Itu adalah pertanyaannya. Teman-teman di sekitar tertawa. Apa maksudnya? Benak mereka.
“Pertanyaanmu aneh seperti biasanya. Kita tak punya jawaban, juga seperti biasanya.”
Tongkrongan langsung mengalir ke arah pembicaraan lain. Seperti biasanya.
///
Pandanganku berubah. Aku tak lagi melihat banyak hal asik seperti biasanya. Sejak awal keputusan terbang ke Lebanon diambil tiba-tiba, aku mengenal perasaan itu. Sama seperti ketika aku tiba-tiba disuruh pergi ke Jogja oleh ayah. Untuk mengamati dan mengambil pelajaran dari kawannya yang membangun kampung filsafat. Tanpa tuntutan pencapaian yang jelas, ayahku menyuruhku pergi kesana membawa beberapa kawan. Aku bergetar, dan serasa ringan untuk bergerak. Seperti ketika kita bangun hari Sabtu setelah Senin sampai Jumat rutin olah raga di gym. Ya, seperti itu.
Ayahku tiba-tiba datang ke kamar di satu sore minggu tenang sebelum UAS semester empat. “Bagaimana kalau kau ke Lebanon tahun ini?”
“Bagaimana dengan kuliah?”
“Ya, di skip dulu. Kalo bisa cuti ya ambil cuti. Kalau tidak, ya tinggal saja, tak apa kan?” ia benar-benar tahu anaknya. Aku benci sekolah.
“Hahaha,” aku tahu mengapa aku tertawa saat itu. Tapi kalau kau tanya, aku tak tahu jawabannya. “Yah, tanya ibu dulu.” Kubilang. Aku tak ingin mengambil keputusan besar tanpa pertimbangannya.
Tak terbayang ibuku langsung sepakat. Ia lebih senang aku pergi jauh bertahun-tahun mempelajari ilmu yang ia percaya bermanfaat bagiku di masa depan—sampai hari pertemuan dengan Tuhan. Karena sejak SMA, aku sudah meminta agar diberi jalan merantau ke Timur Tengah untuk mengambil jurusan Islamic Science. Bukan karena aku punya minat di sana. Sebenarnya, karena aku butuh ruang untuk berpikir, dan hidup. Hidup yang aku tak tahu untuk apa. Makanya aku memikirkannya. Dan lari ribuan kilometer dari lingkungan sosial yang sudah mengenal apa kesukaanku, jadi sangat esensial. Sebab jika tidak, waktuku akan habis dimintai tolong menulis ini-itu atau membantu mengerjakan proyek-proyek media.
Dengan tawaranku untuk merantau mengambil Islamic Science ke Lebanon, orang tuaku senang. Sebab itulah dunia mereka. Maka ibuku langsung setuju tanpa pikir panjang. Bayangan airport sudah muncul di kepalaku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi disana. Seperti apa sekolahku sebenarnya. Apa saja potensi yang bisa aku gali disana. Siapa temanku nanti. Sore itu, aku sudah lupa dengan masa lalu dan masa itu. Pikiranku terbang jauh ke masa depan dengan segala kemungkinan yang muncul di pikiran. Benar-benar asik.
///
Sekarang sudah dua tahun aku di Lebanon. Tahun pertama habis untuk observasi. Uang beasiswaku selalu habis sebelum waktunya karena kupakai jalan-jalan. Ku jamah Lebanon dari selatan sampai utara. Memanfaatkan mahasiswa-mahasiwa yang berceceran di berbagai kampus, dan juga tentu saja, Google dan Maps.
Tahun pertama itu juga banyak terjadi perubahan dalam pikiranku. Karena sebagaimana tujuan awal, yang aku kejar di sini adalah ruang untuk berpikir. Di mana aku bisa berbicara seenaknya tanpa orang pahami, membaca apapun tanpa dituduh PKI, minum kopi sebanyak apapun karena aktifitas hanya ke kampus dan ke asrama. Tak ada kewajiban-kewajiban harian lain seperti mengantar ibu ke pasar, menjemput adik di sekolah, atau kewajiban luhur sebagai bagian dari sebuah lingkungan sosial semacam dakwah digital sampai gotong royong membersihkan masjid. Di Lebanon ini, terasing dari orag-orang yang mengenalku sejak lahir, benar-benar hanya ada aku, dan diriku. Mereka yang tak paham anjing atau jancuk berlalu-lalang di hadapanku bagai melihat orang gila. Hanya lewat sambil geleng-geleng kepala. Tak apa, keterasingan ini membuatku bebas mencari tahu apapun itu.
///
Tahun kedua fokusku sudah mulai mengerucut. Dulu, hal-hal baru selalu membuatku merinding dan tak kuat diam duduk. Aku harus langsung berdiri dan tak sabar merasakan pengalaman baru itu. Biasanya, saking senangnya, aku akan tidur dan berharap bangung di saat pengalaman baru itu akan dimulai. Walau lebih sering gairah itu malah membuat jantung berdetak lebih cepat, dan akhirnya tak bisa tidur.
Fokusku mengerucut. Ya, meski setahun aku sibuk menambah file foto di berbagai tempat-tempat baru, tahun ini, tak sebanyak tahun lalu. Seiring berjalannya petualanganku kesana kemari, dua hal terjadi yang tak aku sadari—dan merubah segalanya di tahun ini. Hal itu adalah: satu, hubunganku dengan kampus yang mulai retak. Aku rupanya terlalu sombong dengan keahlianku di bidang agama. Sudah dua puluh tahun aku mendapat pelajaran agama yang sama dan terus meningkat dari ayahku yang seorang ustad. Sebab itu aku tak terlalu memusingkan sekolah dan cenderung meremehkannya. Sialnya, aku tak menyangka bahwa belenggu bea siswa itu rupanya sangat mengerikan. Nanti kuceritakan.
Yang kedua, adalah terbentuknya sebuah lingkungan sosial baru, yang mulai mengenalku berdasarkan interaksi kami. Baik di kafe-kafe ketika diskusi, di majlis doa KBRI ketika acara bulanan, bahkan di grup whatsapp perhimpunan yang formal. Aku, yang ingin menyembunyikan diri dari pandangan orang lain dan hidup dalam bayangan rutinitas, akhirnya terciduk. Dan mulailah datang beragam kewajiban-kewajiban sosial yang dijatuhkan oleh ikatan pertemanan sampai hutang moral. Sungguh tak terbayang ini akan terjadi.
///
Saat ini aku dipaksa untuk memilih diantara dua pilihan, karena keduanya bertentangan. Hal yang selama ini kulakukan bersamaan, rupanya makin jauh makin beda arah. Apakah aku harus mengikuti keinginanku dan meyelamatkan sekolah dengan rutinitas padat yang menggilas, ataukah kubiarkan sekolah ini hancur dan berjalan dengan diriku sendiri yang selalu bebas tanpa rencana?
Dua pilihan ini membuat pikiranku sibuk sedemikian rupa sampai dada besar wanita Lebanon gagal megalihkan pikiranku seperti dulu. Meski tetap, sampai sekarang pun, tak kusangkal, demi Tuhan, mereka indah. Nuansa bangunan kuning dan jalanan dari susuan batu bata, dipadu romantisme Timur Tengah yang sangat sayu dalam hubungan sosial biasanya membuatku tak ingin pulang. Tapi kini, setiap panggilan habibi dan pesona para lentik bulu mata dan mancung yang hidup itu seperti angin lewat saja. Tak lagi menarik. Orang bilang aku sudah terbiasa. Oh tidak, cobalah datang sendiri.
Aku tak lagi sebergairah dulu. Tulisanku tak lagi berbicara padaku sebab aku sibuk mendikte setiap kata agar tulisan itu dapat diterima media dan menghasilkan uang, untuk membayar hutang. Buku-buku itu tak lagi bercerita padaku sebab aku sibuk menghabiskannya agar buku baru dapat kumulai untuk mengejar ketertinggalan pelajaran di kelas. Klasik.
Apapun pilihan jalan yanng kuambil, akan menjadi akhir dari perjalanan lainnya. Itu, adalah ketegangan yang nyata dalam setiap pilihan dalam hidup kita.
///
“Tadi pertanyaanmu apa? Kata bijak untuk orang yang terjepit?” Ali memecah lamunanku. Entah apa yang mereka bicarakan untuk kembali ke pertanyaanku barusan.
“Ya. Ada?” aku masih terperangkap dalam renunganku barusan.
“Gak ada, bung.” Kata Ali langsung. “Keluar kau dari jepitan itu.”
“Bagaimana? Aku tak tahu. Makanya cari kata bijak.”
“Kata bijak itu tak membantumu. Kau hanya akan terdiam lama di sana asik memikirkannya.”
Aku diam.
“Kalau terjepit, jangan berpikir, tapi melawan. Hancurkan tebing itu, atau bergerak sekuat tenaga untuk keluar.”
Yah, setidaknya, itupun bisa disebut kata bijak.
April, 2018
No comments:
Post a Comment