Karena setiap manusia punya hak untuk mati dengan nikmat. Berangkat dari situ, aku menulis.
Banyak slogan kita dengar yang menyatakan mati dengan tenang, mati bahagia, mati sengsara, atau lainnya. Bukan dalam rangka ingin terlihat berbeda, tapi sloganku lahir justru dari sebuah duduk yang lama dan fokus tanpa pikiran tentang manusia lain. Ingin mati dengan nikmat, itu sebuah niat yang serius.
Mati dengan nikmat kulihat--dalam konteks hidup pribadi--sebagai tuntutan bagi keberadaanku. Kenikmatan yang berarti tak diusik perasaan-beban spiritual dan material. Tanpa diintervensi hubungan sosial. Untuk mati tanpa pikiran yang masih menarik kita kembali. Mati dengan perasaan kematian, bukan kehidupan yang akan dilepaskan. Mati tanpa memikirkan kehidupan sebelum kematian dan yang paling penting tanpa dihantui kehidupan setelah kematian.
Mati di saat yang bersamaan dengan kematian. Bisa diartikan juga untuk hidup di saat yang tepat untuk hidup.
Sunday, 28 May 2017
Ke-Indah-an
Entah pernah terjadi atau tidak itu perdebatan soal keindahan. Tapi jutaan opini manusia tak pernah berhenti muncul berusaha menjelaskannya. Dari yang paling formal dan resmi seperti tesis para filsuf atau bahkan sekedar gambar sebait puisi di akun sosmed yang ditulis entah siapa.
Aku pun tak luput dari meramaikan ajang itu. Berkelakar seakan penjabaran, pengenalan, dan pemahamannya soal keindahan adalah yang paling paten dan final.
///
Setiap pagi, siang, sore, dan malam, balkon kamarku adalah bangku VIP untuk memandang sekotak jendela tetangga.
Aku pun tak luput dari meramaikan ajang itu. Berkelakar seakan penjabaran, pengenalan, dan pemahamannya soal keindahan adalah yang paling paten dan final.
///
Setiap pagi, siang, sore, dan malam, balkon kamarku adalah bangku VIP untuk memandang sekotak jendela tetangga.
Antara tahu dan tidak tahu
Teringat sebuah malam di kamar berisi empat orang. Kami bertiga perokok, satu toleran sama rokok. Maksudnya bukan dari aktifis anti-rokok yang bakal bangunin teman perokoknya dengan ceramah dari mulai isu kesehatan, ekonomi, sampai agama.
Biasanya aku tegas mengambil garis perokok dan non-perokok. Penganut mazhab kondisionalis memang harus tunduk pada situasi kondisi. Bukan semau hati atau seenak akal.
Malam itu, posisi duduk, hawa, dan jiwa lagi asik menikmati satu film. Sebuah karya yang bikin mulut tak kuat pingin hisap rokok. Bagi kami para perokok, menghisap lintingan tembakau tidak melulu soal candu. Tapi sering kali soal perasaan, momen, atau bahkan penghambaan.
Biasanya aku tegas mengambil garis perokok dan non-perokok. Penganut mazhab kondisionalis memang harus tunduk pada situasi kondisi. Bukan semau hati atau seenak akal.
Malam itu, posisi duduk, hawa, dan jiwa lagi asik menikmati satu film. Sebuah karya yang bikin mulut tak kuat pingin hisap rokok. Bagi kami para perokok, menghisap lintingan tembakau tidak melulu soal candu. Tapi sering kali soal perasaan, momen, atau bahkan penghambaan.
Tuesday, 9 May 2017
Gosipin Agama sama Sains dulu, gan
“Aku tak menyembah-Mu untuk menghindari neraka, karena itu ibadah para budak. Aku tak menyembah-Mu untuk mengejar surga, sebab itu ibadah para pedagang. Aku menyembah-Mu karena Kau layak untuk disembah. Inilah ibadah orang yang bebas.”
(Ali The Commander of The Faithful)
Diatas adalah pernyataan super sombong dari seorang yang hidup ribuan tahun lalu.
Zahra
thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...
-
thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...
-
The tale of a broken heart always has a purpose to shed tears down your eyes It is built above bitter memories which accommodate someones un...
-
I love you But not just that, i love the silence When you say no to me but you mean yes I love that few second of chance that you give me To...