Di kasir minimarket itu, tepat berdiri di depanku, sebuah jaket hijau dengan celana jeans dàn sepasang sneakers, rambut panjang kecoklatanmu tergerai acuh di pundak, menyisakan hidung yang terlihat malu-malu. Awàl waktu kulihat potongàn wajah yang menarik, menggetarkan imajinasi, dan mendinginkan setiap darah yang dipompa jantung tergesa-gesa. Bukan patung, apalagi berhala, kepala itu kadang tergerak, menusuk hati dengan rona wajah yang tertekuk beban pikiran. Aduhai kulit putih yang jujur, berikan aku sedikit waktu untuk mengganti bulan dengan matahari. Senyummu dapat mengistirahatkan kemalasan sàng iblis, membuat para malaikat berlomba mencatat setiap semangat yang dikeluarkan manusia. Kau pergi tanpa ragu, tahu arah namun tak punya mau. Kau adalah warna yang tak diwarnai. Bagai cahaya yang tak melukai. Bintang, yang menghibur di tengah gelapnya malam hari.
____________
Sayap-sayap patah mewarnai bumi lebih indah dari paparan cahaya mentari. Olehnya manusia didengarkan gemercik sungai dari eden walau nil dan amazon terbentang begitu luasnya. Suara Selma bagai seruling Krisna yang membangunkan burung gereja di pagi hari. Senyumnya dirindukan, seperti rerumputan yang menangis diterpa malam, dan berpesta begitu pagi datang.
No comments:
Post a Comment