Sunday 11 February 2018

Habis Baca Dilan: Sebuah Nonsense

[caption id="attachment_271" align="aligncenter" width="300"] Foto: Bedah buku “Dialog 100” oleh komunitas Jakatarub di Univ. Parahyangan, Bandung (sekitaran 2014). Buku yang bercerita tentang 100 kisah nyata toleransi. Benar-benar tidak ada hubungannya dengan tulisan ini. Kecuali keberadaan Pidi Baiq sebagai pembedah buku saat itu.[/caption]

Kawan saya si Syam-Menyeduh baru saja memposting curhatannya. Ia baru baca Dilan-nya Pidi Baiq di tengah pusaran angin topan ujian yang tak tahu diri dan maha tidak penting. Yah, saya pun baca, itu Dilan. Dapet linknya dari dia. Dan, inilah yang aku pikirkan.

///

Kisah-kisah Dilan dan Milea yang diolah jadi novel oleh Pidi Baiq membuatku tersadar, bahwa masa lalu yang diingat, punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar sesuatu sambil tertawa dan geleng-geleng kepala; bahkan ketika pelajaran itu nyatanya pahit!



Saat ini aku benar-benar yakin bahwa manusia itu lebih dari sekedar fisik. Hati, yang biasa kita anggap di dada padahal itu jantung, adalah satu bagian metafisik dari manusia yang oleh karena bukan bagian dari dunia ini, tak terkekang waktu. Bagaimana? Coba perhatikan, kita masih bisa merasakan luapan asmara Dilan dan Milea di novel ketiga ketika Dilan menceritakan percakapan mereka di telepon; setelah bertahun-tahun pisah dan sudah jauh dari kehidupan masing-masing. Kenyataan bahwa mereka menyuri kesempatan bernostalgia di tengah ketiadaan pacar masing-masing adalah bukti bahwa apapun yang sudah terjadi, selama apapun mereka sudah menciptakan kenyataan baru dan cerita baru, rasa itu tetap hidup. Dan soal bagaimana menyikapinya, itu bukan urusan hati, tapi akal yang akrab dengan waktu sehingga ia bisa mengontrol diri setelah belajar sikit-sikit soal kebijaksanaan. Soal ini, lain kali kubahas panjang lebar.

Bahkan untuk jatuh cinta, hati tak perlu waktu yang mengajari. Satu lagi pradugaku tentang asal hati yang metafisik, bahwa ia entah bagaimana sudah mengetahui semuanya! Maksudnya, untuk dapat energi mengejar sesuatu yang kita sadar kita suka, haruslah dapat perintah dari hati. Dan bagaimana bisa coba, hati tiba-tiba membuat kita menyukai sesuatu tanpa sebab yang utuh sebelumnya? Gini deh, Dilan sebelumnya mengatakan bahwa alasan dia memberanikan diri mendekati Milea adalah dari refleksinya. Pancaran karakter yang Dilan tangkap dengan matanya, sudah dikenal hati. Kecondongan itu jadi sangat tak masuk akal jika muncul begitu saja. Makanya kusebut praduga, bahwa hati kita sudah membawa semua hal yang ia senangi bersamanya. Hanya karena realitanya adalah kita mahluk fisik yang terikat ruang dan waktu, maka untuk menyadari kecondongan hati kita masih perlu kejadian demi kejadian dalam estafet waktu, yang cocok dengan gambaran dalam hati itu. Nah, untuk darimana asalnya hati mendapat selera-seleranya tersebut, itu perkara lain yang juga ingin kubahas di lain waktu. Walhasil, hati itu, ada di sini. Tak akan mati kecuali kau melupakannya. Jika tidak, ia akan cukup keras kepala untuk selalu membuat kita tersiska rindu; ketika pilihan ruang kita tidak mengikuti kehendaknya. Yah, kau pasti tahu lah, rasanya!

///

Celotehan di atas ini muncul begitu saja kemarin. Jadi tak perlu diambil pusing. Seperti kawanku yang berasal dari Kashmir, India. Ia mempermasalahkan kepadaku soal letak credit dalam sebuah gambar yang ada quote-nya. Dia bilang harusnya credit itu terletak di bawah, sementara temennya buat di atas. Dan dia berusaha meyakinkan dirinya benar dengan bertanya padaku. Keluarlah jawaban yang aku pun baru menyadarinya saat itu. “Salah satu prinsip desain atau seni itu adalah kebebasan berekspresi. Editing juga begitu. Aturan-aturan begitu cuma bikin seni kehilangan maknanya yang paling penting.” Aku pikir, menulis pun begitu.

///

Jadi, tadinya aku mau berkomentar soal celotehannya SM ini. Tapi malah kepikiran yang lain. “Tak apa, hidup ini dinamis. Biasakan.” (Zuhdi)

Lalu, apa hubungannya semua ini? Apakah anda mendapat pelajaran setelah membaca ini? Apakah anda mendapat pahala? Dapat pacar? Dapat kupon gratis belanja di Alfamart? Tidak. Tentu saja tidak. Saya tidak menulis untuk memberi anda pelajaran. Aku tidak sebaik itu. Dan kalau kamu merasakan hidup-mu merana dan nir-makna, mungkin ini baru bisa jadi pelajaran: Berhentilah menuntut pelajaran dari apa yang ada di hadapanmu. Hidup ini kadang butuh sedikit kekosongan agar tahu seperti apa itu kekosongan.

Oya, untuk Syam, katanya mau banting setir, ya? Cuma mau bilang, KIRI KOSONG, MAS!

Harusnya kalimat di atas jadi penutup yang hmmpphh. Tapi jadi mau bilang sekalian ke SM, tulisanku berhasil lebih brengsek darimu! Haha! Mpus.

__________

Tengah malam Februari, 2018.

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...