Api kemarahan selalu gagal menghanguskan kesadaranku. Sebagai
keturunan Ibrahim aku melangkah di atas kayu bakar sambil menguap. Kulewati amarah
yang menatapku gusar, menuju selimut tempat perdamaian bersemayam.
Seperempat abad sudah api itu menikmati damainya kehidupan. Tak
menyulutku menjadi abu. Jika kau ingin melihat kekuatan yang ia simpan, silakan
nyalakan. Di hadapan dunia, kehidupan yang memuakkan, tak kutemukan selain
tatapan yang menjijikan. Tak peduli berubah seperti apapun ia, ribuan kali akan
kupalingkan muka, dan meniggalkannya dengan perasaan remeh.
Kita adalah anak-anak prasangka. Dari prasangka kita temukan
harapan. Pikiran kita semua dipenuhi utopia yang berbeda-beda, namun sama-sama
kita berjalan ke arahnya—setidaknya berusaha ke sana. Agama, filsafat hidup,
mimpi, semua bertumpu di pundak harapan. Dari sana Tuhan menunjukkan wajah-Nya
yang paling optimis—kadang ambisius, kadang ramah.
Cobaan, katanya datang dari atas. Sebuah upaya pemurnian. Semacam
sekolah militer. Halah, aku terbiasa dengan harapan. Kupikir itu hal yang
diperlukan. Tapi boleh lah kita sedikit rendah diri, dan menyadari kesalahan
sendiri. Tak ada cobaan tanpa sebab. Tak peduli sesuci apapun kau pikir jiwamu
sehingga tak mungkin musibah datang darinya, Tuhan jauh lebih suci dan tinggi. Cobaan,
sakit kepala, sesak di dada itu hanyalah akibat dari sebab yang hubungan timbal
baliknya sudah dituliskan-Nya. Kita adalah tamu yang membuka pintu dan mau-tak-mau
menerima jamuan apapun di dalamnya. Jamuan seperti apa yang ada di setiap pintu
itu terserah Penerima Tamu. Pintu mana yang kau buka, itu sepenuhnya pilihanmu.
Itu sebabnya ilmu tentang diri sangat diperlukan. Itu sebabnya
pelajaran logika—tentang bagaiama cara berpikir dengan struktur dan pradigma
yang tepat—sangat diperlukan. Karena pengenalan tentang diri menyelamatkan kita
dari saling-tuding atas suatu masalah—yang kadang berakhir pada telunjuk jari
menghadap langit dan menyalahkan Tuhan.
Pada puncak pencapaiannya, pengenalan diri tetap akan
mengantarkan air mata jatuh ke bumi. Tak apa, rasa sedih, senang, geram adalah
hal yang manusiawi. Barangkali, itulah bekal yang Tuhan berikan agar hidup tak
begitu hambar. Sudah banyak yang bersaksi bahwa rasa sakit justru membuatnya
merasa hidup. Itukan Cuma perkara sudut pandang. Mengenal diri memberikan salah
satu buah kebebasan paling penting dalam hidup: hilangnya penyesalan. Akhirnya aku
paham maksud Seorang Sufi yang bilang, “Rasa sesal melumpuhkan. Lempar dosa-dosamu
ke dalam ampunannya dan jangan berpikir kembali lagi.”
Memang apa yang lebih menyenangkan untuk dilihat Tuhan
sebagai pemberi kehidupan, selain para hamba yang merayakan setiap nafas dengan
rasa syukur dan gembira?
Jangan bawa para Rasul ke sini. Karena di majlis ini kita
hanya menyediakan secangkir kopi susu dan berbatang-batang rokok sebagai
hiburan. Kita tawarkan pun mereka takkan mau. Bagi para raja yang melepaskan
mahkotanya, pengabdian adalah segalanya. Merekalah yang berpuasa dari nikmatnya
bercengkrama, agar mereka yang bisu tak merasa kesepian.
Seandainya ada kesempatan untuk mengulang waktu, mungkin
akan kuambil. Tapi aku berharap saat itu malu hadir dan menatapku lamat-lamat.
No comments:
Post a Comment