Monday, 19 February 2018

Suasana Pagi Condet

Kulihat masyarakat begitu antusias pada pagi hari, berusaha bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan. Supir angkot dengan wajah lesunya, ibu-ibu dengan anaknya yang mungil menuju pasar, pembersih lingkungan mulai menyapu ditengah-tengah jalan, para pedagang dengan rokok terselip disela-sela jari tangan, sembari menunggu pembeli datang.

Semuanya bersama satu kesatuan, bersosialisasi sebenar-benarnya, tanpa hape tanpa media sosial. Tawa riang, kadang sampai berkeringat antar sesama pejuang. Laki dan wanita membaur tanpa mempedulikan usia, menanyakan kabar keluarga, penghasilan sebelumnya, tagihan air, listrik, dan kebutuhan lainnya. Hidup mereka hidup sebagaimana harusnya, nyata di depan mata, walau raga kadang tak berdaya, namun dipaksakan seperti sediakala.



Motor-motor berkeliaran tanpa kegaduhan, sepeda-sepeda keluar bersama pemiliknya, mobil pick up mengangkut bahan-bahan untuk diperjual belikan. Warna Jakarta yang lain begitu menarik hati, ketika sesama rakyat saling bercengkrama dengan bebasnya. Udara-pun masih segar, bersih tanpa noda-noda. Lampu kini telah padam, menandakan matahari muncul dari timur dengan pesona hangat karismanya.

Keadaan kota yang jorok dan tidak tertata tertutupi dengan kehadiran masyarakat dalam satu wadah, yaitu pemenuhan kebutuhan, untuk, makan, agar tidak lapar, lapar, dan
lapar. Taman-taman asri menggoda mata, ada melati ada pepaya, dan ada manusia yang saling menyapa. Jalan berguna untuk masa depan, tenaga dikumpulkan demi tujuan, tanpa paksaan, namun tetap mengemban kewajiban. Sementara aku dan generasi pemalas, tidak pernah menemui pagi indah itu, benar-benar kehilangan sadar atas pandangan yang menjadi tanda.

Sementara, jika kulihat masyarakat kebanyakan, yang hanya menatap layar hapenya dan berharap agar berbicara. Semua tidak saling peduli, yang penting diri sendiri, karena orang lain tetap orang lain, urusan masing-masing. Peminta-minta tak dihirau, penjual cilok menatap dagangnya, sia cuma-cuma, karena individu tetap individu, sendiri. Teknologi merusak segalanya, termasuk harapan orang-orang yang papa, berusaha namun tak punya asa, dan bisa selama-lamanya.

Kerjasama sudah hilang dari kosakata, hanya kata-kata legenda yang tidak tahu kapan kembali. Ya, semua berjalan tidak semestinya, tapi apa yang semestinya ? Tidak ada, perjuangan dan kemeriah riuhan tidak pernah ada, telah hilang di telan masa-masa lama. Kesombongan telah tertera di hati-hati para pendusta, kedengkian telah membentuk patung dalam jiwanya, para pembohong terus menerus hidup bahagia, cara aman melawan zaman.

Keluarga, merupakan kepemilikan bersama. Hal ini menjadi dasar untuk mengenal-ngenali manusia. Orang tua menjadi panjangan tua yang tiada guna, sayangnya. Sayangnya, semua warna yang ada tidak bisa dimanfaatkan, dibuang diinjak-injak semena-mena. Pelajaran hanya menjadi panci-panci yang berisi air panas, bersama api, mendidih, hilang sisa-sisanya. Tempat bermain hanyalah bualan para pemuda, termasuk pemudi yang tidak pernah paham akan kehidupan.

Tidak ada kisah, tidak ada kasih, yang ada rasa risih. Sejarah kita pantas tenggelam, sangat pantas, karena pena-pena hilang daya guna. Bahkan, akhir dari dunia malu untuk mengakhiri dunia, karena manusia, sekarang, bersifat durjana. Surga neraka tidak memberikan izin bagi generasi kita untuk ditempati, justru penjaga utopia terus meludahi, membasahi, dengan darah-darah kotor dan luapan pelor. Sekarang, aku bisa perhatikan, dimana harus berpihak, dimana harus mengelak, dari sekumpulan berak.

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...