Ketika audisi, Atris tertawa sinis dan berkata berkata, “Baiklah, jika anda bersikeras ingin saya bermain peran, saya ikuti. Tapi jika akhirnya saya hajar habis mereka, jangan mengeluh.”
Atris adalah seorang pemuda dari Bab el-Tebbaneh, sebuah kawasan yang didominasi Muslim Sunni, di kota Tripoli, Lebanon Utara. Atris bersama puluhan pemuda lainnya mendapat tawaran untuk bermain peran dalam sebuah teater komedi gelap berjudul “Love and War on the Rooftop”, versi parodi dari legenda Romeo Juliet, 2011 silam.
Pentas drama ini diinisiasi oleh Lea Baroudi dan timnya—sebuah Lembaga Sosial Masyarakat di bidang perdamaian dan pembangunan bernama MARCH.
Pemuda lain yang dipaksa menjadi aktor adalah Ali. Ia berasal dari Jabal Mohsen—tetangga Bab el-Tebbaneh—yang didominasi Alawi. Ketika audisi, Ali menaruh pistolnya di meja juri dan berkata, “Ok, sekarang anda harus jelaskan apa yang sedang anda lakukan di sini sebab saya sama sekali tak terpikirkan bisa menjadi seorang aktor.” Lea yang saat itu ikut jadi juri pun tertawa dan membalas, “Saya pikir anda bisa.”
Bab el-Tebbaneh dan Jabal Mohsen sudah saling tembak sejak perang sipil di Lebanon puluhan tahun lalu. Konflik berlatar sekte ini belakangan makin panas sejak perang di Suriah. Pemuda seperti Atris dan Ali sudah mengenal senjata sejak umur 15—bahkan lebih muda. Lupakan dulu soal sekolah dan memiliki rumah, Atris saja bisa dikatakan tak bernegara. Orang tuanya tak mampu mengurus administrasi kelahiran akibat kemiskinan—dan ia bukan satu-satunya. Jalan yang membelah dua kawasan ini (ironisnya) bernama “Syria Street”—adalah medan baku hantam yang paling akrab sebagai tempat mereka tumbuh.
Atris dan Ali—dua dari 100 pemuda yang ‘dipaksa’ mengikuti audisi—adalah juga veteran perang. Selain melawan tetangga sektenya, banyak dari mereka pernah ke Suriah baik bertarung bersama pemerintah maupun oposisi Suriah. Mereka kembali ke Lebanon karena satu dan lain hal. Namun jalan hidup sektarian yang keras sudah menjadi satu-satunya jalan hidup yang pernah mereka lalui—sampai MARCH datang menawarkan sebuah panggung.
“Semua pada awalnya berpartisipasi murni didorong rasa penasaran,” kata Lea di TEDxSciencesPo, Perancis. “Siapa sih orang-orang Beirut ini yang ingin orang sepertiku bermain peran?” tambahnya mengutip salah satu partisipan.
Menurut pengakuan Lea, tahap awal audisi adalah yang paling sulit. Terlambat dan harus disusul ke rumahnya bahkan secara harfiah ditarik dari tempat tidur, tensi antar partisipan yang masih sangat terasa—mengingat mereka sudah lahir bermusuhan, sampai pengecekan badan untuk mencegah masuknya senjata di pintu masuk. 16 aktor mantan-veteran yang lolos audisi lalu berlatih bersama selama tujuh bulan—dibimbing oleh beberapa profesional yang disewa MARCH. Setelah pentas yang dihadiri warga sekitar usai dan diabadikan dalam sebuah film dokumenter, efek positif mulai terasa dan muncul dorongan dari para aktor untuk tak hanya berdamai di atas paggung, namun dalam keseharian dan melibatkan lebih banyak orang lagi.
Kafe Budaya
Berawal dari bangunan terbengkalai yang penuh dengan lubang peluru tepat di atas Syria Street, MARCH bersama para veteran muda dari dua kawasan yang bermusuhan membangun sebuah kafe—yang sangat lekat dengan gaya hidup masyarakat Lebanon secara keseluruhan. Namannya “Kahwetna: Cafe bi Kaffak” (Kopi kita: kafe di genggamanmu).
Kafe ini selain menyambungkan kedua kawasan yang lama bermusuhan, juga mempekerjakan pemuda dari keuda belah pihak. Para aktor drama dan pemuda lain menemukan ruang kreatif untuk menyalurkan minat dan bakat mereka. Dari kafe ini, para alumni pentas drama yang lalu bersama MARCH mewadahi aktifitias berkarya dari mulai melukis, dansa, band sampai pembuatan video klipnya. Turnamen sepak bola juga pernah diadakan oleh Kahwetna, bahkan sampai menarik turun Lebanese Army (Angkatan Bersenjata Lebanon)—dalam upaya memperkecil jurang pemisah di antara mereka.
Sering menjadi bahan candaan juga di antara pengunjung dan pekerja, soal fakta bahwa mereka yang biasanya saling lempar peluru, kini saling lempar espresso.
Gerbang Emas
Setelah sekian bulan Kahwetna mengadakan berbagai pertunjukan seni dan budaya, tercetuslah proyek yang lebih besar lagi: refitalisasi Bab el-Dahab (Gerbang Emas).
Usut punya usut, Jabal Mohsen dan Bab el-Tebbaneh sebelum perang sipil tahun 70-an adalah satu kawasan bernama Bab el-Dahab. Disebut begitu, karena potensi ekonominya yang menjanjikan. Maka berkaca pada sejarahnya, warga sekitar yang sudah terjamah ide-ide perdamaian MARCH ingin kembali menyatukan dua kawasan ini.
Sejak 2016 sampai sekarang, proyek ini sudah berhasil menghidupkan kembali 200 pertokoan dengan bantuan 230 pekerja lokal di bilangan Syria Street dan Muhajareen Street. Mereka yang berpartisipasi dalam pembangunan banyak menerima bimbingan softskill dari Kahwetna. Efeknya pun mulai terlihat dari banyaknya toko yang menggunakan nama “el-Dahab” di atas pintunya.
Atris dan Ali masih terus berkarya dan memperluas cakupan perdamaian yang mereka rasakan di atas panggung. Berbagai macam pentas seni dan proyek terus berjalan sampai sekarang dan tersebar ke seluruh Lebanon. Sampai awal tahun ini, Lea Baroudi sebagai pendiri MARCH mendapat medali kehormatan Britania dari Ratu Elizabeth II. Sebuah penghargaan tahunan bagi mereka yang berkontribusi secara positif dan masif bagi masyarakat dalam berbagai bidang.
Oleh:
Muhammad Bahesyti; Hauzah Baqiyatullah, Lebanon Selatan
Kordinator Kastrat PPIL 2018-2019
Ig: @abahcomic @ppi_lebanon
No comments:
Post a Comment