Tuesday 18 April 2017

Bawalah Gitar ke Pemakamanku, Kata Rumi

Tentu aku tak bawa gitar ke pemakaman itu. Meski pengikut garis keras Rumi, rupanya tradisi masih lebih kuat mengikat. Pemberontakan budaya itu tersisa di pakaian saja. Aku datang dengan pakaian putih.

Sudut pandang kematianku sudah berubah. Kulihat kematian sebagai pembebas yang tak berkhianat. Jika hidup berarti harus berpihak pada perang atau damai, pada kelaparan atau kerakusan, pada pencuri ayam atau koruptor, maka lebih baik berpihak pada kematian. Ia tak dikotori pilihan suci, apalagi kotor.



Tapi nyatanya kemanusiaan tak tega meninggalkanku. Sedih tetap ada. Melihat guru yang begitu berjasa dalam kehidupan ini menuju alam yang bebas, rasa senang gagal menahan jatuhnya air mata.

Kuhabiskan waktu mematung memperhatikan keluarga sang guru yang terjatuh lemas di atas makam. Para kerabat dan rekan kerja satu-persatu pergi.

“Jadi cuma sampai sini pertemanan itu…,” aku bergumam.

“Kata siapa?” Sebuah suara menjawab dari belakang.

Aku berpaling. Pria paruh baya dengan setelan pantai. Wajahnya asing. Aku tak yakin kita pernah bertemu.

“Guru yang hebat, hah?” Tanyanya yang kini berdiri sampingku. Ia tersenyum memandang makam guruku. Siapa dia? Aku tak ingat guru bercerita soal teman-temannya.

“Sampai saat ini, iya,” jawabku, berhenti memperhatikannya. Biarkan ia sendiri memperkenalkan dirinya, pikirku.

“Kamu juga murid yang hebat, katanya,” ah, dia bicara soal diriku?

“Haha, apa artinya sekarang jika dia tak lagi menjadi guru? Tak ada yang bisa jadi muridnya sekarang,” jawabanku terdengar meyakinkan.

“Begitulah kematian. Bukankah Rumi menamai momen ini sebagai pernikahan dengan keabadian? Kau harusnya lebih tahu”

Aku makin yakin ia adalah sahabat dekat guruku. Cara bicaranya pun hampir sama, ditambah pilihan gayanya yang melawan kebiasaan.

“Lantas?” Tanyaku.

“Kau pikir siapa yang sedang Rumi bicarakan? Seonggok mayatnya yang ditelan bumi? Tidak. Otak manusia berhenti berkarya dalam kuburnya. Tapi sang murid masih memegang pena di atas meja”

Aku mulai menikmati pembicaraan ini, “sedekat apa kau dengan guruku?”

“Tidak juga. Kupikir jarak kami cukup jauh. Setidaknya itu yang kurasakan”

“Tapi bicaramu seperti dia. Pilihan pakaianmu juga menunjukkan kau berpikir mirip dengannya. Di jaman ini, jarang kita temukan pemberontak tradisi. Apalagi setelah kematian guruku. Setidaknya kau salah satu yang dekat dengannya”

“Sudahlah, siapa aku tak penting bagimu. Jangan tambah daftar pemakaman yang akan kau hadiri nanti. Lebih baik kita abadikan dia dalam keseharian kita. Kenapa kau tak bermain gitar?”

“Hah, kupikir kau tahu jawabannya”

“Hahahaha, kita manusia yang lemah, ya”

Kami berhenti bercakap. Pria itu melangkah maju menghampiri istri guruku yang duduk di samping nisan. Berlutut dan menaruh tangan di dada, sepertinya menyampaikan bela sungkawa.

Hanya beberapa detik, ia kembali ke arahku. Tanpa bertemu pandang, melewatiku begitu saja.

Aku penasaran. Kurasakan kehadiran guruku dalam kalimat-kalimatnya. “Hei! Setidaknya tinggalkan namamu!” Sedikit teriakanku membuatnya berpaling.

“Kita tidak akan bertemu lagi. Kupastikan itu. Kau hanya mengingatkanku pada orang yang tak bisa kuajak tertawa lagi, ia sudah tiada”

Aku hanya tertawa kecil sambil menunduk.

“Jadilah lebih baik dari gurumu. Dengan itu kau membuatnya tetap hidup. Aku sudah mati dan terkubur disana,” ia menunjuk makam guru. “Tapi dunia akan mengenal namanya, gurumu dan sahabatku itu. Lewat tangan ini dan tangan itu, identitas kita tak lagi berharga. Kita tak akan berjumpa, kecuali dengan nama yang sama… Nama-nya.”

Ia tersenyum sesaat, dan berpaling melanjutkan langkah.

Sudah kuduga, ia pasti sahabat dekatnya.

__________

Mengenang ATe Jufry

23 Maret 2017

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...