Rasa ingin menghancurkanmu, seperti balon yang dipecahkan udara. Balon itu tidak lenyap, hanya menjadi dirinya yang lain, udara yang tak berbentuk bulat.
Manusia sadar dirinya terbatas, maka terus ia usaha tuk lampaui batas. Bahkan dia sadar dia bukan dirinya, maka ia terus berusaha jadi dirinya. Hasilnya? Ia berubah. Tetap jadi dia, hanya dalam bentuk yang berbeda. Tidak lenyap, namun tak terlihat. Dan, bayangkan rasanya pecah seperti balon.
Para kakek berjanggut putih se-perut itu berkata, "Kau dilahirkan dengan sayap. Jangan belajar untuk berjalan, cobalah untuk terbang." Ku jawab, "Takkan ku tinggalkan tanah ini tanpa kehadirannya."
Manusia sadar dirinya terbatas, maka terus ia usaha tuk lampaui batas. Bahkan dia sadar dia bukan dirinya, maka ia terus berusaha jadi dirinya. Hasilnya? Ia berubah. Tetap jadi dia, hanya dalam bentuk yang berbeda. Tidak lenyap, namun tak terlihat. Dan, bayangkan rasanya pecah seperti balon.
Para kakek berjanggut putih se-perut itu berkata, "Kau dilahirkan dengan sayap. Jangan belajar untuk berjalan, cobalah untuk terbang." Ku jawab, "Takkan ku tinggalkan tanah ini tanpa kehadirannya."
Merpati pun hanya menaruh sarangnya di tanah. Tidak menghiraukan lembutnya awan untuk telur kecintaan. Bagaimana mungkin kutinggalkan singgasana Adam, tanpa lambaian tangan Hawa?
Majnun menjadi Qais, tanpa tatapan Layla di hari pertama. Namun, Layla menulis ulang harinya, sehingga takkan pernah datang yang kedua. Hingga tulang belulang Majnun memeluk nisan Layla, semua adalah hari pertama.
Balon sudah pecah. Adam sudah punah. Qais tinggal cerita. Dan manusia adalah fana. Sebuah fana, yang merasa nyata. Hayalan mata, berpikir ada di sana. Dan akal, yang bicara soal rasa.
Akhirnya, hanya senyum yang berkata, "haha". Akhirnya, mata terpejam yang yang nyanyikan lagu nestapa. Akhirnya, aku tersenyum sambil terpejam, mengucap "haha", dengan gelengan kepala.
(0:51) 30 Sept 2015
No comments:
Post a Comment