Thursday 21 December 2017

Pelajaran dari Pengalaman Magang di DPR: Kembali kepada Diri Sendiri

Dalam sebuah pertemuan dengan orang-orang baru, dapat dipastikan setiap orang memiliki stigma tertentu yang dilekatkan kepada orang tersebut. Adapun faktor-faktor yang melandasi adanya stigma itu ialah mulai dari gaya berpakaian dan berbicara, pola pikir, posisi dalam jabatan tertentu, dan sebagainya. Rentetan pengalaman kehidupan setiap individu melahirkan berbagai macam tafsir mengenai yang lain darinya (orang baru), sehingga mau tak mau secara sadar atau tak sadar sebuah persepsi mulai terbentuk ketika menemukan beberapa kesamaan orang satu dengan yang lainnya. Seperti pernyataan Levinas: “Relasi saya dengan orang lain sebagai sesama (manusia) memberikan makna pada relasi saya dengan semua orang lain lagi” (Being for the Other, Is It Righteous to Be?, hal 116). Hal inilah yang penulis rasakan –dengan situasi serta nuansa baru- ketika pertama kali mengikuti kegiatan magang perkuliahan di Dewan Perwakilan Rakyat.



Pertama kali memasuki gedung ini, penulis merasakan aroma kepentingan yang kompleks dan luar biasa ketika pada satu momen disodorkan sebuah pemandangan dua orang berpakaian formal sedang berbincang-bincang dengan penjagaan dari satuan pengamanan. Dari situ, terbesit sebuah ekspetasi yang sempat penulis hindari terlebih dahulu agar percakapan dengan MP (Member of Parliament) nantinya tidak dipenuhi buruk sangka atau semacam menuduh tanpa dasar. Seperti yang kita ketahui, perilaku anggota DPR beserta sistem kelembagaannya yang ditampilkan oleh media tidak jauh-jauh dari ungkapan bobrok, penuh intrik, muslihat, dan lain-lain. Apalagi ditambah hasil survei yang mengemukakan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga DPR lebih rendah dari institusi-institusi negara lainnya, sehingga kecenderungan menggeneralisir semua anggota DPR berwatak kotor mencuat kembali ke dalam kepala.

Sesampainya di ruangan MP, penulis akhirnya berkenalan dengan tim tenaga ahli beserta staf-staf yang sudah melaksanakan pekerjaannya. Saat itu penulis sudah mempersiapkan apa saja yang ingin dibicarakan dengan MP, sayangnya ia belum juga datang. Sampai pada akhirnya ia muncul tepat setelah adzan Dhuzur, penulis kemudian mencoba membuka percapakan mengenai kegiatan magang. Namun justru pembicaraan dengannya tidak lebih dari 3 menit, dan setelah itu hingga pertemuan terakhir penulis tidak pernah bertemu dengan MP kembali. Ketidakjelasan penulis dalam proses magang guna mendapatkan pengetahuan baru mengenai perpolitikan Indonesia justru menimbulkan sebuah dugaan bahwa kepentingan-kepentingan besar dan mengasyikkan yang diemban setiap politik berhasil menenggelamkan pandangannya terhadap hal-hal mendasar, yakni menghargai orang lain. Padahal, hanya dalam pertemuan dengan manusia lainlah lahir apa yang disebut ‘yang etis’ -the ethical- (Levinas, Ibid) agar proses pengidentifikasian antar person dapat dilakukan.

Walaupun begitu, penulis tetap berusaha mencari-cari apa saja hal-hal baru yang perlu diketahui dan dilakukan, beberapa di antaranya yakni mengikuti serta mengamati agenda Rapat Paripurna dan Badan Anggaran, mencetak berkas-berkas atas perintah tim ahli, membuat Kartu Tanda Pengenal tim ahli yang baru direkrut, dan sebagainya. Semua kegiatan tersebut memiliki pelajaran tersendiri bagi penulis, khususnya terkait dengan bagaimana proses rapat yang baik dan benar, mendapatkan informasi-informasi khusus dari para politisi (menguping), meningkatkan daya analisa, dan mengetahui bagaimana proses interaksi sosial antara para anggota DPR kepada sesamanya, kepada TA dan Stafnya, serta kepada mahasiswa magang.

Krisis Identitas

“Jika sesuatu yang anda inginkan tidak terjadi, maka senangilah yang terjadi.” Begitulah ungkapan dari Imam Ali bin Abi Thalib yang menjadi obat bagi penulis agar tidak mudah menyesal setelah mengikuti kegiatan magang. Hanya saja, tersisa sebuah penasaran terkait dengan sikap acuh tak acuh dari MP serta beberapa anggota DPR yang terlihat sama dalam proses interaksi dengan penulis. Untuk mencari tahu mengapa lembaga DPR menjadi lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik, kita perlu kembali melihat bagaimana diri setiap anggota DPR terlebih dahulu. Menurut penulis, permasalahan utama dari kacaunya lembaga DPR ini ialah krisis keidentitasan. Rasio pribadi ala Betrand Russel masih menggema di alam pikiran para anggota DPR yang merasuk secara tidak sadar melalui proses serangan budaya-budaya asing, sehingga sifat-sifat yang tertera pada setiap diri cenderung indivualistik, egoistik, dan sesuka hati.

Nilai-nilai kebangsaan tertelan buaian-buaian kepentingan pribadi yang penuh hasrat ambisius meraih harta berlimpah serta kekuasaan. Korupsi dan nepotisme masih menjebak dan menjerat tokoh-tokoh penting dalam perpolitikan Indonesia. Rasa malu semakin menipis karena budaya kotor telah dianggap sebagai produk dalam negeri yang asali dan tak bisa dihindarkan. Arah tujuan para anggota DPR yang masih memiliki hati terhalang oleh ejekan-ejekan halus dalam proses adu mulut dalam sidang paripurna dari para bandit yang mengaku sebagai perwakilan rakyat. Kopiah dan batik sekedar souvenir-souvenir belaka, sementara jiwa tidak mencermikan wajah Indonesia. Benar kata Muhammad Iqbal: “Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup di dunia yang diciptakan oleh manusia lain” (Miss Luce-Claude Maitre, Introduction to the Thought of Iqbal, terj. Djohan Effendi, [Bandung : Mizan, 1981] hal 13).

Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan strategi dan propaganda dalam bidang kebudayaan dengan skala masif terhadap masyarakat Indonesia. Calon-calon penerus bangsa patut mendapatkan kesempatan untuk belajar tradisi dan nilai-nilai kultural yang penuh makna. Di mulai dari sistem pendidikan yang dirombak guna menangkal upaya-upaya pe’reduksi’an kesadaran masyarakat, lalu dikembangkan upaya-upaya menyatukan kesadaran masyarakat guna mempersiapkan generasi yang matang secara pikiran dan perasaan, khususnya bagi mereka yang ingin berkecimpung di institusi DPR. Satu pesan juga bagi kalian yang penasaran untuk mengikuti magang di DPR, carilah informasi MP-MP secara mendetail agar terhindar dari kegiatan yang sia-sia. Jika aktivitas-aktivitas magang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, kembalilah kepada diri sendiri.

Muhammad Baqir Idrus Alatas

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...