ingin maju atau mundur, berhenti atau lanjutkan perjalanan. Tapi sang wanita berjalan dengan acuh. Wanita kaya. Itu kesanku. Apakah ia pernah merasa miskin sampai bekerja sedemikian rupa agar menjadi kaya? Atau ia hanya terlihat kaya untuk menutupi perasaan miskinnya?

Seorang sahabat dari Afrika melewatiku dan menyebut namaku tatkala kami berpapasan. Selinting pemikiran terselip di jari kanannya. Aku mengakhiri papasan ini dengan senyuman. Umurku dan umurnya tak terlalu jauh. Aku jadi penasaran, sakit hati macam apa yang pernah dialaminya? Pernahkah ia jatuh cinta? Atau kegelisahan apa yang ia simpan untuk Tuhan? Apakah ia benar-benar memikirkan eksistensinya di hadapan Tuhan dan mempertanyakan segalanya sebagaimana kita semua saat baru dilahirkan? Banyak sekali pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya. Namun pasti, tembok privasi sangat tebal dan kokoh sekali.

///

Banyak cerita yang bisa diceritakan setiap tubuh yang bergerak. Bahkan otot-otot kaki kijang pun mengingat betapa menegangkannya hari itu—ketika seekor singa betina berkompetisi dengannya dalam mempertahankan hidup mereka. Hanya mereka tak bisa ku wawancara.

Kita punya kisah kita masing-masing. Menarik atau tidak, tergantung sudut pandangnya. Wartawan selalu ditantang untuk mencari sudut pandang yang menarik bahkan dari persidangan perceraian artis yang bukan siapa-siapa. Berita rumah tangga orang yang selalu ramai mengundang perusahaan beriklan adalah bukti bahwa segala sesuatu bisa menarik—berdasar sudut pandang. Terlepas seberapa penting itu semua.

Kita punya kisah kita masing-masing. Dalam lembaran sejarah yang belum tertulis kecuali dalam ingatan dan keputusan. Setiap keputusan dan pilihan yang kita ambil adalah hasil dari bertahun-tahun waktu kita lewati. Maka penting rasanya memilih pengalaman.

Sebab tidak setiap patah hati membuat kita ramah pada mereka yang berusaha menghibur. Tidak setiap kegagalan membuat kita jadi dermawan. Tidak semua buku, membuat kita belajar sesuatu.

Begitu ya manusia. Selalu berpengaruh juga dipengaruhi. Seakan terpecah-terpisah, namun rupanya satu sejarah.

Minggu, 15 Januari 2017

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...