Monday 19 February 2018

Luka Mimpi

Lubang hitam itu menjadi satu-satunya mimpi yang kurasakan. Baik dikala mata terpejam maupun melek di siang bolong.

Pasung keinginan, begitu aku terus memujinya. Pujian yang lahir dari tumpukan kutukan.

Aku ingin begini, aku ingin begitu, bernyanyi seperti lagu pembuka anime Doraemon.



Apa yang salah? Apa yang benar? Mungkin adalah pertanyaan yang paling sering kulontarkan.

Sesekali menelisik dari mana datangnya hasrat mengetahui nilai dari suatu tindakan. Katanya sih naluri dasar, tidak lebih. Baru kutahu naluri kita adalah menyiksa diri sendiri dengan pertanyaan dan keraguan, juga perbudakan.

Rasa, rasa yang selalu kupuja meski tak jelas gambarannya dalam benak. Apa itu rasa? Mulai lagi penyakit filsuf itu kambuh.

Satu hari aku ingin dilanda sakit dan akhiri hidup ini. Tapi ikatan sosial membuatku ragu dalam meminta.

Belakangan ini, manusia kupandang sebagai mahluk yang cukup kejam. Betapa pikiran yang direalisasikan lewat tindakan dan ucapan menciptakan beragam penjajahan perasaan. Suara tinggi yang berisi hal-hal halus, perintah lembut yang mencederai hak-hak individu, tatapan datar yang membakar prasangka dan ketenangan dalam hati. Setiap gerak geriknya, akan selalu berakhir negatif bagi sebagian orang, dan begitulah mengalir seperti sungai.

Cita-citaku adalah menganggur. Dengan puntung rokok yang berceceran, tanpa istri yang mengomel di ruang kerja. Bersama kawan yang tidak terlalu setia, agar ada ruang untuk kebebasan kita. Juga gitar, tak selalu berdendang tapi ada. Di ruangan yang tersinar matahari dengan cukup, tapi tak tersisa lubang untuk adzan mengintervensi kebutaan waktu. Selalu ada teh, juga kopi organik hasil tangan petani negeri. Jika surga bisa kita desain sendiri, aku pastinya takkan asing nanti.

Di bilik kecil itu tuhan adalah satu-satunya rujukan kawan. Dia tak pernah mati dan lahir, dia ada di setiap hembusan rokok dan shisha. Ikut tertawa dan kita minta pendapatnya, tanpa jawaban yang terdengar telinga. Tentu ini bukan konsumsi publik. Kita adalah anak tuhan yang mewarisi sifat-Nya: pencemburu. Dia hanya milik kita dan untuk kita. Sebagaimana malam itu kita selalu miliknya, dan untuknya.

Dunia belum siap menerima mimpi ini. Itu sebabnya kita rahasiakan setiap rencana.

Entah sampai kapan akan kubayangkan. Tapi yang penting sekarang, tetap kuhidupkan.

__________

Tercecer di kubangan rasa

Sekitaran April 2017

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...