Merasa miskin adalah mimpi buruk bagi hampir seluruh manusia. Apalagi ketika seorang perokok tidak punya sepeser pun untuk beli sebatang rokok. Itu adalah parameter bagi dirinya atas kemiskinan. Tak peduli bahwa pada realitasnya, ketiadaan uang itu takkan membuatnya mati kelaparan sebab ia tinggal di rumah orang tua, atau saudara, atau asrama, atau sedang bersama teman-temannya. Pada titik ini bisa dilihat bahwa miskin dirasakan ketika kita tak punya lagi kekuatan—dalam bentuk uang—untuk melakukan kebebasannya, baikpun kebebasan merusak diri atau melawan norma.
///
Kita pasti benci perasaan itu. Tak berdaya, lebay-nya.
Pada dasarnya, miskin itu ada dua: sebagai rasa dan label.
Miskin sebagai rasa adalah kondisi kehidupan yang nyata, namun tidak sesuai dengan keinginan—tidak mencapai target pribadi di alam ide. Hal ini bisa dirasakan oleh seorang direktur freeport sekalipun. Sebab dalam dunianya—yang dikontrol pikirannya sendiri—ia punya standar kesejahteraan. Maka ketika tak kesampaian, merasa miskinlah dia.
Atau yang lebih sederhana, ketika seorang anak menginginkan sesuatu namun tak punya daya (uang, kekuatan) untuk menggapainya. Pasti merasa miskin dia. Jadi ini sekedar perkara pikiran. Ketika kebutuhan (dipaksa) melebihi kemampuan. Walaupun menurut stadar bertahan hidup rimbawi atau kesejahteraan sosial di lingkungannya dia sudah mumpuni, tak berpengaruh apapun karena manusia adalah budak pikirannya sendiri.
Yang kedua: miskin sebagai label.
Setelah miskin sebagai rasa itu terjadi oleh diri, dari diri, dan untuk diri sendiri, miskin sebagai label kebalikannya: terjadi di luar. Ini yang biasa disebut oleh anak muda putus asa dan menyedihkan (desperate) sebagai tekanan sosial (social pressure). Karena label ini diberikan oleh lingkungan dan tetangga, bahkan sistem dan negara. Sama seperti yang pertama, standar hidup di rimba tidak melulu dijadikan dasar—untuk tidak mengatakan sama sekali tidak.
Label ini lahir dari harapan atau pencapaian yang sepakat-tidak sepakat ditentukan pemberi label. Bisa itu masyarakat sekitar kita, lembaga statistik swasta, negara, bahkan NGO Eropa.
Maka kita sering melihat, bapak tukang bubur memberi sarapan gratis sebagai tenaga kerja pemulung yang akan keliling kota. Atau pemulung itu memberi sedekah pada pengemis buta di atas jembatan penyebrangan. Sebab kedua jenis miskin itu, sama-sama tidak nyata. Yang pertama lebih sering lahir dari rahim yang kedua. Dan setelah korbannya makin banyak, jadilah mereka sekumpul masyarakat yang memberi label, stigma—jenis yang kedua.
///
Ketidak-berdayaan kantong kosong adalah dari jenis yaang pertama. Sebab jauh sebelum masyarakat membangun persepsi keinginan di pikiran kita, keinginan untuk bebas—yang pada akhirnya diartikan dengan pemahaman masing-masing soal kebebasan—sudah lahir bersama ari-ari kita ke bumi. Dan sayangnya uang sudah sangat dalam meracuni akal sehat peradaban manusia. Sampai-sampai kita mencampakkan kebebasan batin kita sendiri—ketika tidak punya uang.
“Uang itu tidak nyata, George. Ia hanya terlihat seakan nyata”, kata ayah kepada George Jung saat ia masih kecil.
Minggu, 22 Januari tanpa gaji 2017
No comments:
Post a Comment