Friday 2 November 2018

Bahkan kita tak bisa melihat bumi

"Have you had a million reasons why you wishing never see the truth? Have you looked into the mirror and the problem staring back at you?"
Paralyzed, ATC.

Sejak beberapa tahun lalu, aku selalu menobatkan diri sebagai "pencari jawaban". Aku bertanya tentang banyak hal, meski tak semua hal. Hal-hal yang cukup fundamental seperti kehidupan, kematian, dan agama jadi buruan favoritku. Beragam pertanyaan sudah (kurasa) kutemukan jawabannya. Namun pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan sampai tahap tak ada lagi yang berarti. Pertanyaan yang kulontarkan bahkan kehilangan maknanya sebelum kutemukan jawabannya. Dan dalam arus santai yang tak berhenti itu, sejujurnya aku pun tak tahu apa yang sebenarnya ingin ku-cari tahu. Apa sebenarnya yang mengganggu pikiranku sehingga aku terus mengkritisi banyak hal? Apa yang ingin kuketahui?



Membuang ketidak yakinan ini begitu saja juga bukan sebuah solusi untuk hidup lebih tenang. Rasanya, bayipun sadar bahwa bertanya, adalah naluri dasarnya.

Beberapa hari lalu, kawanku berkeluh bahwa ia mulai merasa asing dengan dirinya sendiri. Ia merasa pikirannya hilang entah kemana. Segala aktifitas dijalani oleh tubuhnya sebagai mesin tanpa kesadaran. Hal termewah bagi kawula muda seperti kata Tan, ideal-isme, hanya seakan-akan pernah ada. Aku pernah merasakannya, beberapa kali. Dalam kasusku sih, ketika tubuh 'terpaksa' aktif secara brutal dan serius terhadap sebuah aktifitas tiba-tiba, setelah ia melewati satu masa yang cukup signifikan untuk 'mengaggur', kita akan lupa pada pikiran sendiri. Pikiran yang biasanya dibawa jalan-jalan dari kamar Tuhan sampai ke jalanan Brooklyn, kini harus cuti kerja dulu dan membantu eksistensi kita melakukan kewajiban fisiknya -- realitas. Pengalaman ini jadi terlihat wajar bahkan bisa dirindukan ketika kita punya ritme dalam menyalakan dan mematikan pikiran itu. Namun tak disangkal, bahwa ini akan terasa menakutkan ketika kita tak punya gambaran kapan realita akan berhenti mengambil jam kencan kita dengan Idea.

Aku pun masih mempertanyakan banyak hal sampai aku tak tahu apa sebenarnya yang aku pertanyakan itu. Rasa risih akan sesuatu yang "tidak terasa tepat" masih mengganjal hati. Dan sialnya, makin lama ia di sana, efeknya mulai menjamah realitas-ku sebagai mahluk sosial.

Bergerak dari pikiran-pikiran yang mulai kehilangan artinya bagiku, kini setiap individu yang memainkan peran dan jalannya sendiri dalam lingkungan sosialpun mulai terlihat samar. Dalam artian, mereka sama tak betartinya dengan pikiranku yang abstrak. Tak peduli setinggi apapun jabatannya, sedekat apapun ia, sebanyak apapun uang atau ilmunya, secantik apapun parasnya, dalam kenyataan dunia yang fana, semua akan hilang pada waktunya. Aku makin merasa tak perlu mengikatkan diri pada apapun dan siapapun, sebab jangankan mereka, akupun akan hilang! Sebenernya, jika dilihat sekilas, apa salahnya kan? Jika semua akan hilang pada waktunya, dan ini hal yang tak bisa dihindari, kenapa tidak hidup saja di dalamnya?

Masalahnya satu (atau lebih): manusia tidak selegowo itu, boeng. Hati, dan norma, adalah dua hal yang penuh dengan jebakan. Hati dalam lingkup antar individu, dan norma sebagai hati sebuah komunitas sosial.

Hati bisa sakit meski tak berdarah, masyarakat bisa marah meski tak ada hubungannya.

Sebagai manusia yang terjerat takdir "mahluk sosial", ikatan atau keterikatan satu sama lain tak bisa dihindari. Bahkan jika kita tidak mau pun, ketika lelah dan ingin sendiri, kita akan mencari tempat ramai dimana tidak ada yang mengenali kita. Dengan itu kita baru merasa hilang, sendirian. Bahkan untuk sendiri kita masih membutuhkan orang lain. Maka ikatan itu bukan sesuatu yang bisa dinihilkan. Dalam hubungan individu yang lebih dari sekedar terjebak dalam ruang dan waktu yang sama, mainannya sudah pakai hati. Dan itu adalah resiko yang lumayan. Dalam pembahasan soal air mata di bukunya (Fatimah is Fatimah), Ali Syariati berkelakar:

"Adakah bahasa yang lebih sederhana, lebih murni, lebih tidak munafik? Bahasa tanpa kata dan batas? Setiap tetesnya merupakan jeritan kepedihan, jeritan pecinta yang merindu, itulah air mata. Bukankah benar bahwa mata lebih mengungkapkan kebenaran daripada lidah? Bukankah air mata adalah syair terindah dan cinta yang paling jujur? Bukankah air mata merupakan bentuk ucapan yang paling murni dan bentuk cinta yang paling halus? Semua ini berbaur dalam satu hati cinta. Semuanya berpadu, melebur, dan membentuk sebuah tetesan yang hangat. Ini, mereka namakan air mata."

Ali Syariati, salah satu pelopor revolusi Iran, ia menulis dengan sekian merdu tentang keistimewaan hati.

Masyarakat. Ekspektasi sosial adalah hal yang paling menyiksa. Menyadari keberadaannya saja sudah cukup menjadi alasan bagiku membenci manusia sedemikian rupa. Jeratan sosial ini hampir di seluruh sudut bumi memperbudak manusia bahkan sampai ke hati-hati-nya. Hal-hal yang dinamai norma, normal, budaya, tradisi, lebih sering menjadi sangkar manusia dalam mengepakkan sayap kemanusiaannya. Mungkin boleh aku didebat soal apa yang dimaksud dengan kemanusiaan di sini. Kita jadi lebih memilih berpikir atau berbuat sesuatu yang tidak bertentangan atau paling tidak, tidak berbeda dengan semua produk sosial tersebut. Sebab kebebasan masih dibatasi oleh penerimaan halayak. Itu masalahnya.

Jadi apa yang sebenarnya mengganggu pikiranku? Akupun tak tahu. Merefleksikan diri dalam 22 tahun hidup kebelakang aku merinding. Tak ada satu detik pun yang aku ingat pernah memprediksi diriku yang sekarang. Semua serba tiba-tiba dan tak disangka. Baik dalam kurungan sosial maupun kewaspadaan hati. Dan dalam semua perjalan tersebut, aku hanya melakukan satu hal yang sama: terus berjalan. Apakah akan kutemukan sebuah persimpangan yang akan menjelaskan setiap jengkal yang terambil dan akhir dari jalan yang akan kuambil, aku tak tahu. Tak ada yang tahu. Tapi aku ingat satu orang, dari masa lalu -- di mana aku masih jadi ide dalam benak Tuhan --, namanya Ali, pernah berkata:

"Mereka yang memahami kemanusiaan, akan mencari hidup dalam keterasingan."

Mungkin kemanusiaan adalah pertanyaan yang terlalu besar utuk kupahami. Itu sebabnya aku masih melihat manusia, dan mempertanyakan(nya).

No comments:

Post a Comment

Zahra

thank you thank you for making my day full of love i cant help but realize that i even live in your room now my mind never been here with me...