Monday, 20 June 2016

Ceritanya Ngeluh

Sejak lama aku ingin menulis buku. Bukan buku tulis, tapi tulisan yang dibukukan.

Tapi kenapa ya Tuhan, kok menulis sekarang se-menegang-kan ini ya? Sejak media sosial jadi lapak baru industri perang. Jual ide jual isu, kemanusiaan mati di depan layar.

Teman gue kena bully karena kritik artis medsos. Keluarga pecah belah dijatuhkan persoalan politik pemilu. Tukang nasi jadi bulan-bulanan opini sampai 170 juta di tangan tak bisa sembuhkan pusingnya. "Gak terima komentar apa-apa. Pusing!" Katanya sambil tutup warung. Puasa tinggal syair dan hikmah di situs yang kejar popularitas. Tinggal perdebatan perda yang katanya syariah barokah di mulut-mulut pengangguran.

Aku ingin menulis, tapi budaya literasi Indonesia sudah jauh dari semangat seni yang merakyat. Ketika sastra adalah cara pendahulu menorehkan sejarah yang patut dikenang dan penuh semangat kemanusiaan. Kok sekarang kalau main ke toko buku, ramai sekali rak-rak itu dengan suara tembakan meriam kata yang menghujam kertas-kertas lain.

Jadi pembaharu? Sesatlah aku seperti Mirza Gulam Ahmad nanti.

Judgement. Ya akhirnya aku pun ikut terseret arus kurang kerjaan. Jika hakim dalam tulisan ini semena-mena ketok palu soal citra pembaca, monggo demo dan gulingkan. Mungkin memang sudah saatnya jalanan sepi mahasiswa demo dengan pengeras suara. Sekarang eranya duduk di indomaret ketika bulan puasa, selinting tembakau dan kopi kotakan jadi penyemangat demonstrasi media sosial. Duduk di samping pemilik akun yang didebat, tanpa kenal wajah kenal nama.

Yah, sekarang eranya Luffy dan worst generation gonjang-ganjing lautan. Eranya pertempuran dua anak haram dari House of Stark and Bolton. Komik dan film sudah mencapai garis finish ceritanya, begitu pun dunia kita.

Senin, 20 Juni

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...